welcome

selamat datang di blog RAHAN SINGRAY...

Selasa, 10 Mei 2011

DOSA SOSIAL ORANG KEI

TIGA DOSA SOSIAL MASYARAKAT KEI
(Mata Rantai Yang Tak Terputuskan?)
Oleh: Dion Remetwa*


Masyarakat Kei kini telah memasuki era modernisasi. Sentuhan-sentuhan modernisasi makin terasa, baik di perkotaan maupun di desa-desa terpencil. Masyarakat di desa-desa terpencil dan jauh dari perkotaan seperti Warvuut, Ohoidertom, Yatwav misalnya telah mengantongi dan mengotak-atik telepon-telepon selular. Gaya hidup masyarakat di desa-desa pun turut mendapat sentuhan modernisasi.
Menjadi sebuah kebanggaan bagi kita semua tentunya bahwa masyarakat Kei kini membuka diri terhadap berbagai perubahan yang diharapkan menyentuh pada seluruh dimensi hidup. Di tengah euforia sentuhan modernisasi itu, ada sebuah realitas yang tak bisa disangkal oleh semua masyarakat Kei bahwa mentalitas dan pola pikir mayoritas masyarakat belum banyak mengalami perubahan. Ini merupakan sebuah ironi bagi masyarakat yang tengah melangkah ke arah modernitas yang sesungguhnya.
Sebagian besar masyarakat Kei masih melekat erat dengan mentalitas dan pola pikir primordialnya. Kurangnya perubahan dan perkembangan dalam pola pikir ini melahirkan apa yang saya sebut sebagai tiga dosa sosial masyarakat Kei. Ketiga dosa sosial itu adalah nafngarihin, frudang-hawang, dan mur-mar.

1.      Nafngarihin (sirik, iri hati)
Sikap iri hati berjalan seiring dengan kecemburuan. Sikap cemburu mengandung di dalam dirinya ketidaksenangan, ketidakpuasan, atau ketidakpercayaan akan orang lain yang dianggap sebagai saingan. Di dalam diri orang yang cemburu terdapat perasaan tak mampu menyaingi, melebihi, mendapatkan kemungkinan untuk mengungguli atau menguasai saingannya. Iri hati dan kecemburuan menunjuk pada sikap “harga diri” sebagai penyebabnya. Orang merasa minder, rendah diri, tak berharga, tak bernilai, dilebihi oleh orang lain. Orang tidak mampu melihat dan mengembangkan segala bakat dan potensinya. Orang tak mampu bersaing sehat, tak mampu berkompetisi secara terbuka, orang tak mampu ‘take and give’, orang tidak memiliki kepercayaan diri yang kokoh. Iri hati dan kecemburuan tak teratur menggiring orang pada suatu keinginan besar untuk memiliki minimal sama dengan orang lain. Ia selalu merasa tidak puas dan tidak mensyukuri apa yang telah dikaruniakan kepadanya (Ponomban, 2006).
Nafsu iri hati dan kecemburuan menjadikan kita memusuhi, membenci sesama kita dan bahkan mencari daya upaya untuk membinasakan sesama. Pola pikir yang sempit melahirkan sifat sirik dan iri hati dalam diri orang-orang di kampung ini. Sirik dan iri hati terhadap perkembangan dan kemajuan orang atau keluarga lain. Ini sebuah kenyataan yang tak dapat kita pungkiri. Ketika usaha orang lain berkembang, muncullah sikap iri hati dari anggota masyarakat lain terhadap orang tersebut. Sikap sirik dan iri hati ini akan memuncak pada upaya untuk ”mematahkan” usaha dan perjuangan orang lain. Dengan kata lain, fngarihin berujung pada frud-hawang.

2.      Frudang hawang (sihir, ilmu hitam)
Dalam bahasa Indonesia kita kenal istilah ilmu hitam atau ilmu sihir (Inggris, black magic). Ilmu hitam adalah sebuah kepercayaan tentang praktek sihir yang menggunakan kekuatan-kekuatan jahat (black magic is the belief of practices of magic that draws on assumed malevolent powers). Jenis sihir ini digunakan dengan tujuan untuk membunuh, mencuri, melukai, menyebabkan kemalangan atau kerusakan, atau untuk keuntungan pribadi tanpa memperhatikan konsekuensi yang merugikan orang lain (this type of magic is invoked when wishing to kill, steal, injure, cause misfortune or destruction, or for personal gain without regard to harmful consequences to others). Praktek black magic atau ilmu hitam (frudang – hawang) akhir-akhir kembali menjadi sebuah trend yang menarik dalam masyarakat kita. Dahulu, biasanya orang-orang yang sudah lanjut umur yang banyak mempraktekkan kebiasaan sesat ini. Akhir-akhir ini justru terjadi sebaliknya. Ada gelombang besar anak muda yang mulai belajar ilmu-ilmu sesat dan marak mempraktekkannya. Tentu mereka belajar dari orang yang sudah tua (Guru atau master-nya).
Banyak hal bisa kita uraikan sebagai penyebab dasar orang terlibat atau mempraktekkan ilmu sesat ini, antara lain:
-         Karena rafngarihin (seperti telah saya jelaskan di atas)
-         Karena permintaan orang lain
-         Ada lagi yang mempraktekkannya karena hoby. Tipe semacam ini akan merasa ketagihan untuk melakukan praktek itu terus menerus
Sekadar sebagai sebuah sharing kecil saja. Ketika seorang keponakanku meninggal di rumah kakakku di Langgur, saya dan kedua kakakku (Vin dan Roby) yang mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kedukaan dan pemakamannya. Kakakku yang tertua mengurus peti jenasah. Kakak yang kedua mengurus konsumsi di Langgur dan transportasi para pelayat ke kampung. Sedangkan saya sendiri mengurus mobil jenasah yang kemudian dipakai untuk menghantar jenasah ke kampung.
Apa yang terjadi kemudian? Beberapa oknum tertentu dari kampung yang melihat usaha dan kerja keras kami untuk almarhum justru merasa iri (rafngarihin). Karena rasa iri yang berlebihan, akhirnya mereka kemudian mempraktekkan ilmu hitam dengan sasaran: Kakakku yang tertua dan istrinya, dan seorang kakak sepupuku. Kakak laki-lakiku didorong dan dijatuhkan ke dalam perigi di Kuur. Hasilnya, kaki sebelah kirinya bengkak dan nyaris tak bisa berjalan. Istri kakakku tiba-tiba mengalami luka di ibu jari tangan kirinya. Luka yang tak diketahui berasal dari mana. Sedangkan kakak sepupuku harus dilarikan kembali ke kampung karena lumpuh bagian kiri tubuhnya. Mereka bertiga mengalami sakit hanya di bagian kiri dari tubuh mereka.
Setelah perawatan, barulah diketahui bahwa pelaku sakit hati karena menilai bahwa kami ternyata berhasil mengurus pemakaman dari keponakanku, dan itu berarti kami pasti memiliki uang yang banyak. Sikap iri hati itu menyebabkan pelaku nekat menggunakan black magic untuk mencelakai keluarga saya.
Fenomena ini marak dalam kehidupan masyarakat kita. Tatkala sirik, iri hati, dan dendam menyelimuti hati, maka jalan kejahatan sekalipun ditempuh untuk memuaskan hati. Frudang hawang kemudian menjadi trend dan digandrungi sebagian besar orang sebagai jalan pintas untuk "mematahkan" orang yang dianggap lawan.

3.      Mur-mar
Mur-mar secara sederhana diartikan sebagai kebiasaan suka membicarakan orang lain. Istilah yang paling ngetop di kalangan orang Kei untuk tipe orang semacam ini adalah tukang reseh. Ini merupakan sebuah penyakit sosial yang paling populer di masyarakat kita. Sebuah kebiasaan di mana orang lebih ”suka duduk dan membicarakan orang lain”. Kebiasaan ini rupanya terus dipupuk, sehingga di manapun dua atau lebih orang berkumpul, di sana kebaikan atau kebusukan orang lain pun menjadi topik utama pembicaraan mereka. Seolah-olah mereka hendak menelanjangi orang yang sementara mereka bicarakan.
Efeknya tentu terasa. Pertama, nama baik orang yang dibicarakan telah dicemari oleh cerita beberapa orang itu. Kedua, karena keranjingan untuk membicarakan orang lain, maka timbullah rasa iri dan dengki (fngarihin) terhadap orang yang dibicarakan. Rafngirihin yang berlebihan kemudian mendatangkan niat untuk mencelakai orang itu dengan praktek frud-hawang (black magic).

Inilah mata rantai dosa sosial masyarakat Kei: nafngarihin, frud-hawang, mur-mar. Ketiga dosa sosial ini lahir dari induk yang satu, yaitu terkungkungnya pola pikir masyarakat setempat. Ketiga dosa sosial ini kemudian menciptakan iklim yang tidak kondusif, mengalirkan hawa negatif bagi pertumbuhan ”benih-benih kebaikan” di dalam masyarakat dan semakin memperkukuh hegemoni sikap primordial di tengah arus perubahan dan perkembangan zaman. Kapan ya mata rantai dosa sosial masyarakat Kei ini dapat diputuskan? Mari kita berefleksi lebih jauh tentang realitas ini dan mencari solusinya secara bersama.




_________________
* Penulis tinggal di Langgur. Menjadi tenaga pengajar di SMA Sanata Karya Langgur (Guru PNS, mata pelajaran PAK). Yang bersangkutan juga menjadi dosen mata kuliah agama di STIA Langgur dan Politeknik Perikanan Negeri Tual.

Senin, 29 November 2010

INJIL YOHANES

YESUS & DUNIA
(Suatu Penelusuran Biblis Dari Perspektif Injil Yohanes)
Oleh: Dimas Remetwa


Pengantar
Tema yang ditawarkan kepada saya adalah “Yesus dan Dunia”. Tema ini coba saya telusuri dari perspektif Injil Yohanes (selanjutnya disingkat Yoh). Agak sulit sebenarnya untuk menggagas tema ini secara terperinci, mengingat tema “dunia” kurang diprioritaskan dalam berbagai literatur Yoh. Kesulitan tersebut sejalan dengan alasan yang dikemukan oleh Hanz Conzelmann[1] ini: Perjanjian Baru (selanjutnya disingkat PB) tidak memiliki doktrin khusus tentang kosmologi[2]. Tidak ada pandangan kirstiani yang partikular tentang dunia. Hal itu berarti bahwa pandangan tentang dunia lebih diambil dari lingkungan sekitar, entah Yahudi atau Hellenis. Dalam kristianitas awal memang ada beberapa ide tentang susunan dunia, tetapi ide itu tidak diajarkan dalam Kredo.[3]
Dalam keterbatasan itu, saya coba menelusuri beberapa literatur untuk mencari pemahaman yang kurang lebih mendalam sebagai sumbangan pemahaman bagi kita tentang pokok ini. Sebagai instrumen awal untuk memahami tema “Yesus dan Dunia”, saya mengangkat beberapa pemahaman tentang ‘dunia’ yang muncul dalam beberapa tradisi. Selanjutnya saya akan memfokuskan perhatian pada tema “Yesus dan Dunia” dalam perspektif Yoh. Pada bagian akhir tulisan ini, saya coba menarik inspirasi dari uraian tema ke dalam konteks kita sekarang ini. Bagian ini sekaligus menjadi bagian penutup dari tulisan ini.

I.                   Paham Tentang Dunia Dalam Beberapa Tradisi
A.    Dunia Dalam Tradisi Yunani
Dalam tradisi pemikiran Yunani, “dunia” (κόσμος atau cosmos) menjadi satu tema penting. Dalam filsafat Yunani, kata tersebut dipahami dalam pengertian sebagai ‘tata kosmis’, ‘sistem’, ‘universe’ (alam semesta), juga ‘langit’.[4] Dalam perkembangannya, term dunia itu tidak hanya berarti dalam sejarah intelektual, tetapi juga dalam sejarah religius kuno di Yunani. Secara garis besar, konsep cosmos yang berkembang dalam alam pemikiran Yunani dapat diringkaskan sebagai berikut:[5]
-         Unitas adalah kodrat cosmos. Ide tentang kesatuan ini dapat ditemukan dalam pemikiran Plato yang berbicara tentang dimensi spasial dari cosmos. Bagi Plato, cosmos adalah universe di mana semua benda-benda individual dan ciptaan, langit dan bumi, dewa-dewi dan manusia, dibawa ke dalam unitas oleh sebuah tata universal.[6]
-         Cosmos adalah sebuah unitas sempurna berdasarkan norma-norma immanen yang mengintegrasikan benda-benda individual ke dalam suatu totalitas.[7]
-         Ada suatu relasi yang unik antara manusia dan cosmos. Para filsuf Yunani mengaitkan cosmos dengan manusia. Stoisisme, misalnya, menderivasi tata masyarakat dari cosmos. Karena hubungan yang unik ini, manusia dimungkinkan untuk memiliki pengetahuan tentang dunia.
-         Paham penciptaan tidak ada dalam alam pemikiran Yunani.

B.    Dunia Dalam Tradisi Judaisme Hellenis
Patut diulangi sekali lagi bahwa dalam tradisi Yunani, tidak ada paham tentang penciptaan. Paham itu dimunculkan oleh para pemikir Yahudi yang sangat dipengaruhi oleh filsafat Yunani. Puncak pemikiran tentang paham penciptaan ini berasal dari para pemikir Yahudi yang belajar di sekolah-sekolah Athena dan berakhir di Alexandria. Dari sana, tema dan konsep itu diadopsi oleh Judaisme dan dibawa ke dalam Kitab Suci berbahasa Yunani. Pemikir yang sangat berjasa dalam hal ini adalah Philo dari Alexandria. Philo berupaya untuk menunjukkan makna cosmos dalam alam pemikiran Yunani dan membuat harmoni antara ide tersebut dengan iman biblis Yahudi secara original dalam usaha memahami dunia dan relasinya dengan Allah.[8]
Dalam perkembangan sejarahnya, kata cosmos diadopsi ke dalam tata bahasa LXX (Septuaginta). Dalam Perjanjian Lama (selanjutnya disingkat PL) Ibrani, tidak ada kata yang menunjuk alam semesta. PL Ibrani secara normal hanya berbicara tentang langit dan bumi, atau kadang-kadang menggunakan kata “semua” (Mzm. 8:6; Yes. 44:24). Karena itu, tidak ada alasan yang spesifik mengapa penerjemah menggunakan term cosmos dalam arti “dunia”. Hal ini dapat dimengerti bahwa para penulis Yahudi Hellenis, yang secara khusus dipengaruhi oleh filsafat Yunani, menyukai term yang digunakan Philo dan membawanya ke dalam kosa kata religius dan teologis mereka.[9]
Perlu diketahui bahwa hanya dalam tulisan-tulisan terakhir dari LXX, term cosmos ditemukan dalam pengertian “dunia”. Fakta bahwa kata tersebut sering muncul dalam bagian LXX selanjutnya (19 kali dalam Keb., 5 kali dalam 2Mak., 4 kali dalam 4Mak.) mendukung kesimpulan yang dibuat oleh Philo, bahwa kata menjadi sebuah kata yang favorit dari Yudaisme Hellenis.[10]

C.    Dunia Dalam Tradisi Biblis
1.     Tradisi Perjanjian Lama
Petunjuk yang biasanya kita gunakan untuk memahami ‘dunia’ dalam PL adalah penggunaan kata “langit[11] dan bumi[12]” (Kej. 1:1). Dalam lingkup pemahaman PL, “langit dan bumi” atau dunia itu adalah ciptaan Allah. Maka, sebagai ciptaan, dunia hanya dapat bermakna melalui fungsinya dalam rencana keselamatan, dan dalam rencana keselamatan itu, dunia menemukan destinasi finalnya.[13]

a.     Originalitas Dunia
Berbeda dengan mitologi Mesopotamia, Mesir, Kanaan, dll., ada sebuah representasi biblis yang sungguh luar biasa tentang originalitas dunia. Antara Allah dan dunia, terdapat sebuah jurang yang dalam yang diekspresikan dengan kata menciptakan (Kej. 1:1). Jika kitab Kejadian dan teks-teks pendukungnya (Mzm. 8; 104; Ams. 8:22:31; Ayb. 38 dab) menunjuk pada sebuah aktivitas Allah yang kreatif, hal itu semata-mata mau menggarisbawahi pokok-pokok iman tertentu: distingsi antara dunia dan Allah yang esa, ketergantungan dengan seorang Allah yang mahakuasa yang dengan “bersabda dan segala sesuatu ada” (bdk. Kej. 8:22), dan melalui providensiNya, Allah mengintegrasikan alam semesta ke dalam rencana keselamatan di mana manusia menjadi pusatnya. Kosmologi yang suci ini menempatkan dunia dalam relasinya dengan manusia: Manusia berasal dari dunia untuk mendominasi dunia (Kej. 1:28).[14]

b.     Makna Dunia
Makna aktual dunia sebenarnya memiliki arah ganda:
Pertama, dari tangan Allah, dunia merupakan sebuah manifestasi kebaikan Allah yang kontinyu. Dalam kebajikanNya, Allah mengatur dunia ke dalam kesatuan dan harmoni sebagai sebuah karya seni yang benar (Ams. 8:22-31; Ayb. 28:25 dab). Kekuasaan dan divinitasNya dihadirkan sedemikian rupa dalam beberapa cara (Keb. 13:3 dab), sehingga manusia, ciptaan yang berakal budi, yang memandang alam semesta tak mampu menyelami misteri keagunganNya (Mzm. 8; 19:1-7; 104). Kedua, karena dosa, dunia juga bermakna ‘kemurkaan Allah’. Di sini, dosa menjadi instrumennya (Kej. 3:17 dab). Dia yang menjadikan segala sesuatu demi kebaikan dan kebahagiaan manusia, juga menggunakan segala yang ada untuk menghukum (chastise) manusia. Dalam cara ganda tersebut, dunia dimasukkan dalam kerangka rencana keselamatan.[15]

c.      Destinasi Akhir dari Dunia
Oleh karena dosa, dunia secara efektif tidak lengkap. Adalah tugas manusia untuk menyempurnakannya melalui kerja mereka; ia menundukkannya (Kej. 1:28). Tetapi, pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimana destinasi final dari dunia itu sendiri?
Pada penghakiman terakhir yang sedang menanti semua umat manusia, seluruh elemen dunia akan disatukan. Pada saat itu, semua ciptaan akan melihat suatu pembalikkan total di mana segala sesuatu yang ada di bumi dengan tiba-tiba kembali ke dalam situasi chaos (Yer. 4:23-26); bumi akan retak (Yes. 24:19 dab) dan bintang-bintang akan meredup (Yes. 13:10; Yl. 2:10; 4:15). Tetapi, atas cara yang sama, rahmat ilahi bekerja. Karena rahmat, manusia dipersiapkan untuk mengalami keselamatan setelah penghakiman. Demikian juga suatu pembaharuan yang amat besar dipersiapkan bagi dunia; suatu penciptaan baru. Allah akan menciptakan “langit yang baru dan bumi yang baru” (Yes. 65:17; 66:22).
Di sini kita bersentuhan dengan konsep “dunia sekarang” dan “dunia yang akan datang”. Dunia sekarang merupakan dunia yang kita diami; sebuah dunia yang memungkinkan maut masuk di dalamnya (Kej. 2:24), karena pengaruh roh jahat dan dosa manusia. Dunia yang akan datang tampak tatkala Allah datang untuk menegakkan kerajaanNya. Pada saat itu, semua realitas dalam dunia sekarang yang disucikan bersama dengan umat manusia menemukan kesempurnaan asali mereka. Mereka ditransfigurasi sesuai dengan gambaran realitas surgawi.[16]

2.    Tradisi Perjanjian Baru
Perjanjian Baru mengambil alih kata Yunani “cosmos” yang berarti “dunia yang teratur”. Penggunaan kata tersebut kadang-kadang untuk menyatakan apa yang kita sebut “alam semesta”, dunia yang dijadikan, yang dalam Perjanjian Lama digambarkan dengan ungkapan “segala sesuatu”, atau “langit dan bumi” (bdk. Kis 17:24).[17] Dunia dalam arti itu dijadikan oleh Firman (Yoh. 1:10); dan dunia itulah yang tentangnya Yesus berbicara ketika Dia mengatakan, bahwa tidak berguna seseorang memperoleh seluruh dunia tapi kehilangan nyawanya (Mat. 16:26).[18]
Manusia adalah bagian yang paling penting dari alam semesta. Karena itu, kata cosmos, dalam PB, lebih sering dipakai dalam pengertiannya yang terbatas, yakni untuk manusia. Pengertian itu sejalan dengan arti hê oikoumenê gê, “bumi yang dihuni”, yang dalam PB diterjemahkan dengan kata “dunia”. Ke dalam dunia itulah, manusia dilahirkan, dan di dalamnya mereka hidup sampai mereka mati (Yoh. 16:21).
Adalah aksioma Alkitab bahwa dunia umat manusia itu, yakni puncak karya ciptaan Allah, dunia yang dijadikan oleh Allah untuk memantulkan kemuliaanNya, sedang berada dalam pemberontakan terhadap Allah. Melalui pelanggaran satu orang, dosa telah masuk ke dalamnya (Rom. 5:18) dengan konsekuensi-konsekuensinya yang universal. Sebagai akibatnya, dunia telah menjadi dunia yang tak teratur (chaos) di dalam cengkeraman si jahat (1Yoh. 5:19). Dengan demikian, sangat sering bahwa dalam PB dan khususnya di dalam tulisan-tulisan Yohanes, kata cosmos mempunyai arti yang buruk.[19]

II.                Yesus dan Dunia Dalam Perspektif Injil Yohanes
Di dalam uraian-uraian sebelumnya, baik dalam tradisi Yunani, Judaisme Hellenis maupun tradisi biblis, ada sebuah kecenderungan untuk memahami dunia dalam hubungannya dengan manusia. Tradisi Biblis, terutama PB, lebih cenderung memahami dunia dalam pengertiannya sebagai dunia manusia. Dalam semangat PB, kita akan melihat bagaimana Yohanes memahami dunia itu sendiri.

A.    Dunia Menurut Yohanes
Dibandingkan dengan tulisan-tulisan PB yang lain, Yohaneslah yang paling banyak menggunakan kata dunia (cosmos). Kata ini muncul sebanyak 78 kali dalam Yoh, 24 kali dalam Surat-surat Yohanes dan 3 kali dalam Wahyu (8 kali dalam Matius, 3 kali dalam Markus, 3 kali dalam Lukas, dan 47 kali dalam Surat-surat Paulus).[20] Pengulangan kata itu dalam Yoh menunjuk suatu kepentingan eksegesis tertentu, yang oleh para penulis PB yang lain tak banyak digunakan.[21] Memang Yohanes dan Paulus yang banyak menggunakan kata “dunia” (cosmos), tetapi ada perbedaan di antara keduanya.[22] Mereka secara bersama memahami dunia sebagai gelanggang (theatre) sejarah keselamatan.[23]
Gambaran Yoh tentang dunia amat dipengaruhi oleh alam pemikiran PL, terutama mengenai kisah penciptaan. Bagian prolog Yoh terkait erat dengan Kej. 1. Dari prolog Yoh kita dapat menarik tiga konsep karya keselamatan. Pertama, Logos. ‘λογος’ (Logos) adalah kata Yunani yang searti dengan “firman”, kadang-kadang ditulis ‘ρημα’ (rhêma). Padanan kata Ibrani “דבר” (DABAR), berarti yang diucapkan maupun hal yang dikerjakan, atau suatu perkara. Dalam sastra Yohanes, ‘Λογος’ (Logos) menunjukkan Firman yang berpribadi. Ada dua hal yang menurut Alkitab menjadi ciri khas firman dan hal ini sesuai dengan mentalitas timur, yaitu: firman dan kenyataan tidak terpisahkan satu sama lain, sehingga “דבר” (DABAR) berarti firman (cerita, perintah, kebijaksanaan) maupun kenyataan (perkara, benda). Tidak ada firman yang sekaligus bukan kenyataan dan tidak ada kenyataan yang dapat dikomunikasikan tanpa firman. Selain itu, firman dan tindakan berkaitan erat, sebab bicara berarti bertindak, dan hal ini pertama-tama benar dalam hubungan dengan Allah yang menciptakan melalui firmanNya.[24] Dengan Logos atau DabarNya, Allah menciptakan segala sesuatu. Di sini, Yohanes memulai sebuah perspektif kosmis dengan menempatkan ciptaan dalam titik ruang yang menguntungkan: “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1). Dalam perspektif ruang ini, seluruh ciptaan menemukan originalitasnya.
Kedua, Logos menjadi manusia. Gambaran abstrak Logos atau Dabar Allah dalam kitab Kejadian, kini, dalam Yoh, mengambil wujud yang riil dalam daging. Ia hadir secara nyata dalam diri Yesus, sang Logos yang menjadi manusia. Karena itu, seluruh kosmos disentuh sejak permulaan oleh Yesus, Dabar Allah yang menjadi daging. Dengan menjadi daging, sebetulnya Allah masuk ke dalam sejarah dunia (manusia).[25] Dabar Allah itu kini tinggal di antara manusia, tinggal di dalam dunia (Yoh. 1:14). Dengan demikian dunia menjadi locus sejarah keselamatan. Allah merangkul dunia, ciptaan-Nya, dan menempatkannya dalam sejarah keselamatan itu. Hanya dengan cara itu, dunia memiliki makna yang penuh.
Konsep ketiga adalah konsep terang dan gelap. Terang itu adalah Dabar Allah. Terang adalah manifestasi Allah dalam Kristus, yang memberi hidup.[26] Tanpa terang memang sulit dibayangkan kehidupan. Di mana tidak ada terang, yaitu penolakan terhadap terang, di sana iman tidak ada. Yang ada hanyalah kegelapan. Dalam kegelapan, manusia hanya menemukan dirinya dilingkupi oleh kesalahan dan dosanya. Yoh menyebutkan bahwa terang yang sesungguhnya telah ada dalam dunia, tapi dunia menolak terang itu (Yoh. 1:9-10). Dunia lebih mencintai kegelapan dan karena itu, dunia berada dalam oposisi dengan Allah, Penciptanya.
Secara umum, para ekseget menafsir bahwa dunia dalam Yoh dipandang dalam arti yang buruk.[27] Dunia yang dimaksudkan dalam Yoh adalah dunia manusia dengan segala kekurangan, semangat berontak terhadap Allah. Dunia itu memang dari dirinya sendiri tidak jahat, bahkan dipanggil ke arah keselamatan (Yoh. 3:16). Tetapi kenyataan memang bisa menempatkan diri sebagai oposisi, karena dunia melupakan asal-usulnya. Dunia mau puas diri (bdk. Kej. 3:1-24; 11:1-9).[28]
Cosmos dalam arti ini bukanlah dunia yang dikehendaki Allah, melainkan menjadi dunia yang dipertentangkan dengan Allah, yang mengikuti hikmatnya sendiri dan yang hidup dengan terang akal budinya sendiri. Ada dua watak khas yang kuat dari dunia ini. Pertama, kebanggaan, yang lahir dari kegagalan manusia untuk menerima kedudukannya sebagai makluk dan ketergantungannya kepada Allah, yang menyebabkan ia bertindak seolah-olah ia adalah Allah dan pemberi hidup; kedua, ketamakan, yang menyebabkan manusia mengingini dan memiliki semua yang menarik indera jasmaninya (1Yoh. 2:16). Karena itu, keduniawian berarti merajakan sesuatu yang lain dari Allah untuk dijadikan sasaran tertinggi bagi perhatian dan kecintaan manusia.[29] Sikap inilahyang menyebabkan manusia jatuh dalam dosa dan berada dalam oposisi dengan Allah.
Pandangan yang negatif tentang dunia dalam Yoh juga ditampilkan dalam struktur dualistik yang menampilkan dua suasana tempat manusia hidup.[30] Struktur ini secara simbolik dinyatakan dalam sejumlah tema (misalnya terang dan kegelapan, atas dan bawah), tetapi di satu sisi berarti hidup dari orang yang tak percaya, dan di sisi lain, hidup dalam iman.[31] Di sini, Yohanes mengantar pembacanya sampai pada dualisme pilihan: percaya atau tidak percaya, hidup dalam terang atau dalam kegelapan. Bila struktur dualistik ini dikaitkan dengan pemahaman dunia menurut Yoh, maka kini menjadi jelas apa yang menjadi pilihan dunia: hidup dalam kegelapan atau menolak terang (bdk. Yoh. 1:10-11).
Dunia ini adalah gelap, dunia tidak gelap pada dirinya sendiri. Yoh tidak menguraikan gambaran mistis tentang dunia, juga bukan tentang mitos kejatuhan manusia. Benar, dunia jatuh dalam dosa, tetapi kejatuhannya ditempatkan dalam konfrontasi aktual dengan pewahyuan. Dalam Yoh kata cosmos secara mendasar memang menunjuk pada dunia manusia, tetapi bukan menunjuk manusia secara individual. Pada dirinya dunia adalah ciptaan yang baik adanya. Dia diciptakan oleh Logos yang adalah “terang manusia”. Adalah jahat jika dunia bertindak di luar kodratnya sebagai ciptaan.[32]

B.    Yesus dan Dunia
1.     Kedatangan Yesus: Diutus ke dalam dunia
Tradisi Yohanes membicarakan Yesus dalam alam berpikir Helenistik-Yudaistis. Hal ini, oleh para ahli, dilihat sebagai salah satu indikasi bahwa jemaat Yohanes adalah Yahudi diasporan.[33] Kalau ketiga Injil Sinoptis membicarakan Yesus dari sisi ke-manusiaanNya atau Kristologi bawah, Injil Yohanes menyajikannya secara Kristologi atas, menekankan keilahianNya.[34] Walaupun demikian, tidak berarti bahwa aspek kemanusiaan Yesus diabaikan oleh Yohanes. Malah itulah yang dicoba “diformat” ulang oleh Yohanes (Yoh. 1:1-5; 9-10). Bagi Yohanes, proklamasi Kerajaan Allah telah sedang hadir dalam diri Yesus sebagai salah satu “miniatur” dunia, yakni sebagai Manusia yang memiliki aspek paradoksal:[35] makhluk individual dan sosial, fisik dan rohani, manusiawi dan ilahi. Yesus menyatakan diriNya sebagai “Yang diutus” oleh Allah; hadir dalam dunia yang penuh dengan realitas yang membutuhkan “campur tangan Allah” secara visual-propetik; menjadi guru yang memberikan contoh bagi manusia bagaimana hidup, bergumul dan memberi solusi bagi realitas dunia yang kompleks.[36]
Yohanes memberi kesaksian bahwa Yesus diutus oleh Allah ke dalam dunia. Melalui misteri inkarnasi, Yesus yang adalah “Firman itu telah menjadi manusia dan diam di antara kita” (Yoh. 1:14). Ia berasal dari Bapa dan bukan dari dunia ini (Yoh. 8:23). Ia datang dari Bapa dan datang ke dalam dunia (Yoh. 16:28). Yesus datang ke dalam dunia bukan atas kehendakNya sendiri, tetapi Bapa-lah yang mengutusNya (Yoh. 7:28-29). Ia datang ke dalam sebagai terang, supaya dunia percaya kepadaNya dan tidak tinggal dalam kegelapan (Yoh. 12:46. Bdk. Yoh. 1:4-5; 8:12-20).

2.    Sikap Dunia Terhadap Yesus
Tradisi sinoptik menggarisbawahi beberapa model penilaian dunia terhadap Yesus dan misi perutusanNya. Berbagai penilaian dan anggapan tentang Yesus muncul dari berbagai pihak, mulai dari yang bersifat religius hingga politis (Mrk. 8:28-29; Mat. 16:13-20; Luk. 9:18-21), misalnya sebagai: Nabi yang membawa pesan Allah, Guru etika-moral bagi pengikut dan pendengarNya, Tabib bagi orang yang sakit, Sahabat bagi orang terbuang, Pejuang dan Transformator ke arah sebuah “paradigma baru”.  Hal ini karena “profesi” yang dijalankan Yesus “menyentuh” segala aspek kehidupan dan menggemparkan bumi Palestina.[37] Profesi yang dijalankanNya, sampai-sampai terkadang tidak ada waktu untuk makan (Mrk. 3:20; 6:31), menjadikan diriNya sebagai seorang tokoh yang berpengaruh, walaupun Ia tidak mencari popularitas  dan nama.[38]
Dalam Yoh, sikap dunia bisa dibagi ke dalam dua kategori ini: yang menerima dan yang menolak. Kelompok pertama, mereka yang menerima Yesus, disebut sebagai “orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh. 1:13). Bagi mereka ini, Yesus memberikan kuasa untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Tugas mereka adalah member kesaksian tentang Yesus, terang sejati itu (bdk. Yoh. 1:7). Kelompok kedua adalah mereka yang menolak Yesus. Yoh menggunakan beberapa kata berikut untuk menunjuk sikap mereka yang menolak Yesus: tidak mengenalNya (1:10), tidak menerimaNya (1:11), tidak percaya kepadaNya (Yoh. 12:37), membenciNya[39] (Yoh. 15:18), dan lebih ekstrem, membunuh Dia (Yoh. 11:53; bdk. 7:19).[40] Alasan penolakan juga disebutkan dalam Yoh: dunia lebih menyukai kegelapan dari pada terang (Yoh. 3:19), mencintai terang dan tidak datang kepada terang (Yoh. 3:20; bdk. 5:40), tidak menerima firman yang Yesus sampaikan (Yoh. 12:48; bdk.15:20), mereka tidak mengenal Bapa yang mengutus Yesus (bdk. Yoh. 15:21). Dalam Yoh. 15:18-17, Yesus membuat analisis terhadap sikap penolakan dunia terhadap diriNya, pertama penolakan terhadap apa yang Dia katakana dan kedua, terhadap apa yang Dia buat.[41] Kemudian, Yesus menutup alasan penolakan itu dengan pernyataan, “Mereka membenci Aku tanpa alasan”.
Oleh karena sikap penolakan itu dunia berada dalam oposisi dengan Dia. Konsekuensinya, dunia diperhadapkan pada penghakiman. Yesus memang tidak datang untuk menghakimi dunia. Yang menjadi hakim bagi dunia atas sikap penolakannya adala firman yang telah diberitakan oleh Yesus. Firman itulah “yang akan menjadi hakimnya pada akhir zaman” (Yoh. 12:48).

3.    Misi Yesus dalam Dunia
Misi yang dibawa oleh Yesus sesuai dengan visi profetik Allah: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Visi profetik ini menggarisbawahi misi Yesus di dunia: “Sebab Allah mengutus AnakNya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia” (Yoh. 3:17). Tujuannya jelas, yaitu “setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup kekal” (Yoh. 3:15).
Di atas kita telah melihat bahwa dunia membenci Yesus dan semua orang yang percaya kepadaNya. Hal ini bisa dimengerti karena “Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan olehNya, tetapi dunia tidak mengenalNya” (Yoh. 1:10). Dunia yang dijadikan olehNya telah dikuasai oleh penguasa kegelapan (kejahatan). Ke dalam dunia yang membenciNya (Yoh. 15:18), yang tidak mengenalNya itu (Yoh. 1:10), Yesus hadir (bdk. Yoh. 3:16-17) untuk merealisasi misiNya (12:47; bdk. 3:15). Ia sedang datang ke dalam dunia (Yoh. 1:9) dan telah ada dalam dunia (Yoh. 1:10). Ia datang bukan untuk menghakimi dunia yang tidak mengenalNya, tetapi untuk menyelamatkannya (Yoh. 12:47) dari kuasa jahat. Penguasa dunia, pangeran kejahatan, tidak memiliki kuasa sedikitpun atas Dia (Yoh. 14:30). Ia telah mengalahkan kuasa kejahatan, penguasa dunia, dengan peninggian diriNya di kayu salib (Yoh. 16:11; bdk. Yoh. 3:14-15; 12:32).[42] Penguasa kejahatan telah dilemparkanNya ke luar (Yoh. 12:31).
Inilah kemenangan Kristus atas kejahatan dunia (Yoh. 16:33). Yesus menaklukan dunia. Tetapi, tindakan penyelamatan dengan menaklukkan penguasa dunia itu tidak mudah. Dengan kematianNya, Dia telah “menghapus dosa dunia” (Yoh. 1:29).[43] Dia telah memberikan hidupnya untuk dunia (Yoh. 6:33).[44] Tebusannya adalah dengan memberikan tubuhNya sendiri “…, untuk hidup dunia” (Yoh. 6:51).[45] Dengan itu Dia telah menguduskan dunia yang dikuasai oleh kekuatan penguasa kejahatan.[46] Setelah menaklukan penguasa dunia dan menyelesaikan seluruh misiNya di dalam dunia ini, Yesus meninggalkan dunia ini dan kembali kepada Bapa (Yoh. 16:28). Di sana, untuk selanjutnya Ia duduk dalam kemuliaan (Yoh. 17:1-5). Pengemban misi Yesus selanjutnya adalah mereka yang percaya dalam namaNya, secara adalah kelompok murid yang selalu mengikutiNya.

4.    Kontinuitas Tugas Perutusan Yesus Dalam Dunia
Dengan peninggianNya di kayu salib tidak berarti misi Yesus di dunia berakhir. Dalam Yoh, kontinuitas tugas perutusan itu ditunjukkan dengan amat jelas. “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia” (Yoh. 17:18). Para murid adalah pengemban misi Yesus selanjutnya. Mereka harus menjadi saksiNya bagi dunia. Karena alasan itu, mereka telah dipilih dari dunia (Yoh. 15:19). Mereka diambil dari dunia dan diutus ke dalam dunia. Dan demi tugas perutusan itu mereka telah dikuduskan dalam kebenaran (Yoh. 17:17). Mereka disisihkan untuk suatu tujuan yang kudus, yang suasananya adalah kebenaran.[47] Mereka diutus untuk “menguduskan” dunia.
Kontinuitas tugas perutusan ini bukan tanpa halangan. Para murid, dalam menjalankan tugas perutusan itu, akan selalu berhadapan dengan situasi dunia yang tidak memiliki kepekaan akan Yesus dan karyaNya.[48] Mereka akan dibenci karena mewartakan Yesus dan firmanNya. Dalam dunia ini mereka akan menderita penganiayaan (Yoh. 16:33), dikucilkan dan bahkan mereka akan dibunuh (Yoh. 16:2) karena mereka bersaksi tentang Dia. Namun, ke dalam dunia itulah mereka diutus. Yang diinginkan Yesus adalah agar para murid juga mengambil bagian dan “merasakan” pelayanan berat untuk memberi “sesuatu yang lain”, yang baru dan “berpengaruh” bagi dunia (Yoh. 17:15); misi untuk melakukan tugas yang sama, meneruskan pekerjaan Yesus, pekerjaan Allah (Yoh. 14:12; 20:21).[49]

III.             Dunia Sebagai Locus Perutusan Kita: Penutup
Kita bisa memberi gambaran sendiri tentang wajah dunia kita saat ini, dengan merujuk pada pengalaman-pengalaman konkret. Kenyataan dunia yang diwarnai oleh permusuhan, pertentangan, perang, bencana alam, pendewaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, penindasan, ketidakadilan dalam berbagai aspek, kemiskinan yang merajalela, dan berbagai hal lainnya, membawa manusia ke dalam situasi, yang oleh Paus Benediktus XVI disebut “tanpa pengharapan” dan “tanpa Allah dalam dunia”.[50] Dalam situasi seperti itu, manusia kehilangan pegangan hidup. Bahkan, Allah pun disangkal. Secara pribadi, saya lalu bertanya: “Apakah dunia kita sekarang ini adalah representasi dunia seperti yang digambarkan dalam Injil Yohanes”? Kalau benar apa yang digambarkan oleh Benediktus XVI dalam Ensiklik Spe Salvi, maka saya berani mengatakan: “Dunia kita adalah representasi dunia ala Yoh”.
Yohanes memang menggambarkan dunia secara negatif, tetapi tidak berarti bahwa ia menolak dunia. Dunia baginya adalah panggung sejarah keselamatan. Yohanes menempatkan dunia dalam bingkai sejarah keselamatan. Di dalam dunia ini, manusia ditarik dari situasi ketidakberdayaan karena cengkeraman kuasa dosa dan diberi suatu “harapan eskatologis”, yaitu “memperoleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:15).
Dunia, sebagaimana saya telah saya gambarkan di atas, juga menjadi “gelanggang” tugas perutusan kita. Kita adalah orang-orang yang dipanggil untuk tugas perutusan itu. Kita telah disisihkan dari dunia, bukan untuk meninggalkannya, tetapi diutus ke dalam dunia untuk mewartakan tentang “terang yang sesungguhnya”.


Kepustakaan:

Arulangi, Ronald. “Gereja dan Realitas Dunia Sebagai Ladang Misi Bagi Kerajaan Allah.” Dalam http://www.geocities.com/jurnalintim/ronald.htm (27/10/2008).

Benediktus XVI, Paus. “Ensiklik Spe Salvi [No. 5].” Dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).

Bergant, Dianne. “John.” Dalam The Bible Today 20/2 (March 1982), hlm. 90-91.

Bowe, Barbara E. “The Portrait of Jesus in the Gospel of John.” dalam The Bible Today 40/2.

Brown, Raymond E. “The Theology of the Incarnation in St. John.” Dalam M. Rosalie Ryan (ed.). Contemporary New Testament Studies. Minnesota: The Liturgical Press, 1965.

Conzelmann, Hanz. An Outline of the Theology of the New Testament. London: SCM Press, Ltd., 1969.

Darmawijaya, St. Pesan Injil Yohanes. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Ellingworth, P. “Benci, Kebencian.” Dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Jilid I: A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 2001.

Frank McGrath, James. “The Gospel of John.” Dalam http://www.geocities.com/jamesfrankmcgrath/Bible/NT/john.htm (27/10/2008).

Gianto, A. “Sang Penolong, Roh Kebenaran dan Para Murid.” Dalam http://provindo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=131&Itemid=1 (27/10/2008).

Hadiwiyata, A. S. Tafsir Injil Yohanes. Yogyakarta: Kanisius, 2008.

Harrington, Daniel J. “The Jews in John Gospel.” Dalam The Bible Today 27/4 (July 1984), hlm. 203-209.

Jacobs, Tom. Siapakah Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru. Yogyakarta: Kanisius, 1982.

Leahy, Louis. Esay Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994.

Lesquivit, Colomban & Grelet, Pierre. “World.” Dalam Xavier Léon-Dufour (ed.). Dictionary of Biblical Theology. Dublin, London: Geoffrey Chapman, 1973.

Marsh, John. Saint John. England: Penguin Books, Ltd., 1968.

Morris, Leon. The Gospel According to John. Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Co., 1980.

O’Collins, Gerald & Farrugia, Edward G. Kamus Teologi. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Pilch John J. “Earth in the Bible.” Dalam The Bible Today [nomor dan halaman tidak ada].

Sasse, Herman. “κόσμος.” Dalam Gerhard Kittel. Theological Dictionary of the New Testament. Volume 3. Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1965.

Senior, Donald. “The Gospel of John.” Dalam The Bible Today 20/2 (March 1982), hlm. 70-77.

_______________. “The Gospels and the Earth.” Dalam The Bible Today 26/3 (May 1988), hlm. 141-145.

Tafsir Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 2003.

Tasker, RVG. “Dunia.” Dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini. Jilid I: A-L. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 2001.

Verkuyl, J. Tafsiran Indjil Jahja. Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967.

“Pada Mulanya adalah Firman.” Dalam http://www.sarapanpagi.org/pada-mulanya-adalah-firman-vt119.html (29/11/2008).


----------------------


[1] Hanz Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament (London: SCM Press, Ltd., 1969), hlm. 14.
[2] “Kosmologi,” dalam Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi (Yogyakarta: Kanisius, 1996). Kosmologi adalah pemahaman menyeluruh tentang jagad raya: asal usul, hakikat, tata susunan, dan tujuan akhirnya.
[3] Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament, hlm. 15.
[4] Herman Sasse, “κόσμος,” dalam Gerhard Kittel, Theological Dictionary of the New Testament, vol. 3 (Grand Rapids, Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1965), hlm. 869.
[5] Bdk. Ibid., hlm. 873-879.
[6] Ibid., hlm. 871.
[7] Ibid., hlm. 873. Norma immanen adalah tata polis dalam universe, sebuah jenis norma hukum (Anaximander). Bagi Phytagoras, norma immanen itu adalah angka-angka dan proporsi antar angka (Phytagoras). Norma matematis yang adalah juga norma estetis itu menciptakan harmoni dari cosmos. Herakleitos membuat sebuah langkah maju dengan menyebut logos sebagai norma immanen. Logos adalah norma pemikiran manusia yang tertinggi. Norma ini juga yang mengintegrasikan elemen-elemen yang bervariasi dan berlawanan ke dalam kesatuan kosmis. Plato dan Aristoteles lebih membicarakan tentang subjektivitas alam semesta menuju alasan-alasan ilahi. Stoisisme kembali kepada ide logos dalam usaha mereka untuk memahami kodrat ilahi dari hukum dunia yang immanen.
[8] Ibid., hlm. 877. Bdk. James Frank McGrath, “The Gospel of John,” dalam http://www.geocities.com/jamesfrankmcgrath/Bible/NT/john.htm (27/10/2008). Philo adopted much from Platonismm, which believed that there was a real world, of ideas and forms, which is perfect, and of which our world is just a shadow or copy. From Stoicism, Philo derives his talk of divine reason (λογος) immanent in the world, permeating all things & present also in man, the seminal logos, so that man's highest good is to live in accordance of this divine reason. For Philo, God is further removed from man and the physical universe than the realm of ideas, and thus is unknowable even to the purest intellect, although God has left a 'shadow' of himself in his creation, and also God is knowable in the sense that God is the archetype of the Logos.
[9] Sasse, “κόσμος,” hlm. 881.
[10] Ibid., hlm. 882.
[11] Bdk. Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament, hlm. 15. Alongside the aspect of heaven as a constituent part of the universe, however, we find another: Heaven is the abode of God.
[12] Bdk. John J. Pilch, “Earth in the Bible,” dalam The Bible Today [nomor dan halaman tidak ada]. Pilch mencatat kembali definisi bumi yang dibuat oleh Waldemar Janzen dalam The Anchor Bible Dictionary (II:245): Earth is the habitation of human beings, viewed physically as land, soil, or ground, geographically as a region, politically as a state, territory, or country, cosmically as the opposite of heaven, and symbolically as the entirety of material existence.
[13] Bdk. Colomban Lesquivit & Pierre Grelet, “World,” dalam Xavier Léon-Dufour (ed.), Dictionary of Biblical Theology (Dublin, London: Geoffrey Chapman, 1973), hlm. 677.
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm. 677-678.
[17] RVG. Tasker, “Dunia,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I: A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 2001).
[18] Lesquivit & Pierre Grelet, “World,” hlm. 678.
[19] Tasker, “Dunia.”
[20] Bdk. Leon Morris, The Gospel According to John (Michigan: WM. B. Eerdmans Publishing Co., 1980), hlm. 126.
[21] Ibid.
[22] Penjelasan terperinci mengenai pandangan Paulus tentang dunia dan manusia dapat dibaca dalam Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament, hlm. 192-198.
[23] Bdk. Sasse, “κόσμος,” hlm. 892.
[24] “Pada Mulanya adalah Firman,” dalam http://www.sarapanpagi.org/pada-mulanya-adalah-firman-vt119.html (29/11/2008).
[25] Bdk. Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament, hlm. 353. Juga bdk. Barbara E. Bowe, “The Portrait of Jesus in the Gospel of John,” dalam The Bible Today 40/2, hlm. 80.
[26] Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament, hlm. 353.
[27] Tasker, “Dunia.”
[28] St. Darmawijaya, Pesan Injil Yohanes (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 35.
[29] Bdk. Tasker, “Dunia.”
[30] Bdk. Dianne Bergant, “John,” dalam The Bible Today 20/2 (March 1982), hlm. 90. This dualistic tendency is behind the very negative characterization of the world.
[31] Bdk. A. S. Hadiwiyata, Tafsir Injil Yohanes (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hlm. 13. Juga bdk. Conzelmann, An Outline of the Theology of the New Testament, hlm. 353-354.
[32] Ibid., hlm. 352.
[33] Sebuah uraian yang menarik tentang “the evolution of the Johannine Community” dapat dibaca dalam Donald Senior, “The Gospel of John,” dalam The Bible Today 20/2 (March 1982), hlm. 72-74.
[34] Bdk. Tom Jacobs, Siapakah Yesus Kristus Menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 169. Dalam Injil Yohanes identitas Yesus tidak dicari dan diperlihatkan sedikit demi sedikit. Dari semula segalanya sudah jelas: “Firman itu adalah Allah” (Yoh. 1:1).
[35] Istilah ini digunakan oleh Leahy untuk menjelaskan manusia yang terdiri dari berbagai dimensinya yang penuh misteri. Lih. Louis Leahy, Esay Filsafat Untuk Masa Kini: Telaah Masalah Roh-Materi (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994), (bagian sampul belakang).
[36] Bdk. Ronald Arulangi, “Gereja dan Realitas Dunia Sebagai Ladang Misi Bagi Kerajaan Allah,” dalam http://www.geocities.com/jurnalintim/ronald.htm (27/10/2008).
[37] Berbagai dimensi hidup masyarakat Yahudi pada zaman Yesus denga segala problematikanya dapat dibaca dalam: Daniel J. Harrington, “The Jews in John Gospel,” dalam The Bible Today 27/4 (July 1984), hlm. 203-209.
[38] Ibid.
[39] Bdk. J. Verkuyl, Tafsiran Indjil Jahja (Djakarta: Badan Penerbit Kristen, 1967), hlm. 198-202. Juga bdk. P. Ellingworth, “Benci, Kebencian,” dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid I: A-L (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 2001). Bapa (Yoh. 15:24), Yesus (Yoh. 7:7; 15:18.24 dab), dan semua orang Kristen (Mrk. 13:13; Luk. 6:22; Yoh. 15:18-22; 17:14; 1Yoh. 3:13) dibenci oleh dunia.
[40] Bdk. Morris, The Gospel According to John, hlm. 126. In the case of Christ, the world at large opposed Him, rejected Him, and finally crucified Him.
[41] Bdk. John Marsh, Saint John (England: Penguin Books, Ltd., 1968), hlm. 528.
[42] Bdk. Tasker, “Dunia.”
[43] Bdk. Donald Senior, “The Gospels and the Earth,” dalam The Bible Today 26/3 (May 1988), hlm. 144-145. Senior menjelaskan bahwa dengan memberikan dagingNya untuk hidup dunia, Yesus mewahyukan cinta Allah kepada dunia (1:14-18). Di sini Yohanes meninggalkan teologi penciptaan dan bergerak menuju refleksi Kristologis yang lebih mendalam: Kristus menjadi puncak seluruh penciptaan dunia, daging diliputi dengan seluruh keberadaan Allah sendiri.
[44] Bdk. Raymond E. Brown, “The Theology of the Incarnation in St. John,” dalam M. Rosalie Ryan (ed.), Contemporary New Testament Studies (Minnesota: The Liturgical Press, 1965), hlm. 294. […] the gift of life to men, it is a mission to this world.
[45] Morris, The Gospel According to John, hlm. 128.
[46] Bdk. Tafsir Alkitab Masa Kini 3: Matius-Wahyu (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OFM, 2003), hlm. 322. Pengudusan Yesus tertuang dalam tekad untuk melaksanakan pekerjaan penyelamatan.
[47] Ibid.
[48] Bdk. A. Gianto, “Sang Penolong, Roh Kebenaran dan Para Murid,” dalam http://provindo.org/index.php?option=com_content&task=view&id=131&Itemid=1 (27/10/2008).
[49] Arulangi, “Gereja dan Realitas Dunia Sebagai Ladang Misi Bagi Kerajaan Allah,” dalam http://www.geocities.com/jurnalintim/ronald.htm (27/10/2008).
[50] Bdk. Paus Benediktus XVI, “Ensiklik Spe Salvi [No. 5],” dalam http://www.indocell.net/yesaya/pustaka/id538.htm (10/9/2008).