welcome

selamat datang di blog RAHAN SINGRAY...

Minggu, 28 November 2010

PENGHARAPAN KRISTIANI


YESUS KRISTUS: DASAR PENGHARAPAN KRISTEN
(Sebuah Usaha Penelusuran Dogmatik-Moral)
Dion Remetwa


Pengantar
Dalam tulisan singkat ini, saya hendak mengangkat dan mendalami tema pengharapan. Tujuan penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas dalam bidang Iurisdiksi Moral. Karena itu, saya tidak membatasi diri dengan menguraikan satu tema saja sebagaimana yang ditawarkan. Saya berusaha untuk mengelaborasi beberapa tema yang, menurut saya, saling berhubungan. Dengan cara itu, horizon pengetahuan saya tentang tema pengharapan ini makin diperluas dan diperkaya.
Tulisan ini saya bagi ke dalam empat bagian. Dalam bagian pertama saya menguraikan bagaimana cara orang memahami tema pengharapan dalam kaitannya dengan pengharapan Kristen. Bagian kedua lebih berisi tentang dasar biblis harapan Kristen dari perspektif Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Bagian ketiga, saya berbicara tentang Yesus sebagai dasar pengharapan Kristen. Namun, untuk menghindari kesan bahwa tulisan ini lebih bersifat teologis-dogmatik semata, maka pada pokok terakhir, saya akan memberikan beberapa catatan kritis sebagai sumbangan bagi teologi moral. Bagian ini sekaligus menjadi bagian penutup dari tulisan ini.

A.    Usaha Memahami Pengharapan
Orang Kristen menyatakan tiga keutamaan teologis: iman, harap, dan kasih. Kita selalu berbicara tentang pokok iman dan kasih dengan panjang lebar, tetapi mengherankan bahwa kita tidak berbicara banyak tentang harapan.[1] Kadang kata ‘harapan’ menyiratkan ketidakpastian. Tetapi, dalam bahasa keagamaan Kristen, kata ‘harapan’ mengungkapkan kepercayaan akan hal-hal yang paling pasti. Sebab dasar dan pokok harapan kristiani adalah Kristus.[2]
Dalam bukunya, Christian Hope, John Macquarrie menjelaskan bahwa pengharapan sebenarnya merupakan sebuah fenomena universal. Sebagai sebuah fenomena universal, pengharapan menampakkan diri dalam berbagai bentuk dan objeknya, mulai dari yang paling sederhana sampai yang paling dalam.[3] Beberapa teolog memang tidak sepaham dengan Macquarrie. Menurut mereka, pengharapan Kristen dalam kenyataannya begitu khusus, distingtif, dan unik, sehingga pengharapan Kristen tak dapat dipahami sebagai sebuah kasus khusus dari beberapa fenomena umum tentang harapan.[4] Akan tetapi, menurut Macquarie, kita dapat tiba pada pemahaman yang benar tentang harapan Kristen dengan kedalaman dan totalitasnya yang unik hanya karena kita memiliki beberapa pemahaman tentang apa sebenarnya harapan itu. Dalam terang itu, kita dihantar ke dalam sebuah pemahaman baru tentang harapan yang kita ketahui dalam pengalaman-pengalaman umum.[5]
Harapan yang terekspresi melalui fenomena universal itu ditemukan dalam kehidupan manusia sendiri. Di mana orang-orang bekerja, mengolah bahan, menikah, menghidupi keluarga, belajar dan mengajar, bergelut dalam aktivitas-aktivitas politik, di sana harapan ada. Karena dalam seluruh aktivitas dan dalam hal-hal lain yang tidak disebutkan di sini, ada suatu afirmasi tentang masa depan, suatu kebenaran di masa depan, suatu investasi di masa mendatang. Di sini tampak bahwa dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita memproyeksikan diri kita melampaui diri kita sendiri. Dan kita berbuat demikian dalam pengharapan. Jadi, sebagaimana diungkapkan oleh Feuerbach bahwa “harapan adalah hanya iman dalam relasi dengan masa mendatang,” maka dengan bijaksana dapat kita katakan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan sebenarnya dilakukan dalam pengharapan yang penuh.[6]
Perlu digarisbawahi bahwa bentuk harapan yang tampak dari fenomena-fenomena universal ini hanya merupakan pra-refleksi dari model harapan yang sesungguhnya. Harapan yang sesungguhnya adalah harapan Kristen. Apa yang kita temukan dalam fenomena-fenomena universal hanya memberi bingkai bagi suatu refleksi lebih lanjut mengenai harapan yang sesungguhnya itu.
Usaha yang dibuat oleh Macquarrie di atas tak lain adalah usaha untuk mengkaji persoalan-persoalan fundamental menyangkut pemahaman kita tentang pengharapan Kristen. Usaha Macquarrie membawa kesadaran dalam diri kita bahwa sesungguhnya kita perlu memberi penjelasan yang memadai tentang pengharapan Kristen dalam konteks dunia yang sekuler. Budaya kita memang adalah budaya yang sekuler. Kalau kita bicara tentang hidup Kristen, kita tidak bisa menganggap bahwa setiap orang menerima doktrin tradisional dan hanya menginginkan pemahaman dan bimbingan yang lebih penuh. Kita harus menjelaskan apa yang kita percayai dalam suatu cara yang juga menerangkan mengapa kita dapat percaya.[7] Uraian-uraian di bawah ini, dalam arti tertentu, merupakan usaha kita untuk menerangkan mengapa kita percaya, mengapa kita berharap.

B.    Dasar Biblis Tentang Pengharapan
“Harapan” adalah sebuah kata kunci dalam iman biblis.[8] Baik dalam Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru kita dapat menemukan kata tersebut. Perjanjian Lama berbicara tentang orang beriman yang “berharap kepada Tuhan” (Mzm. 31:25; 33:22; 38:16; 39:8; 42:6.12; 43:5; 130:7; 131:3). Berulang kali dikatakan bahwa Israel berharap kepada Tuhan, Tuhanlah “pengharapan Israel” (Yer. 14:8.22; 17:13). Bersama pemazmur, orang Israel yang saleh itu berdoa: “Engkaulah harapanku, ya Tuhan, kepercayaanku sejak masa muda, ya Allah” (Mzm. 71:5). Dari kutipan terakhir, tampaklah bahwa pengharapan itu sekaligus menjadi ungkapan iman yang kuat (bdk. Yes. 12:2). Selain unsur kepercayaan, ada juga unsur eskatologis karena pengharapan itu “harapan untuk hari depan” (Yer. 31:17; bdk. Hos. 12:7). Allah bukan hanya tujuan harapan, tetapi juga sumbernya: “Hanya pada Allah saja kiranya aku tenang, sebab dari pada-Nyalah harapanku” (Mzm. 62:6; Yer. 29:11). Pengharapan ini memberikan perdamaian dan kepastian (lih. Mzm. 46:2-3; Ams. 28:1).[9]
Kepastian harapan ini lain dari pada kepastian perencanaan: “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi Tuhanlah yang menentukan arah langkahnya” (Ams. 16:9). Kepastian yang mencirikan pengharapan itu selalu berarti kepercayaan: meletakkan nasib dalam tangan Tuhan (lih. Mzm. 33:18; 40:4; Ams. 14:26; 23:17-18; Yes. 30:15). Termasuk hakikat pengharapan bahwa apa yang diharapkan itu belum dilihat. Oleh karena itu, harapan Yahudi yang sejati terungkap dalam pengakuan ini: “Aku hendak menantikan Tuhan yang menyembunyikan wajah-Nya terhadap kaum keturunan Yakub; aku hendak mengharapkan Dia” (Yes. 8:17).[10]
Dasar pengharapan adalah kesetiaan Tuhan akan janji-janji-Nya, yang terbukti dalam masa yang lampau (Mzm. 105; 106; 107). Karena itu, sang nabi dengan mantap berkata: “Aku ini akan menunggu-nunggu Tuhan, akan mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku” (Mi. 7:7; lih. Mzm. 42:6).[11] Pengharapan menjadi jembatan antara manusia yang menantikan pemenuhan janji itu dan Allah yang memberikan janji-janji-Nya.
Dalam konteks Perjanjian Baru, terutama dalam beberapa perikop, kata harapan dan iman saling dipergantikan. Karenanya, Surat kepada jemaat Ibrani menghubungkan dengan dekat “kepenuhan iman” (10:22) kepada “pengakuan akan harapan kita tanpa bergeming” (10:23). Begitu pula, ketika Surat Pertama Petrus menganjurkan umat Kristen untuk selalu siap memberi jawaban mengenai sang Logos yang adalah arti dan alasan dari harapan mereka (bdk. 3:15). Di sini, sekali lagi dalam konteks Perjanjian Baru, “harapan” ekuivalen dengan “iman” (SS, 2).[12]
Bila kita membandingkan kehidupan umat Kristen dengan kehidupan sebelum umat Kristen itu mempunyai iman Kristen, atau bila kita membandingkan kehidupan umat Kristen dengan situasi dari pengikut agama-agama lain, kita melihat bagaimana dengan keteguhan pemahaman-diri para umat Kristen awal dibentuk oleh karena mereka memiliki karunia harapan yang bisa dipercaya. Paulus mengingatkan kepada jemaat Efesus bahwa sebelum pertemuan mereka dengan Kristus mereka “tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia” (Ef. 2:12). Tentu Paulus tahu bahwa mereka dulunya mempunyai ilah-ilah, dia tahu bahwa mereka dulunya mempunyai sebuah agama, tapi ilah-ilah mereka patut dipertanyakan, dan tidak ada harapan yang muncul dari mitos ilah-ilah yang kontradiktif tersebut. Meskipun memiliki ilah-ilah, mereka dulunya "tanpa Allah" dan konsekuensinya mereka menemukan diri mereka di dalam dunia yang gelap, menghadapi masa depan yang buruk (SS, 2).[13] Dalam konteks ini, kepada jemaat di Tesalonika, Paulus menegaskan: kamu seharusnya tidak “bersedih seperti orang lain yang tidak memiliki harapan” (1 Tes 4:13).
Dalam agama Kristiani, pengharapan merupakan sikap yang khas bagi situasi antara “pembenaran” dan “keselamatan penuh”, antara “sudah” dan “belum” (Rm. 8:20-25; 5:2-5; 1Kor. 1:7; Gal. 5:5; Flp. 3:20; 1Tes. 1:10). Karena itu, pengharapan memperlihatkan ketegangan antara pemberian Roh pada awal di satu pihak dan dalam kemuliaan kelak di lain pihak (1Kor.15:9). Dalam persekutuan Kristiani, orang beriman turut serta dalam pengalaman para leluhur bahwa pemenuhan janji itu pada gilirannya merupakan janji yang lebih besar lagi: “Kristus di tengah-tengah kamu –pengharapan akan kemuliaan” (Kol. 1:27). Pengharapan bukan kerinduan akan hidup di akhirat saja, melainkan kepenuhan iman yang memberi arti kepada hidup sekarang. Pengharapan merupakan ciri khas kehidupan Kristiani, sejauh dalam pengharapan itu sikap pokok hidup Kristiani, yaitu iman kepercayaan, menjadi konkret, khususnya dalam “ketekunan” yang berhubungan erat dengan kegembiraan dan keberanian (1Kor. 13:13; 1Tes. 1:3; 5:8; 1Kor. 13:7; Rm. 5:3-4; 8:25; 15:4; Rm. 1:13; 1Tes. 4:13; 2Kor 3:12).[14]
Dasar harapan adalah kasih Allah yang dicurahkan dalam hati kita dan dinyatakan dalam Kristus (Rm. 12:12; 15:13; 8:26; 5:5-6). Maka keselamatan menjadi konkret bagi kita karena pengharapan; realitas yang akan datang mempunyai pengaruh sekarang. Objek pengharapan adalah partisipasi pada kebangkitan Kristus. Kita berharap pada Kristus, yang sulung dari antara orang mati (Rm. 5:2; 15:12), berharap kepada Allah yang membangkitkan Yesus (2Kor. 1:10). Dalam arti itu, pengharapan terarah ke masa depan (Flp. 1:20).[15] Dan karena pengharapan itu, kita diselamatkan (Rm. 8:24).

C.    Yesus: Sumber Pengharapan Kristen
Dari penelusuran biblis di atas, terutama dalam Perjanjian Lama, kita menemukan bahwa fondasi harapan Kristen adalah Allah, dan hanya Allah sendiri. Hanya Allah harapan kita, tempat perlindungan kita, pembela kita, kekuatan dan penasehat kita (Mzm. 7:2; 15:1-2; 16:6-9; 32:20-22; 39:5; 61:2-10; 90:1-16; 145:2-6). Nada yang sama juga diungkapkan dalam Perjanjian Baru: Allah adalah pembebas kita dari semua bahaya (2Kor. 1:9-10), yang membangkitkan tubuh kita (Kis. 24:15), penyelamat jiwa kita (1Tim. 4:10; 5:5). Karena itu, Allah disebut sumber pengharapan (Rm. 15:13); karena Dia adalah Allah yang hidup (1Tim. 4:10), yang memberikan kepada kita kehidupan kekal (1Yoh. 3:2-3). Allah yang sama mewahyukan diri dalam Yesus, Putra-Nya yang tunggal. Karena itu, adalah juga benar bahwa Yesus Kristus juga adalah fondasi harapan kita.[16] Melalui kematian-Nya di salib dan kebangkitan-Nya dari alam maut, kita dibawa ke dalam perspektif harapan yang baru.

1.     Salib dan Kebangkitan: Landasan Kristologis Yang Menentukan Nasib Kekal Individu
Di atas sudah diungkapkan secara eksplisit bahwa objek harapan Kristiani adalah partisipasi pada kebangkitan Kristus. Tetapi, kebangkitan Kristus tak pernah dilepaskan dari peristiwa salib, sebab keduanya memiliki hubungan yang tak terpisahkan. Menurut Jürgen Moltmann, salib adalah kritik dan kriterium bagi iman kebangkitan Kristen yang sejati dan karenanya menjadi kriterium dari identitas Kristen.[17]
Salib dan kebangkitan merupakan inti sari iman Kristen yang mendasari pengharapan. Iman Kristiani hidup dari kebangkitan Kristus yang tersalib, dan mendambakan masa depan Kristus yang akan terpenuhi dalam parusia. Sejak permulaan orang-orang Kristen  perdana menganggap kebangkitan tidak hanya sebagai sebuah tanda bahwa Kristus hidup, tetapi juga sebagai sebuah garansi bahwa mereka juga akan mengalami kehidupan seperti Kristus.[18]
Dalam suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menegaskan bahwa “kita diselamatkan dalam pengharapan” (Rm. 8:24). Pengharapan kita bukan tak berdasar, sebab dasarnya adalah wafat dan kebangkitan Kristus. Karena itu, justru berhadapan dengan kematian menjadi jelaslah bahwa inti sari iman Kristiani adalah wafat dan kebangkitan Kristus sebagai peristiwa penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Kristus membebaskan manusia dari kematian berkat wafat dan kebangkitan-Nya. Wafat Kristus adalah solidaritas Allah dengan manusia sampai ke dalam kematian. Dalam kebangkitan Kristus, kesatuan Allah dengan manusia itu dibawa kepada kepenuhannya.[19]
Dalam kematian-Nya, Yesus membawa kepada pemusatan akhir dan penuh hidup-Nya dari ketaatan seorang anak. Sebagaimana Ia dengan yakin menyatukan diri-Nya dengan Allah dalam penyerahan diri, maka kematian-Nya memuncak dalam kebangkitan-Nya.[20] Agaknya memang kebangkitan itu bukanlah kesimpulan logis dari kematian. Secara intrinsik tidak ada hubungan kausal di antara keduanya. Hanya kematian Kristuslah yang ada hubungannya dengan kebangkitan-Nya, dan hanya berkat kesatuan antara wafat dan kebangkitan Kristus maka mungkinlah kebangkitan sebagai penyempurnaan hidup bagi orang-orang lain sejauh mereka bersatu dengan Kristus.[21] Pada salib Kristus, kematian manusia mendapat arti bagi Allah. Dan tanpa kebangkitan Kristus, kematian sebetulnya tak dapat dipikirkan sebagai penyelesaian hidup.
Dengan kebangkitan Kristus dari alam kematian, ada sebuah kepastian akan nasib kekal setiap individu. Sejauh mereka bersatu dengan Kristus, mereka juga akan mengalami pemenuhan janji keselamatan kekal ini: “Sekalipun Ia adalah Anak, Ia belajar taat dari apa yang telah diderita-Nya, dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya” (Ibr. 5:8-9). Kebangkitan Kristus “dari antara orang mati” berarti bahwa Ia berada di antara mereka, solider dengan mereka, senasib dan sepenanggungan. Justru karena itu, kebangkitan-Nya mempunyai akibat bagi mereka. Akibatnya, mereka pun diselamatkan. Yang diterima oleh Bapa bukan hanya Kristus, melainkan semua orang yang dalam kematian bersatu dengan Kristus. Dalam keteguhan pengharapan, kita percaya bahwa semua orang yang bersatu dengan Kristus pada waktunya akan turut dibangkitkan bersama dengan Dia dan masuk untuk turut mengalami kehidupan kekal.

2.    Eksistensi Kristiani Dalam Kematian Sebagai Kondisi Eskatologis
Kematian merupakan tantangan mendasar bagi pengharapan manusia. Kematian mengakhiri peziarahan manusia dalam sejarah hidupnya. Banyak cara orang memandang kematian. Bagi sejumlah orang, berakhir dalam kematian mungkin akan disambut dengan hangat karena kematian membebaskannya dari penderitaan. Orang lain mungkin menyambut kematian karena hidup mereka di dunia ini telah lama dan jenuh, dan tampaknya tidak ada gunanya untuk memperpanjang hidup.[22] Sebagian lagi menolak kematian atau memandang kematian sebagai sesuatu yang ditunda selama mungkin. Apapun sikap kita, ada sebuah kepastian bahwa “kenyataan maut sama sekali tidak terbayangkan” (GS, 18). Hanya pewahyuan ilahi yang dapat menghalau kecemasan kita berhadapan dengan maut/kematian. Kristus telah mengalahkan kekuatan maut melalui kematian-Nya. Dengan dasar pewahyuan tersebut, pengikut Kristus hidup dalam pengharapan meskipun berhadapan dengan kematian.[23]

Harapan di balik kematian: Dimensi eskatologis
Patut ditambahkan dalam penjelasan di atas, bahwa melalui realitas kematian sesungguhnya manusia Kristen mau menyatakan harapan akhir mereka, yaitu hidup kekal atau hidup abadi. Di sini kematian memiliki dimensi eskatologisnya. Akses menuju ke sana adalah iman yang menghantar orang ke dalam hidup abadi. Tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah kita benar-benar menginginkan hidup abadi? Dewasa ini ada sekian banyak orang menolak iman ini hanya karena mereka tidak menemukan bahwa prospek hidup abadi itu menarik. Apa yang mereka inginkan bukanlah hidup abadi, tetapi hidup saat ini, di mana iman akan hidup abadi bagaikan suatu penghalang. Kematian malah diakui sebagai sesuatu yang ingin ditunda selama mungkin. Tetapi, untuk selalu hidup tanpa akhir ini adalah sesuatu yang tak mungkin, karena hidup yang demikian hanya terasa monoton dan akhirnya tak tertahankan (bdk. SS, 10). Adalah benar bahwa untuk menghilangkan kematian atau untuk menundanya untuk suatu waktu tertentu akan menempatkan bumi dan umat manusia pada situasi yang tidak mungkin, dan bahkan bagi individu hal tersebut tidak akan memberikan keuntungan (SS, 11).
Dalam Ensiklik Spe Salvi, yang sebagian telah saya kutip di atas dan membahasakannya kembali, Paus Benediktus XVI menguraikan dengan jelas sikap kontradiktif manusia berhadapan dengan realitas kematian dan apa sesungguhnya yang menjadi jaminan bagi pengharapan kita di balik realitas kematian itu. Benediktus XVI menulis,

Tentu saja ada kontradiksi atas sikap kita, yang menunjuk kepada kontradiksi mendalam atas eksistensi kita. Di satu sisi, kita tidak ingin mati; di atas segalanya, mereka yang mencintai kita tidak ingin kita mati. Namun di sisi lain, kita juga tidak ingin hidup terus untuk waktu yang tak tertentukan, bumi pun tidak diciptakan menurut pandangan itu. Jadi sebenarnya apa yang benar-benar kita inginkan? Sikap paradoksial  memunculkan pertanyaan yang lebih dalam: apa sebenarnya “hidup”? Dan apa sebenarnya makna “keabadian”? Ada saat-saat di mana tiba-tiba hal itu menjadi jelas bagi kita: ya, inilah “hidup” yang sebenarnya. Padahal, apa yang kita sebut “hidup” dalam bahasa kita sehari-hari bukanlah “hidup” sama sekali. Santo Agustinus menulis: Pada akhirnya kita menginginkan satu hal—“hidup berbahagia”, hidup yang hanya hidup, hanya “kebahagiaan”. Tapi kemudian Agustinus juga berkata: Melihat lebih dekat, […] kita tidak tahu realitas ini sama sekali. “Kita tidak tahu apa yang harus kita doakan sebagaimana kita harus doakan” (Rm. 8:26). Kita tidak tahu apa yang sebenarnya kita sukai; kita tidak tahu apa “hidup sejati” ini; namun kita tahu bahwa harus ada sesuatu yang tidak kita ketahui di mana hal tersebut membuat kita tergerakkan (SS, 11).[24]

Dalam bagian selanjutnya dari Spe Salvi, Benediktus XVI menjelaskan bahwa “hal” tak diketahui ini adalah “harapan” sejati yang menggerakkan kita. Istilah “hidup abadi” dimaksudkan untuk memberi nama dari “hal tak diketahui” yang kita tahu. Maksudnya kita tidak tahu hal itu seperti apa, tapi kita tahu bahwa hal itu ada. “Keabadian” memberikan gambaran pada kita suatu gagasan akan sesuatu yang tidak berakhir; sesuatu yang lebih merupakan saat paling tinggi dari kepuasan, yang totalitasnya memeluk kita dan kita memeluk totalitasnya; sesuatu yang membuat kita tercebur ke dalam lautan cinta tak terbatas, sebuah saat di mana dimensi tidak lagi ada; suatu saat di mana hidup kita terliputi dengan kesukacitaan (bdk. SS, 12).[25]
Jadi, sesungguhnya tidak ada alasan bagi kita untuk takut terhadap kematian. Sebab Kristus telah mengalahkan kuasa maut. Kristus telah masuk ke dalam alam kematian, supaya dari sana, Ia menghantar semua orang yang percaya kepada-Nya ke dalam persekutuan dengan-Nya dalam kehidupan abadi (bdk. 1Kor. 15). Hidup abadi adalah kepenuhan hidup dalam Kerajaan Allah, di mana seluruh kemanusiaan dan dunia manusia yang ditebus, diubah secara total dalam kehadiran Allah, diangkat menuju kesempurnaan akhir dan penuh.[26] Harapan akhir akan hidup abadi ini sungguh menentukan. Tanpa harapan akan hidup abadi, masa depan manusia, pada akhirnya, hanya kematian, dan kematian sendiri mempertanyakan makna hidup, siapakah dia sekarang ini dan apa ada dia di dalam sejarahnya.[27] Harapan akan hidup abadi ini mengarahkan manusia kepada persatuan dengan sumber harapannya yang sejati, yaitu Allah yang mewujud dalam diri Yesus, Putra Allah yang bangkit. Dalam konteks harapan itu, seluruh eksistensi kekristenan kita mencapai kepenuhannya.

3.    Orang Kristen Dalam Gereja Yang Berziarah

Kita tidak mengetahui, kapan dunia dan umat manusia mencapai kepenuhannya; tidak mengetahui pula, bagaimana alam semesta akan diubah. Dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan yang telah rusak akibat dosa, akan berlalu. Tetapi kita diberi ajaran, bahwa Allah menyiapkan tempat tinggal baru dan bumi yang baru, kediaman keadilan dan kebahagiaan, yang memenuhi, bahkan melampaui segala kerinduan dan kedamaian yang  pernah timbul dalam hati manusia (GS, 39).[28]

Tujuan peziarahan Gereja menuju ke Kerajaan Allah, suatu tempat tinggal baru dan bumi yang baru. Dalam perjalanan menuju ke Kerajaan Allah, Gereja masih mengalami jatuh bangun dan berjuang bersama semua manusia yang berkehendak baik membangun Kerajaan Allah itu. Gereja belum sempurna. Maka, “Gereja baru akan mencapai kepenuhannya dalam kemuliaan di surga” (LG, 48). Sekarang ini “kita diselamatkan dalam pengharapan” (Rm. 8:24), sambil “menantikan kebangkitan orang mati, dan hidup di akhirat”.[29]
Pengharapan akan Kerajaan Allah tidak menghilangkan segala pertanyaan dan kesulitan. Orang Kristen harus tetap berjuang dalam dunia ini.[30] Pernyataan ini mau menggarisbawahi bahwa objek harapan kristiani tidak pernah merupakan masa depan di dunia ini, tetapi di dunia yang lain. Karena orang Kristen akan terus mengalami perlawanan dari luar dirinya terhadap pengharapannya. Yesus sendiri sudah menunjuk dengan jelas apa yang akan dialami oleh mereka yang percaya dalam nama-Nya: “Jikalau mereka telah menganiaya Aku, mereka juga akan menganiaya kamu; jikalau mereka telah menuruti firman-Ku, mereka juga akan menuruti perkataanmu” (Yoh. 16:20). Karena itu, untuk menghadapi masa depan, orang beriman memerlukan keberanian serta ketabahan hati (bdk. Mat. 10).[31] Dan yang paling penting adalah iman akan kebaikan Tuhan. Maka, “kita yang dibenarkan karena iman, kita hidup dalam damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus. Oleh Dia kita juga beroleh jalan masuk oleh iman kepada kasih karunia ini. Di dalam kasih karunia ini kita berdiri dan kita bermegah dalam pengharapan akan menerima kemuliaan Allah. Dan bukan hanya itu saja. Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita” (Rm. 5:1-3). Kesetiaan Tuhan merupakan dasar pengharapan kita. “Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya” (1Tes. 5:24).[32]
Keterarahan kepada Kerajaan Allah mendasari pengharapan dan kemantapan kita. Pengharapan itu tidak mengalienasi orang beriman dari dunia, tetapi justru meninggalkan tanggung jawab dalam diri setiap orang beriman terhadap sesamanya dalam peziarahan hidupnya di dunia. Dalam kesatuannya dengan Gereja, orang beriman menjalankan apa yang dikehendaki oleh Allah, yaitu “mengenal dan mencintai dengan benar, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan Kristus Saudara kita di dalam semua orang. Dengan demikian kita memberikan kesaksian tentang Kebenaran dan menyampaikan kepada orang lain misteri cintakasih Bapa surgawi. Dengan jalan ini manusia […] diajak untuk menikmati harapan yang hidup […], sehingga akhirnya pada satu saat mereka diterima di dalam perdamaian dan kebahagiaan yang terbesar, di tanah air, yang bercahaya karena kemuliaan Allah” (GS. 93).[33]

D.    Beberapa Catatan Kritis Sebagai Sumbangan Bagi Teologi Moral: Bagian Penutup
1.     Visi Community Oriented dari Harapan Kristen
Pengharapan Kristen akan kehidupan kekal, oleh para pengkritik, sering dituduh hanya memisahkan manusia dari dunia. Harapan akan pemenuhan yang berada di luar sejarah menghilangkan dorongan untuk berusaha menuju masyarakat yang adil dan damai dalam sejarah.[34] Harapan Kristen yang demikian hanya mau menunjuk bahwa proyek Kristen adalah suatu pencarian egois untuk keselamatan yang menolak gagasan akan pelayanan kepada yang lain. Orang lalu memandang harapan Kristen sebagai sebuah upaya individual untuk sampai pada keselamatan.
Melawan pandangan ini, Henry de Lubac menunjukkan bahwa keselamatan selalu dianggap sebagai suatu realitas “sosial”. Surat kepada jemaat Ibrani berbicara mengenai sebuah “kota” (bdk. 11:10, 16; 12:22; 13:14) dan karenanya, sebuah keselamatan komunal. Hidup yang nyata ini, yang kita coba untuk jangkau lagi dan lagi, dihubungkan dengan sebuah kesatuan yang dihidupi dengan suatu “orang-orang”, dan bagi tiap individu hal tersebut hanya didapatkan dalam “ke-kami-an” ini. Semua ini mensyaratkan bahwa kita lolos dari penjara “ke-aku-an” kita, karena hanya dalam keterbukaan dari subyek universal ini pandangan kita bisa terbuka kepada sumber kegembiraan, kepada cinta itu sendiri—kepada Allah (SS. 14).[35]
Visi yang community-oriented dari “kehidupan berbahagia” ini memang diarahkan melampaui dunia sekarang, namun visi itu juga punya kaitan dengan pembangunan dunia sekarang ini (SS, 15).[36]  Visi community-oriented ini akan menarik manusia Kristen ke dalam kesadaran bahwa karena hubungannya dengan Kristus (bdk. 1Tim. 2:6), sumber harapannya, ia dipanggil ke dalam ada bagi semuanya (bdk. SS, 28).[37] Kesadaran bahwa ia ada bagi semuanya harus merasuki pikiran, perkataan dan perbuatannya. Inilah tanggung jawab yang dipikul oleh manusia Kristen dalam peziarahannya menuju kepenuhan hidupnya.
Jadi, mengatakan bahwa harapan Kristen menghilangkan dorongan untuk berusaha menuju masyarakat yang adil dan damai dalam sejarah, dan karena itu merupakan sebuah pencarian egois, hanya mengaburkan hakekat harapan Kristen itu sendiri. Harapan Kristen sebetulnya tidak mengalienasi manusia Kristen dari dunia ini. Dalam kesadaran eksistensialnya, manusia Kristen ada dalam dunia dan bersama yang lain, dia memiliki tugas dan tanggung jawab untuk membangun manusia lain dan dunia.[38]

2.    Pengharapan Yang Berani: Berharap di dalam penderitaan
Penderitaan merupakan bagian dari keberadaan manusia. Penderitaan bersumber sebagian dari diri kita yang terbatas, dan sebagian dari banyaknya dosa yang telah terakumulasi sepanjang sejarah, dan terus bertumbuh tak-terkurangkan hari ini. Tentu kita harus melakukan apa yang perlu untuk mengurangi dan mengatasi penderitaan, tapi untuk menghilangkannya secara keseluruhan adalah di luar kekuatan kita (bdk. SS, 36).[39] Situasi penderitaan memang kadang mengaburkan dan bahkan menghilangkan harapan. Seperti Yesus yang merasa ditinggalkan oleh Allah, demikian juga kita merasa ditinggalkan oleh Allah dalam penderitaan. Tapi kita tidak perlu lari dari penderitaan. Sebab Allah sendiri telah turut mengalami penderitaan manusia. Moltmaan menulis,

Allah sama sekali lain. Allah meninggalkan kekuasaan dan keagungan-Nya, merendahkan diri-Nya hingga ke kematian, situasi ditinggalkan Allah. Allah dalam peristiwa penyaliban tidak lagi merupakan Allah yang ada di surga, kepada-Nya orang berseru dan memohon. Dia telah mengambil alih “teriakan manusia karena ditinggalkan Allah”.[40]

Dengan memandang penderitaan secara realis, kita mampu memaknai penderitaan itu sendiri. Kita dapat menjadi dewasa melaluinya dan menemukan maknanya melalui kesatuan dengan Kristus, yang menderita dengan cinta yang tak terbatas (SS, 37).[41] Kita memandang penderitaan lebih sebagai rasa sakit bersalin eskatologis, yang menjanjikan kelahiran baru.[42] Maksudnya, apa yang kita alami sekarang sebagai sebuah penderitaan akan berakhir dalam kemuliaan. Seperti Kristus menderita sengsara, wafat dan bangkit ke dalam kemuliaan, demikian juga kita –dalam iman– mengharapkan kemuliaan sesudah penderitaan.
Dengan melihat penderitaan secara realis, kita juga membangun kesadaran dan tanggung jawab terhadap orang lain. Kita membangun kesadaran bahwa ukuran sejati dari kemanusiaan secara esensial ditentukan dalam hubungan pada penderitaan dan kepada orang yang menderita. Untuk menerima “sesama” yang menderita, berarti bahwa aku mengambil penderitaannya sedemikian rupa sehingga penderitaan itu menjadi milikku juga. Karena penderitaan tersebut sekarang telah menjadi penderitaan bersama, penderitaan ini ditembus oleh terang cinta. Di sini, kita dipanggil untuk memberikan tindakan con-solatio, “penghiburan” bagi orang lain dalam kesendiriannya, sehingga kesendirian itu berhenti menjadi kesendirian (bdk. SS, 38).[43]
Panggilan orang Kristen adalah ada bersama orang lain dan memberikan con-solatio bagi mereka. Karena itu, orang-orang Kristen perlu menghayati unsur-unsur fundamental ini: “untuk menderita dengan yang lain dan bagi yang lain; untuk menderita bagi kebenaran dan keadilan; untuk menderita karena cinta dan supaya menjadi seorang pribadi yang benar-benar mencinta” (SS, 39).[44] Meninggalkan unsur-unsur tersebut berarti menghancurkan manusia itu sendiri. Dalam konteks hidup Kristiani, ia menanggalkan panggilan dan tanggung jawabnya.







Kepustakaan:

Bauckham, Richard. Teologi Mesianis, Menuju Teologi Mesianis Menurut Jürgen Moltmann. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996.

Benediktus XVI, Paus. “Spe Salvi Facti Sumus.” Dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).

Caird, G. B. “The Christological Basis of Christian Hope.” Dalam The Christian Hope 13. London: S.P.C.K., 1970.

Dister, Nico Syukur. Teologi Sistematika 2. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Hardawiryana, R (penerjemah). Dokumen Konsili Vatikan II. Seri Dokumentasi dan Penerangan KWI. Jakarta: Obor, 1983.

Häring, Bernard. Faith & Morality in A Secular Age. England: St. Paul Publications, 1974.

Hentz, Otto. Pengharapan Kristen. Yogyakarta: Kanisius, 2005.

Heuken, A. Ensiklopedi Gereja. Jilid III: H-J. Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2004.

Kirchberger, George. Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus. Ende: Nusa Indah, 1991.

KWI. Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Macquarrie, John. Christian Hope. London: A. R. Mowbray & Co. Ltd., 1978.

Poehlmann, Horst G. Allah itu Allah. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1998.

Ramirez, S. M. “Hope.” Dalam The New Catholic Encyclopedia. Volume VII. New York: McGraw-Hill Book Company, 1967.

Rieger, Josef. “Yesus Kristus Harapan Kita.” Dalam Yanuarius Lobo & Vincent Jolasa (Editors). Yesus Kristus Harapan Kita, Sebuah Bunga Rampai. Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992.


---------------


[1] Bdk. Otto Hentz, Pengharapan Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 13-14.
[2]Harapan Kristiani,” dalam A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid III: H-J (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 2004).
[3] John Macquarrie, Christian Hope (London: A. R. Mowbray & Co. Ltd., 1978), hlm. 2.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hlm. 3.
[6] Ibid., hlm. 4.
[7] Hentz, Pengharapan Kristen, hlm. 16.
[8] Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008). Selanjutnya saya gunakan singkatan SS untuk menunjuk ensiklik ini.
[9] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2 (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 506-507.
[10] Ibid., hlm. 507.
[11] Ibid.
[12] Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).
[13] Ibid.
[14] Dister, Teologi Sistematika 2, hlm. 510.
[15] Ibid.
[16] Bdk. S. M. Ramirez, “Hope,” dalam The New Catholic Encyclopedia, vol. VII (New York: McGraw-Hill Book Company, 1967), hlm. 136.
[17] Bdk. Richard Bauckham, Teologi Mesianis, Menuju Teologi Mesianis Menurut Jürgen Moltmann (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 67.
[18] Bdk. G. B. Caird, “The Christological Basis of Christian Hope,” dalam The Christian Hope 13 (London: S.P.C.K., 1970), hlm. 16-17.
[19] Dister, Teologi Sistematika 2, hlm. 586.
[20] Hentz, Pengharapan Kristen, hlm. 84.
[21] Dister, Teologi Sistematika 2, hlm. 587.
[22] Hentz, Pengharapan Kristen, hlm. 75.
[23] Ibid.
[24] Terkutip dalam: Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).
[25] Bdk. Ibid.
[26] George Kirchberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus (Ende: Nusa Indah, 1991), hlm. 137.
[27] Hentz, Pengharapan Kristen, hlm. 15.
[28] “Konstitusi Dogmatis Gaudium et Spes,” dalam R. Hardawiryana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Seri Dokumentasi dan Penerangan KWI (Jakarta: Obor, 1983).
[29] Bdk. KWI, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi (Yogyakarta: Kanisius, 1996), hlm. 461.
[30] Ibid., hlm. 473.
[31] Bdk. “Harapan Kristiani,” dalam A. Heuken, Ensiklopedi Gereja, Jilid III: H-J.
[32] KWI, Iman Katolik: Buku Informasi dan Referensi, hlm. 471-472.
[33] “Konstitusi Dogmatis Gaudium et Spes,” dalam R. Hardawiryana (penerj.), Dokumen Konsili Vatikan II, Seri Dokumentasi dan Penerangan KWI (Jakarta: Obor, 1983).
[34] Hentz, Pengharapan Kristen, hlm. 126.
[35] Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).
[36] Bdk. Ibid.
[37] Bdk. Ibid.
[38] Bdk. Bernard Häring, Faith & Morality in A Secular Age (England: St. Paul Publications, 1974), hlm. 19. Häring berbicara tentang sebuah kehadiran dan komitmen fraternal yang diinspirasi oleh iman yang tak terhingga nilainya. Komitmen fraternal ini menjadi sebuah urgensitas dalam konteks dunia dewasa ini. Dengan komitmen fraternal, orang-orang beriman dipanggil untuk memberi kesaksian hidup bagi dunia, tanggap terhadap persoalan-persoalan dunia dan membangun dunia.
[39] Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).
[40] Terkutip dalam: Horst G. Poehlmann, Allah itu Allah (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1998), hlm. 102.
[41] Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).
[42] Bdk. Josef Rieger, “Yesus Kristus Harapan Kita,” dalam Yanuarius Lobo & Vincent Jolasa (eds.), Yesus Kristus Harapan Kita, Sebuah Bunga Rampai (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1992), hlm. 34.
[43] Paus Benediktus XVI, “Spe Salvi Facti Sumus,” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).
[44] Ibid.

4 komentar:

  1. Mantap sekali. Ini tulisan utk skripsinya?

    BalasHapus
  2. Saya sedang membuat tulisan ttg pengharapan dan iseng dlm internet sampai melihat tulisan saudara. Sangat membantu sy menemukan inspirasi. Salam kenal, Domi Hodo, Pr.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Maaf baru balas. sudah lama tidak buka blog ini. semoga tulisannya bermanfaat.

      Hapus