welcome

selamat datang di blog RAHAN SINGRAY...

Minggu, 28 November 2010

METODE BERTEOLOGI

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT SEMINARI PINELENG





METODE BERTEOLOGI
MENURUT BERNARD J. F. LONERGAN
DAN INSPIRASINYA BAGI STUDI TEOLOGI
DI STF SEMINARI PINELENG


SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari syarat-syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Strata-1 Filsafat
pada Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng



Oleh :

Dionisius Remetwa
NIRM: 01246026



Manado
2006






Karya Tulis ini kupersembahkan kepada:
Papa, Mama, Kakak-Adik, Iche Mayabubun (Kekasih Jiwaku),
Keluarga Besar Remetwa, Woma Sirken Hermas
(tanah tumpah darahku),Woma Songli Betav (asal nenek moyangku)
dan semua saja yang menaruh perhatian pada usaha untuk
mengkomunikasikan Injil Kebenaran dan Keadilan kepada
budaya-budaya, agama-agama dan seluruh masyarakat manusia
di mana saja ia berada.






KATA PENGANTAR


Saya hanyalah insan yang lemah dan penuh keterbatasan. Tanpa bantuan dan penyertaan Tuhan, maka segala sesuatu yang saya buat hanya sia-sia belaka. Maka sudah sepatutnya saya haturkan pujian dan hormat kepada Mahabesar Tuhan yang telah membimbing dan menyertai saya, sehingga saya dapat merampung dan menyelesaikan tulisan ini. “Hatiku bersuka ria, karena Tuhan Allah, Penyelamatku”.
Ungkapan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya sampaikan kepada mereka yang telah memberikan kesempatan dan kondisi-kondisi yang positif, sehingga saya dapat merampungkan tulisan ini: DR. Albertus Sujoko (Ketua STF-Seminari Pineleng) dan segenap staf dosen, RD. Julius Salettia, PR (Rektor Seminari Tinggi Hati Kudus Pineleng) dan segenap staf pembina Komunitas Diosesan. Secara khusus saya sampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada pembimbingku, Ambrosius Wuritimur, SS., Lic.Th., yang dengan penuh perhatian dan dedikasi yang tinggi membimbing saya dalam penulisan karya tulis ini. Juga kepada RD. William Ngoranubun, PR yang mengusulkan tokoh utama dalam tulisan ini kepadaku.
Akhirnya, terima kasih kepada semua con-frater di Komunitas Diosesan Seminari Pineleng, terutama rekan-rekan angkatan 2001 dan 2002 serta fratres Diosis Amboina. Juga terima kasih kepada sdr. Hendra Wenehen dan adik Alden Tanlain yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk menggunakan komputer mereka dalam merampungkan tulisan ini. Terima kasih atas segala bantuan Anda semua.
Sekali lagi TERIMA KASIH bagi Anda semua. Mudah-mudahan, tulisan yang sederhana dan penuh kekurangan ini dapat memberi inspirasi bagi setiap usaha studi teologis yang lebih kontekstual.


Pineleng, Post Agustus 2006
Penulis




PENDAHULUAN


1.      Latar Belakang Penulisan
 Claude Geffré, Gustavo Gutiérrez dan Virgil Elizondo menulis dalam editorial majalah Concilium bahwa teologi Eropa untuk waktu yang lama menjadi teologi yang dominan dalam Gereja Katolik sampai Konsili Vatikan II.[1] Dan untuk waktu yang lama pula Gereja menutup diri terhadap setiap upaya pembaharuan baik dalam tubuh teologi Gereja Barat sendiri maupun teologi yang lahir dari refleksi terhadap situasi Gereja non-Eropa dan budaya-budaya lokal. Situasi ini mengalami perubahan dengan diselenggarakannya Konsili Vatikan II. Gereja mulai terbuka terhadap dunia dan sebaliknya, situasi dunia dengan segala kompleksitasnya memasuki gerbang Gereja. Eforia pembaharuan dalam teologipun mulai dirasakan. Dalam kondisi yang demikian, lahirlah aliran-aliran teologi baru yang berupaya berefleksi tentang iman kristiani dalam konteks di mana teologi itu lahir dan hidup.[2] Dengan perkembangan teologi yang multiplisitas ini dapat dikatakan bahwa terjadi pluralisme dalam teologi Katolik.[3]
Sampai pada titik ini kita dapat menggarisbawahi beberapa hal. Pertama, eforia pembaharuan yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II memungkinkan terjadinya perkembangan teologi Katolik yang plural. Kedua, dalam konteks pluralisme teologi itu, munculnya sikap kritis terhadap model teologi tradisional dari Barat. Para teolog yang pada umumnya berasal dari dunia ketiga bangkit dan mulai mempertanyakan model teologi Barat yang dinilai tradisional,[4] karena lebih menitikberatkan pada usaha “belajar teologi” (melihat teologi sebagai usaha untuk merumuskan kebenaran-kebenaran iman dan mewariskannya dalam bentuk baku kepada pelajar teologi) daripada suatu usaha “berteologi” yang mengajak semua orang untuk dapat menemukan jejak Allah lewat pengalaman konkretnya. Ketiga, eforia pembaharuan ini bukan hanya berhembus di kalangan para teolog, tetapi juga merambat ke bangku-bangku akademik, terutama menyangkut studi-studi teologis. Dalam dokumen-dokumen Gereja, terutama mengenai pendidikan imam, yang dimulai dengan dekrit Optatam Totius dari Konsili Vatikan II, termuat gagasan-gagasan pembaharuan dalam studi-studi teologis kita.[5] Maka sesudah konsili di mana-mana ada usaha untuk membuat pembaharuan dalam kurikulum teologi.
Berkaitan dengan penegasan terakhir ini kiranya dapatkan ditempatkan usaha kita untuk membuat pembaharuan dalam kurikulum di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STF-SP) ini, terutama menyangkut studi-studi teologisnya. Pembaharuan-pembaharuan itu, termasuk yang terjadi di STF-SP ini, mengarah pada upaya untuk menjembatani pemikiran dan realitas, antara teori dan praksis. Tetapi usaha ini tentu tidak mudah. Pertama, sejalan dengan penegasan teolog Karl Rahner, hambatan pokok untuk pembaharuan kurikulum terdapat pada para dosen dan sistemnya perkuliahannya. Hal kedua, adalah dari sudut mahasiswa sendiri. Michael Slusser menegaskan bahwa studi-studi teologis kita seringkali terbentur dengan keterbatasan para pelajar teologi karena ketidaktahuan mereka tentang bahasa kuno dan modern.[6] Lebih jauh, Slusser menegaskan bahwa hambatan atau kesulitan ini hendaknya tidak menjadi alasan bagi kita untuk tidak membangun suatu pendidikan teologis yang kontekstual.[7]
Persoalannya sekarang adalah sudah sejauh mana kita mengusahakan suatu sistem pendidikan teologis yang kontekstual sebagaimana yang diharapkan? Lagi, kerangka metodis apa yang dapat kita pakai sebagai bantuan bagi kita untuk –dalam kerangka pendidikan teologis itu– berteologi secara kontekstual? Pertanyaan-pertanyaan ini menghantar saya pada suatu pertemuan dengan pemikiran-pemikiran segar dari Bernard Joseph Francis Lonergan, S.J.,[8] seorang pemikir Katolik. Saya sebenarnya telah lama mengenal tokoh utama ini dan pemikiran-pemikirannya melalui buku-bukunya, tulisan-tulisannya maupun tulisan orang lain tentang dirinya yang tersebar luas dalam berbagai literatur di perpustakaan STF-SP. Hanya saja, pemikiran-pemikirannya yang segar itu lebih banyak tertuang dalam bahasa asing yang saya sendiri kurang pahami. Kesulitan yang kurang lebih sama dengan apa yang diungkapkan oleh Slusser. Kesulitan ini awalnya membuat saya putus asa untuk menulis tentang tokoh ini. Dalam perjalanan selanjutnya saya malah merasa tertantang untuk berusaha memahami tokoh ini dan pemikirannya walaupun saya hanya memiliki modal kemampuan bahasa asing yang sangat minim.
Setelah menelusuri berbagai literatur, saya menemukan bahwa metode berteologi yang ditawarkannya memberi penerangan dan sekaligus afirmasi terhadap alasan-alasan yang saya kemukakan di atas. Setelah menemukan bukunya yang berjudul Method in Theology,[9] maka saya memutuskan untuk mengangkatnya sebagai tema skripsi.

2.      Batasan Penulisan
Tema tulisan yang sementara dibahas ini saya pilih untuk menggantikan tema yang sebelumnya saya usulkan, yaitu “Gereja Sebagai The Human Face of God Menurut Edward Schilleebeckx dan Relevansinya Dalam Reksa Pastoral Ekklesial di Keuskupan Amboina: Suatu Telaah Dari Perspektif Ekklesiologi”. Tema yang pertama ini tidak sempat saya selesaikan dalam bentuk tulisan karena keterbatasan sumber, terutama sumber menyangkut riwayat hidup Schilleebeckx dan perkembangan pemikirannya. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya saya tiba pada satu keputusan yang bulat untuk menulis tentang tema yang sementara ini saya bahas.
Tema dalam tulisan ini adalah “Metode Berteologi Menurut Bernard J. F. Lonergan dan Inspirasinya Bagi Studi Teologi di STF-Seminari Pineleng”. Dari tema ini sudah tersirat apa yang menjadi fokus dalam tulisan ini, yaitu penekanan pada cara berteologi sebagaimana diusulkan oleh Lonergan. Asumsi dasar dibalik tema ini ialah bahwa Lonergan menyajikan suatu metode berteologi yang hidup, dalam arti berangkat dari pengalaman konkret manusia, sehingga dapat menjadi bahan inspirasi bagi studi teologis kita. Lonergan tidak menawarkan suatu konsep atau tema teologis bagi kita untuk direfleksikan. Ia tidak berbicara tentang objek yang dihadapi oleh para teolog, melainkan cara kerja yang dipakai oleh para teolog. Ia tidak menulis tentang teologi, tetapi metode berteologi.[10] Secara singkat dapat dikatakan bahwa yang ditawarkan Lonergan kepada kita adalah suatu kerangka kerja; suatu model bagi kita untuk berteologi secara kontekstual. Dengan mempelajari cara berteologi yang ditawarkannya, kita diharapkan untuk dapat menarik inspirasi-inspirasi segar bagi studi-studi teologis kita.

3.      Tujuan Penulisan
Saya suka menguraikan tujuan penulisan karya tulis ini dalam bentuk point-point agar pembaca mudah memahami apa yang saya maksudkan. Penulisan skripsi ini diarahkan kepada beberapa tujuan:
  1. Memperkenalkan Lonergan dan pemikirannya tentang metode berteologi kepada pembaca umumnya dan secara khusus kepada mahasiswa-mahasiswi STF-Seminari Pineleng.
  2. Menghasilkan sebuah karya yang berisi tentang Lonergan dan pemikiran-pemikirannya dalam bahasa Indonesia agar mudah dijangkau oleh mereka yang ingin mendalami pemikiran dari tokoh ini.
  3. Menarik unsur-unsur yang menjadi penekanan dalam metode berteologi menurut Lonergan sebagai buah-buah inspirasi bagi studi teologi yang kontekstual di STF-Seminari Pineleng.

4.      Metode Penulisan
Penulisan karya ini didasarkan pada kerangka metodis utama “tinjauan tokoh”, dengan bantuan beberapa metode dalam penguraian dan penjelasan. Metode deskriptif terutama digunakan pada uraian mengenai latar belakang tokoh, sementara metode analisa lebih dominan pengunaannya pada bagian kedua, yakni tinjauan pandangan tokoh dan bagian ketiga, inspirasi yang ditarik dari pemikiran tokoh ini bagi studi teologis kita.

5.      Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan tentang tema “metode berteologi menurut Bernard J. F. Lonergan dan inspirasinya bagi studi teologi di STF-SP”, saya memilah karya ini menjadi tiga bagian utama, yakni:
Bab I: berisi tentang suatu pengenalan singkat akan kehidupan, pengaruh intelektualnya, konteks yang mempengaruhi pemikirannya, tokoh-tokoh yang mempengaruhi pemikirannya dan karya-karya yang dihasilkannya.
Bab II: berisi tentang uraian dan analisa terhadap metode berteologi sebagaimana yang ditawarkan oleh Lonergan.
Bab III: berisi tentang situasi studi teologi di STF-SP sejauh pengalaman dan pengamatan penulis selama menjalani studi di Lembaga ini. Realitas studi tersebut kemudian dikonfrontasikan dengan beberapa gagasan inspiratif yang ditarik dari uraian dalam bab II. Gagasan-gagasan inspiratif ini dalam arti tertentu saya pakai sebagai usulan untuk memperkaya studi teologi di STF-SP.




Bab I
Mengenal Bernard J. F. Lonergan (1904-1984):
Hidup dan Karyanya


Dalam bab yang pertama ini, saya akan berusaha untuk memperkenalkan tokoh utama yang saya bahas dalam karya tulis ini, yaitu Bernard J. F. Lonergan. Dengan mengenal hidup, karya dan pokok-pokok pemikirannya, maka kita akan dapat menangkap maksud metode teologinya.

I.1. Kehidupan Lonergan dan Pengaruh Intelektualnya
I.1.1. Riwayat Hidup Bernard Lonergan, S.J.
Bernard J. F. Lonergan, S.J., adalah seorang filsuf, teolog dan ahli metodologi Gereja Katolik. Ia lahir pada tanggal 17 Desember 1904 di Buckingham, Quebec, tidak jauh dari Ottawa (sekitar 100 mil, sebelah barat dari Montreal).[11] Lonergan adalah anak sulung dalam keluarganya.[12] Ia masih memiliki dua orang saudara, yaitu Gregory dan Mark. Ayahnya bernama Gerald Lonergan, seorang imigran dari Irlandia ke Kanada. Pekerjaan yang ditekuni ayahnya adalah sebagai seorang surveyor pemetaan di Kanada Barat. Sedangkan ibunya bernama Josephine Wood, seorang wanita yang berasal dari sebuah keluarga Inggris yang sehari-harinya bekerja untuk menghidupi Bernard dan dua orang saudaranya.[13]
Masa kecilnya diisi dengan menghadiri semacam kursus percakapan bahasa Inggris di sekolah anak-anak lokal yang diselenggarakan oleh the Brother of Christian Instruction. Ketika berusia 14 tahun, ia masuk Loyola High School di Montreal.[14] Setelah menamatkan pendidikan di Loyola High School,  dalam usianya yang ke-18 tahun, Lonergan memutuskan untuk masuk novisiat Jesuit di Guelph, Ontario.[15] Masuknya Lonergan dalam tarekat Jesuit ini menjadi momentum awal yang mengubah seluruh hidupnya dan pemikirannya. Petualangan intelektualnya dimulai dengan mengikuti kursus tetap Jesuit dalam bahasa Yunani dan Latin klasik di Guelph, Ontario, studi filsafat di perguruan tinggi Heythrop-Inggris, dan studi teologi di Universitas Gregoriana, Roma.[16]
Pada tahun 1936, Lonergan ditahbiskan menjadi imam dalam tarekat Jesuit. Dalam tahun 1940, ia menyelesaikan disertasi doktoralnya dengan judul: Grace and Freedom, suatu telaah atas teologi rahmat dari Thomas Aquinas. Kemudian, ia kembali ke Kanada dan mengajar teologi di Jesuit House of Studies di Montreal (Seminari Jesuit) dan pada Regis College di Toronto, selama 13 tahun. Dalam tahun 1953, Lonergan ditunjuk untuk mengajar teologi kepada para seminaris di Universitas Gregoriana, Roma. Selama kurang lebih 12 tahun ia mengajar teologi di tempat ini. Pada tahun 1965, Lonergan mengalami sakit yang cukup berat. Ia kemudian dikembalikan ke Kanada.[17] Crowe menulis bahwa Lonergan mengajar teologi selama 25 tahun; 13 tahun di Seminari Jesuit di Montreal dan 12 tahun di Universitas Gregoriana, Roma.[18]
Setelah kembali di Kanada dan selama masa penyembuhannya, Lonergan ditunjuk lagi untuk mengajar di berbagai perguruan tinggi di Kanada. Selama 15 tahun berikutnya, Lonergan menulis dan mengajar di Toronto, Boston, Montreal dan pusat-pusat pembelajaran lainnya di Amerika Utara.[19]
Dia menghabiskan hari-hari terakhir mengajarnya di Boston College. Di tempat ini pula Lonergan berusaha menulis kembali sebuah manuskrip tentang teori ekonomi. Tetapi, sayangnya, tulisan ini tidak dapat diselesaikannya, karena penyakitnya kambuh lagi. Lonergan kemudian dikirim kembali ke Biara Jesuit di Pickering, Ontario. Di sana, Lonergan dipanggil kembali ke pangkuan Tuhan pada tanggal 26 November 1984. Lonergan meninggal dalam usia 80 tahun.[20]
Dalam seluruh hidup dan karyanya, Lonergan menempatkan dirinya dalam dua bingkai, di satu pihak sebagai seorang teolog dan di lain pihak sebagai seorang guru. Sebagai seorang teolog, Lonergan berusaha memahami religiositas imannya yang mengakar secara mendalam dalam tradisi Katolik. Dan sebagai seorang guru, Lonergan berusaha untuk membagi apa yang diimaninya kepada orang lain;[21] suatu usaha yang tiada henti dijalaninya sampai akhir hidupnya. Dia menghabiskan seluruh masa hidupnya untuk menemukan suatu metode dalam bekerja dan dalam pengajaran teologi yang menggerakkan para teolog Katolik untuk keluar dari metode tradisional yang diwariskan dari skolastisisme abad pertengahan.[22]

I.1.2. Perkembangan dan Pengaruh Intelektual Lonergan
Lonergan dipengaruhi oleh suatu keyakinan bahwa pemahaman (pengertian, Insight) berkembang secara bertingkat. Dalam roh yang sama, adalah baik untuk kita mulai dengan mensketsakan perkembangan pemahaman Lonergan sendiri. Sebagai satu bagian dari pendidikannya sebagai seorang Jesuit, Lonergan belajar filsafat pada Heythrop College di Inggris dari tahun 1926-1929.[23] Pada waktu yang sama, Lonergan juga mempelajari matematika di University of London. Dua buku yang mempengaruhi ide Lonergan tentang kodrat pengetahuan pada periode ini adalah Grammar of Assent dari Henry Newman dan Introduction to Logic dari Horace W. Joseph. Pada periode ini Lonergan memandang dirinya sebagai seorang nominalis.[24]
Tahun 1930 Lonergan ditunjuk oleh pemimpin tarekatnya untuk mengajar pada Loyola College di Montreal. Tiga tahun lamanya ia mengajar di tempat ini (1930-1933). Pada periode ini ia membaca buku dari J.A. Stewart tentang Plato.[25] Dalam Plato’s Doctrine of Idea, Stewart membuat suatu sintesis antara dialog awal Plato dengan dialog filosofis awal dari Augustinus. Bagi Lonergan, tulisan Stewart ini menjadi pengobat terhadap penyakit nominalismenya.[26] Dari Stewart, Lonergan belajar bahwa Plato adalah seorang metodologis.[27] Dia juga membaca karya Christopher Dawson, The Age of Gods. Karya Dawson ini membawa suatu perubahan yang sangat signifikan bagi pemikiran Lonergan. Ia bergerak dari pemikiran mengenai suatu ide normatif atau klasik menuju suatu ide antropologis.[28]
Empat tahun kemudian (1933-1937), Lonergan diutus oleh tarekatnya mengikuti pendidikan teologi di Universitas Gregoriana, Roma, untuk memperoleh gelar lisensiat teologi. Pada waktu mengikuti kursus teologi, dia bekerja sama dengan para Jesuit lainnya yang belajar filsafat di bawah pengaruh Marechal.[29] Di sini, dia secara tidak langsung dipengaruhi oleh sekolah Louvain.[30] Menurut Crowe, selama periode ini Lonergan memperluas horizon intelektualnya. Tulisan-tulisannya menunjukkan suatu perhatian dalam kebudayaan, filsafat sejarah dan human sciences (sosiologi, politik dan ekonomi).[31] Sementara itu, Lonergan meneruskan studi doktoralnya dengan memfokuskan diri pada teori rahmat dari Aquinas.[32]
Setelah menyelesaikan disertasi doktoralnya, Lonergan mulai mengajar teologi di beberapa seminari Jesuit. Pada awal tahun 1950-an, sementara mengajar teologi di Toronto, Lonergan menulis Insight: A Study of Human Understanding sebagai awal keterlibatannya di bidang filsafat. Kemudian, pada awal 1970-an, dia mempublikasikan karya fundamentalnya, Method in Theology.[33] Lonergan tidak hanya memusatkan diri pada bidang filsafat dan teologi. Ia juga menaruh minat yang besar dalam bidang ekonomi. Beberapa tulisannya di bidang ekonomi dipublikasikan di bawah judul For a New Political Economy dan An Essay in Circulation Analysis.

I.2.    Beberapa Konteks Yang Mempengaruhi Pemikiran Lonergan
         Tentang Metode Berteologi
I.2.1. Lonergan dan Konsili Vatikan II[34]
Konsili Vatikan II telah membuka pintu bagi dunia modern. Dengan dunia modern dimaksudkan suatu jenis kesadaran manusia bahwa personalitas dan rasionalitas, historisitas, evolusioner, kebebasan yang otonom dan tanggung jawab diri berakar dalam budi, bersifat individualistik, rasional, demokratis, dan seterusnya. Dengan kata lain, jenis kesadaran ini dipertentangkan dengan kesadaran klasik yang menghargai stabilitas, absolut, struktur hirarkis, dan seterusnya. Klasikisme bukan hanya menjadi suatu budaya, tetapi lebih jauh mungkin dipahami sebagai sesuatu yang otentik dan sejati. Kesadaran modern justru menyatakan bahwa ada banyak kebudayaan yang sejati menurut adat kebiasaan, moral, nilai-nilai, pengertian, bahasa, mitos dan agama dari komunitas-komunitas berbeda.
Gereja pra Konsili Vatikan II dapat ditempatkan dalam kesadaran dan kebudayaam klasik ini. Budaya dan kesadaran modern tentu saja telah berkembang pada abad-abad itu, tetapi Gereja masih menutup pintu baginya dan memandangnya sebagai bahaya yang ekstrem terhadap iman dan ortodoksi Gereja. Ambillah contoh tokoh-tokoh yang memiliki pengetahuan dan kesadaran modern, seperti Copernicus dan Galileo, Descartes dan Kant yang didaftar sebagai musuh yang harus dijauhi pemikiran-pemikirannya. Situasi ini tentu saja bersifat ambigu. Sebab di satu pihak para pemimpin Gereja dilatih dan diajarkan dengan kesadaran dan kebudayaan klasik, namun di lain pihak mereka justru telah hidup dalam kultur modernitas. Memang tak dapat disangkal bahwa telah ada kesadaran untuk keluar dari situasi demikian, namun kesadaran itu tidak terkuak ke permukaan karena perasaan loyalitas terhadap Gereja dan ajarannya.
Memasuki abad ke-20, kesadaran Gereja untuk keluar dari ketertutupannya makin terkuak. Ide yang genius untuk membawa Gereja bersentuhan dengan modernitas datang dari Paus Yohanes XXIII. Dia ingin agar Gereja memasuki dunia modern. Dan dengan penuh keberanian, ia menghantar Gereja memasuki gerbang dunia modern dengan menyelenggarakan sebuah Konsili, yang dikenal dengan nama Konsili Vatikan II. Selain berbicara tentang kehadiran Gereja dalam dunia modern, Konsili Vatikan II juga berbicara tentang persoalan-persoalan dunia modern dengan menggunakan tata bahasa dan kebudayaan modern. Karena itu, Konsili Vatikan II tidak berbicara tentang Gereja sebagai suatu perfect society (bahasa skolastik), melainkan sebagai People of God, suatu “komunitas terjanji”. Bahasa ini tidak hanya berifat biblis, tetapi juga personal, historis dan sosial. Konsili Vatikan II menekankan martabat manusia dan keunggulan kesadaran individu. Konsili Vatikan II menghendaki adanya kolegiolitas dan partisipasi pada setiap level kehidupan Gereja. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa tidak hanya Gereja yang masuk ke dalam dunia modern, tetapi sebaliknya juga dunia modern masuk ke dalam kehidupan Gereja. Konsili Vatikan II telah mengubah struktur kesadaran klasik menuju kesadaran yang baru.
Dalam konteks ini, kita dapat menempatkan posisi Lonergan. Jika seorang pemimpin Gereja sekarang ini mampu memahami dan memimpin dengan baik Gereja modern di dalam dunia modern, maka tentu ia telah menggali secara mendalam struktur operasional yang dinamis dari hal-hal seperti komunitas, kebudayaan, jemaat, iman, doktrin-doktrin, moral, organisasi, kepemimpinan, Kitab Suci, liturgi, dan seterusnya. Situasi ini memang terkondisi pasca Konsili Vatikan II. Tetapi, bagi Lonergan, hal yang paling penting untuk diperhatikan dalam situasi seperti ini adalah bagaimana kita bermain menurut struktur operasional yang dinamis dan harmonis sesuai tuntutan dunia modern. Pertanyaan yang dihadapi oleh Lonergan adalah bagaimana manusia (kelompok, individu) bekerja? Dalam bingkai ini Lonergan berbicara mengenai “metode”. Dan metode terdalam yang dikembangkannya adalah metode transendental.

I.2.2. Lonergan dan Situasi Teologi Abad XX
Secara historis, teologi dibedakan atas tiga bagian, yakni teologi historis, teologi sistematis dan teologi praktis. Pembagian ini pertama kali ditawarkan oleh Friedrich Schleiermacher (1768-1834).[35] Yang dimaksudkan dengan teologi historis adalah suatu usaha yang teratur untuk memahami dan menafsirkan pewahyuan yang berlangsung sejak jaman Perjanjian Baru sampai dengan Konsili Vatikan II dan sesudahnya.[36] Dengan teologi sistematis dimaksudkan suatu usaha untuk menjelaskan ajaran-ajaran Kristiani yang pokok secara koheren dan ilmiah.[37] Teologi historis meletakkan dasar bagi teologi sistematis, sedangkan teologi praktis menerapkan hasil refleksi itu pada kebutuhan Gereja. Dengan demikian, teologi praktis dilihat sebagai pedoman untuk karya pastoral yang praktis.
Perkembangan dalam studi filsafat dan patristik, gerakan biblis, ekumenis, dan liturgis memberikan nafas baru bagi teologi abad ke-20, khususnya di Prancis dan Jerman. Bersama-sama dengan tokoh-tokoh Protestan seperti Karl Barth (1886-1968), Rudolf Bultmann (1884-1976), dan Paul Tillich (1886-1965) serta para teolog Ortodoks seperti Sergius Bulgakov (1871-1944) dan Vladimir Lossky (1903-1958), dapat disebut beberapa ahli teologi Katolik yang memolopori pembaruan teologi dalam Gereja Katolik, seperti Yves Congar (lahir 1904) dan Karl Rahner (1904-1984).[38]
Memang, untuk waktu yang amat lama Teologi Barat (Eropa) mendominasi lingkungan teologi. Dalam konteks teologi Barat, subjek yang berteologi adalah para klerus di Eropa. Sekarang teologi tidak lagi menjadi monopoli para klerus di Eropa, melainkan berkembang dengan pesat di mana-mana dengan berbagai cirinya yang khas.[39] Dapat kita sebutkan beberapa model teologi baru yang berkembang pada abad ini, seperti Teologi Pembebasan (Liberation Theology), Teologi Hitam (Black Theology), Teologi Feminis (Feminist Theology), Teologi Proses (Process Theology), Teologi Dialektis (Dialectic Theology), Teologi Tuhan Mati (Death-of-God Theology), Teologi Transendental (Transcendental Theology).[40]
Dapat kita katakan bahwa memasuki abad ke-20, perkembangan teologi dengan berbagai ciri khasnya menunjukkan adanya pluralisme dalam teologi.[41] Tidak hanya itu. Sejak Konsili Vatikan II, baik dalam Gereja Katolik maupun yang lain, teologi menjadi semakin antropologis, dialogis, dan spiritual.
Dalam situasi pluralisme dan fragmentaris teologi seperti ini, tulisan-tulisan Lonergan dapat dipandang, entah sebagai suatu tulisan yang sungguh-sungguh tepat atau hanya sebagai suatu harapan yang irrelevan, tergantung pada perspektif setiap orang. Tetapi Lonergan, seperti kebanyakan teolog Katolik lainnya, merasa bahwa teologi Katolik membutuhan suatu pembaruan besar-besaran. Pembaruan yang tidak meninggalkan tradisi, tetapi sambil berpegang pada tradisi, membawa tradisi itu ke dalam situasi dan konteks baru dengan mengikuti mode-mode kontemporer. Untuk mengekspresikan tugas ini, Lonergan mengadopsi satu frase dari ensiklik Aeterni Patris dari Paus Leo XIII: vetera novis augere et perficere, untuk memperluas dan menyempurnakan yang lama dengan pengertian yang baru. Dengan ini Lonergan tiba pada keyakinan bahwa nova yang dimaksudkan adalah suatu organon baru, suatu metode baru dalam teologi.[42]

I.3.    Pengaruh Beberapa Tokoh Terhadap Pemikiran Lonergan Tentang Metode Teologi
I.3.1. Thomas Aquinas (1225-1274)[43]
Thomas Aquinas membuktikan diri sebagai seorang penulis yang tak kenal lelah. Ia menghasilkan sejumlah besar karya tulis di bidang teologi dan filsafat. Tulisan-tulisannya menunjukkan betapa Aquinas merupakan seorang pemikir otentik yang memiliki wawasan ilmiah yang sangat luas. Dari karya-karyanya, diakui bahwa tiga merupakan yang terutama. Yang pertama ialah Commentary on the Sentences (1253-1257), merupakan komentar atas tulisan dari Petrus Lombardus. Karya ini mengungkapkan pemikiran Aquinas pada masa mudanya, terutama di bidang teologi. Karya yang kedua ialah Suma contra Gentiles (1261-1264) yang memperlihatkan pandangan Aquinas yang lebih matang. Dalam karya ini ia menampilkan pemikiran metafisik yang diaplikasikan dalam bidang teologi dan pembelaan terhadap agama Kristen. Puncak semua karyanya dapat ditemukan dalam Summa Teologiae. Buku ini terkenal sebagai the masterpiece dari Aquinas yang memuat analisis dan jawaban yang mendasar serta tajam terhadap pertanyaan-pertanyaan filsafat, teologi dan moral.[44]
Kualitas yang menjadikan Aquinas diakui sebagai seorang pemikir terbesar dan sejati di dunia adalah kejelasan sempurna tulisan-tulisannya dan kemampuannya untuk menyusun sejumlah besar pandangan-pandangan iman dalam satu keseluruhan sistematis berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang dirumuskan secara sederhana. Kebesarannya tampak pula dalam pemikirannya yang amat didominasi oleh keberanian berpikir secara logis dan kemampuan untuk sama sekali menghindari penyimpangan-penyimpangan berdasarkan emosi atau perasaan pribadi saja. Dengan begitu, Aquinas menampilkan diri lain daripada semua pemikir besar lain sejamannya.
Bagaimana pemikiran Aquinas dapat mempengaruhi Lonergan? Giovanni B. Sala menulis bahwa momentum awal pertemuan Lonergan dengan pemikiran-pemikiran Aquinas adalah saat ia menempuh studi untuk memperoleh lisensiat teologi di Universitas Gregoriana, Roma. Tetapi pertemuan ini merupakan suatu pertemuan yang awalnya secara tidak langsung dan parsial.[45]
Lonergan menyebutkan dua faktor yang menghubungkan dirinya dengan pemikiran-pemikiran Aquinas. Pertama, bacaan-bacaan tentang Kristologi. Lonergan sampai pada keyakinan bahwa hanya pada basis distingsi yang riil antara esensi dan eksistensi, orang akan dimungkinkan untuk memahami (secara natural, hanya dengan suatu pemahaman yang analogis) kesatuan hipostatis dalam Kristus: satu person tunggal yang pada waktu yang sama sungguh Tuhan dan sungguh manusia. Faktor kedua adalah pertemuannya dengan seorang rekan kerjanya, yaitu Stephanos Stephanou. Stephanou belajar filsafat di Louvain, ketika Joseph Maréchal, penulis lima volume Le point de départ de la métaphysique, mengajar di sana. Dalam volume kelima (Le Thomisme devant la philosophie critique), Maréchal mengadopsi apa yang disebut metode transendental dalam bingkai pemikiran Kant. Lonergan mengatakan bahwa melalui Stephanou, ia belajar untuk berbicara tentang pengetahuan manusia bukan sebagai intuitif melainkan diskursif dengan komponen-komponennya yang menentukan.[46]
Perjumpaan Lonergan yang sesungguhnya dengan pemikiran Aquinas baru terjadi pada tahun 1938 ketika ia melanjutkan studi doktoralnya di bidang teologi.[47] Disertasi doktoralnya secara khusus membahas tentang teori rahmat dari Aquinas. Dan sejak itu, banyak tulisan-tulisan Lonergan diilhami oleh pemikir yang dijuluki doctor angelicus ini.

I.3.2. Immanuel Kant (1724-1804)
Immanuel Kant menghabiskan seluruh delapan puluh tahun hidupnya di kota kecil Königsberg di Prusia Timur. Kehidupan pribadi Kant tidak memperlihatkan peristiwa-peristiwa yang istimewa. Tetapi, orang mengenal pribadinya sebagai orang yang sangat menekankan hidup disiplin. Karena disiplinnya itu, ia mampu menghasilkan karya-karya filsafati yang monumental, seperti: Critique of Pure Reason (1781), Prolegomena to Any Future Metaphysics (1783), Principles of the Methaphysics of Ethics (1785), Methaphysical First Principles of Natural Sciences (1786), edisi kedua dari Critique of Pure Reason (1787), Critique of Practical Reason (1788), Critique of Judgement (1790), Religion with the Limits of Mere Reason (1793), dan suatu karya yang agak kecil, yaitu Perpetual Peace (1795).[48]
Gagasan Kant yang amat mempengaruhi Lonergan adalah gagasannya tentang metode transendental.[49] Seluruh penyelidikan Kant mulai dengan pernyataan ini: Apakah metafisika sebagai ilmu mungkin? Menurut Kant, dalam memecahkan persoalan ini satu hal yang tidak dapat ditolak dan mutlak adalah mengadakan penyelidikan cara-cara bekerjanya kemampuan-kemampuan pengetahuan kita dan bagaimana cara-cara itu disusun dalam subjek yang mendahului seluruh pengalaman kontingen. Jadi, pertanyaan transendental mengenai kemungkinan metafisika mendapat arti baru. Arti baru ini dapat kita lihat dalam definisi Kant mengenai yang transendental: “Saya menyebut transendetal seluruh pengetahuan yang tidak hanya menyangkut objek, tetapi juga menyangkut cara kita mengetahui objek, sejauh cara tahu itu merupakan sesuatu yang mungkin secara a priori”. Walaupun yang metafisik tak dapat diketahui, tetapi toh benar bahwa yang metafisik diterima sebagai postulat rasio (akal budi) praktis.[50]
Kant menekankan istilah transendental pada unsur-unsur apriori dan niscaya dari pengalaman. Unsur-unsur itu melampui pengalaman, dalam arti bahwa mereka tidak berasal dari pengalaman secara empiris. Tetapi mereka tidak melampaui pengalaman dalam arti memberi kita pengertian (insight) tentang dunia supratemporal.[51]
Penegasan terakhir ini memberi ruang bagi kita untuk memahami posisi Lonergan. Menurut Max Diaz Riberu, dilihat dari metode dalam berteologi, maka para tokoh teologi Barat seperti Karl Rahner (1969), Bernard Lonergan (1972), dan David Tracy (1975) pada pokoknya, secara adaptif maupun parsial, menggunakan metode transendental ala Kant (pencerahan budi tahap I).[52]

I.3.3. J.H. Newman (1801-1890)
John Henry Newman menjadi pendeta Anglikan di Oxford (Inggris), tempat ia menjadi penggerak Oxford Movement, yang memperjuangkan unsur-unsur “Katolik” dalam Gereja Anglikan seperti suksesi apostolik, liturgi dan hidup membiara. Pada tahun 1841, ia berusaha merujuk Thirty-Nine Articles, yang membandingkan posisi dogmatik Gereja Anglikan dengan keputusan Konsili Trente. Karena itu, Newman dicela dan disuruh diam. Tidak lama sesudahnya, ia meragukan posisi Anglikanisme dan menjadi Katolik (1845).[53]
Newman menulis beberapa buku yang digemari, antara lain: Apologia Pro Vita Sua (1864), The Dream of Gerontius (1865) dan terutama Grammar of Assent (1870). Dalam karya terakhir, ia membedakan antara real assent (pengakuan riil) dan rational assent (pengakuan rasional), antara fungsi hati nurani dalam mengenal Tuhan dan fungsi-fungsi illative sense, maksudnya proses mengambil keputusan pasti dalam hal keagamaan atas dasar fakta, tetapi di luar penalaran logika semata-mata.[54]
Bagi Lonergan, ucapan Newman bahwa sepuluh ribu kesulitan tidak membuat suatu keragu-raguan telah membawa manfaat yang baik bagi dirinya. Perkataan itu mendorong Lonergan untuk memandang kesulitan-kesulitan yang dihadapinya (persoalan nominalismenya) secara tepat dan tidak membiarkannya mengganggu panggilan dan imannya. Sementara itu, konsep illative sense Newman turut membantu kegiatan reflektif Lonergan tentang pemahaman (understanding).[55]

I.3.4. Christopher Dawson
Dawson menggambarkan bahwa selama 30 tahun terakhir, perkembangan pesat dari studi-studi antropologis dan arkeologis telah menyiapkan jalan bagi suatu konsep baru tentang sejarah. Di satu pihak, pemisahan klasik antara arkeologi pra-sejarah dan ilmu sejarah kuno tidak lagi tampak, sehingga para sejarahwan saat ini mulai bekerja sama dengan para arkeolog. Sementara di pihak lain, ada kerja sama antara para antropolog dengan para etnolog untuk mengembangkan metode historis. Di sini kita menyaksikan berkembangnya suatu ilmu pengetahuan baru yang mau mempelajari masa lampau manusia bukan sebagai suatu kumpulan anorganik, tetapi sebagai suatu manifestasi pertumbuhan dan interaksi mutual dari kehidupan kultural secara keseluruhan. Karena itu, dalam The Age of Gods, Dawson mencoba untuk membuat suatu survei singkat tentang keseluruhan problem yang berkaitan dengan originalitas peradaban manusia dengan berangkat dari metode-metode yang baru.[56]
Menurut Dawson, untuk mencapai hasil yang memuaskan dari survei tersebut, maka pertama-tama kita harus bertanya apa itu kebudayaan. Pertanyaan ini menghantar kita untuk menelaah kodrat dari suatu kebudayaan. Kebudayaan adalah suatu cara bersama untuk hidup. Atau dengan kata lain, kebudayaan adalah suatu penyesuaian diri dari manusia terhadap alam sekitarnya dan terhadap kebutuhan-kebutuhan ekonominya. Adalah benar bahwa ada tiga pengaruh utama yang membentuk dan memodifikasi kebudayaan manusia, yang sama dengan yang membentuk spesies binatang. Pengaruh yang dimaksud adalah (1) ras/bangsa (faktor genetik); (2) lingkungan hidup (faktor geografis); (3) fungsi atau jabatan (faktor ekonomi). Sampai pada tahap ini manusia masih sama dengan binatang. Tetapi ada faktor ke-4 yang justru membedakan manusia dengan binatang, yaitu pemikiran (faktor psikologis). Suatu kebudayaan manusia terbentuk atas dasar interaksi keempat faktor ini. Langkah selanjutnya adalah menelaah problem perubahan dan perkembangan (progress) dari kebudayaan itu sendiri.[57]
Crowe mencatat bahwa tulisan Dawson ini membawa dampak yang besar bagi pemikiran Lonergan.[58] Terjadi suatu perubahan yang besar dalam pemikiran Lonergan. Ia bergerak dari ide-ide klasik dan normatif menuju suatu ide antropologis.[59] Bagi Lonergan, tulisan Dawson tersebut masih mempengaruhi pemikiran-pemikirannya selama tahun-tahun hidupnya.[60]

I.4. Beberapa Karya Lonergan
I.4.1. Kumpulan Karya Lonergan
I.4.1.1. The Gratia Series
Dalam tahun 1940, Lonergan menyelesaikan studinya di Universitas Gregoriana, Roma. Antara tahun 1941 dan 1942 dia mempublikasikan hasil investigasi disertasinya dalam suatu seri dari empat artikel dalam Theological Studies.[61] Artikel-artikel tersebut tidak secara langsung membicarakan teori pengetahuan menurut Lonergan. Akan tetapi, detail analisis kausal tentang mental dan cara kerja kemauan memberi semacam dasar bagi perkembangan teori itu lebih lanjut.[62] Dengan ini Lonergan yakin bahwa dia telah menemukan suatu cara pemecahan terhadap perdebatan tentang tulisan-tulisan St. Thomas Aquinas pada abad ke-17, antara aliran Banezian dengan aliran Molinis.[63] Perdebatan itu telah memecah belah kedua aliran tersebut.
Interpretasi Lonergan terhadap teori rahmat dari Aquinas secara garis besar adalah sebagai berikut. Pertama, Lonergan mengklaim bahwa dalam merumuskan teori tersebut, Aquinas menempuh beberapa tingkatan, mulai dari diskusi yang paling sederhana dalam De veritate dan Summa Contra Gentiles sampai memuncak dalam Summa Theologia dan De malo. Lebih lanjut, menurut Lonergan, tingkat yang terakhir dipahami sebagai tingkat yang terbaik dalam hubungannya dengan problem-problem yang diangkat dalam tingkat sebelumnya. Kedua, Lonergan menyadari bahwa suatu pemahaman yang benar mengenai distingsi-distingsi antara rahmat habitual, rahmat aktual, rahmat operatif dan rahmat kooperatif sangat penting untuk memahami teori-teori Aquinas.[64] Bagi Lonergan, kontribusi terbesar dari Thomas Aquinas adalah klasifikasinya tentang cara kerja rahmat aktual. Ketiga, Lonergan menemukan bahwa konsep kunci dalam teori tentang cara kerja rahmat aktual adalah doktrin tentang “gerak sebelumnya” (doctrine of premotion).[65]

I.4.1.2. The Verbum Series[66]
Studi ini didorong oleh suatu kesulitan teologis yang khas. Studi ini menghantar Lonergan pada jantung teori kognisial Aquinas, yaitu analisisnya tentang tindakan pemahaman manusia. Studi Lonergan diawali dengan melihat usaha Aquinas untuk memberikan beberapa pemahaman tentang doktrin Trinitas dengan memperluas dan mengembangkan analogi psikologis yang telah digunakan oleh St. Augustinus.[67]
Menurut Lonergan, pada tahap ini prestasi terbesar Aquinas adalah usahanya untuk merekontekstualisasi analogi psikologis Augustinus terhadap Trinitas dalam kaitannya dengan psikologi metafisik Aristoteles. Sebagaimana dalam disertasinya, di sinipun Lonergan menggunakan metode-metode historis dengan maksud untuk merekonstruksi konteks-konteks yang berbeda dari pemikiran Aquinas. Tetapi, di samping itu, sesuatu yang baru dimunculkan, sesuatu yang bergema dalam dirinya. Lonergan tiba pada suatu pemahaman bahwa sementara Augustinus dan Aquinas menggunakan “teknik introspeksi” dalam analisis mereka mengenai cara kerja (operation) budi manusia, mereka lupa mencoba lingkup atau metode dari teknik tersebut. Di sini, Lonergan melihat adanya kemungkinan bahwa suatu pemberian diri (a self-appropriation) untuk introspeksi dapat memberikan suatu lingkup normatif bagi pemikiran historis.[68] Ide tentang tujuan self-appropriation ini yang kemudian turut mengilhami penulisan Insight.

I.4.1.3. Divinarum Personarum
Dalam banyak hal, teks Latin ini melengkapi seri-seri the Verbum dengan meringkaskan hubungan psikologi kaum Thomis dan mengaplikasikannya pada doktrin tentang Trinitas. Tulisan ini lebih ditujukan bagi para mahasiswa teologi daripada bagi para teolog profesional. Karya ini memang sangat sederhana dan tak banyak polemik, tidak seperti artikel-artikel the Verbum.[69]

I.4.1.4. De Constitutione Christi
De Constitutione Christi adalah suatu studi tentang kesatuan hipostatis dan mengenai pengetahuan tentang Kristus. Ide dasar yang tertuang dalam tulisan ini berhubungan dengan suatu evaluasi terhadap teori pengetahuan Lonergan.[70] Kehadiran karya ini, yang ditulis sejak Insight, menerangkan konstitusi being dalam term-term metafisika tradisional. Definisi-definisi yang diberikan oleh Lonergan memberikan suatu dasar yang baik untuk membandingkan metafisikanya dengan interpretasi-interpretasi kaum thomis lainnya.[71]

I.4.1.5. De Deo Trino: Pars Analytica
Karya ini melengkapi Divinarum Personarum dengan garis besar teologi positif, termasuk teologi Trinitas. Dalam menjelaskan pewahyuan doktrin ini dan perkembangan historis dari pemahaman manusia dalam usaha untuk memahaminya, Lonergan  menggunakan beberapa  metode  pemahaman yang   dirangkum  dalam satu
kata kerja, yaitu mengerti (insight).[72] Dalam karya ini juga Lonergan memisahkan apa yang ia sebut sistematika dan doktrin di satu pihak dan di pihak lain studi-studi positif, penelitian positif dan penelitian historis. Di sini Lonergan menjalankan tiga dari delapan spesialisasi fungsional dalam metode teologinya.[73]

I.4.2. Dua Karya Monumental
I.4.2.1. Insight: A Study of Human Understanding
Lonergan mulai menulis Insight dari tahun 1949-1953. Selama tiga tahun pertama perhatian utama Lonergan adalah membuat suatu eksplorasi tentang metode-metode secara umum sebagai persiapan bagi suatu studi tentang metode teologi. Tetapi, karena pada tahun 1953 Lonergan ditugaskan untuk mengajar di Universitas Gregoriana, maka ia mengubah rencananya dan memutuskan untuk mengakhiri apa yang telah ia kerjakan dan mempublikasikannya dengan judul Insight, A Study of Human Understanding.[74]
Di atas telah disebutkan bahwa Lonergan dapat dipandang sebagai seorang teolog dan seorang guru. Dalam sebuah wawancara, dua tahun sebelum kematiannya, Lonergan menyatakan kembali bahwa sebagai seorang guru dia sering bertanya kepada dirinya sendiri, “apakah yang ada di dunia ini yang tidak saya lakukan? dan mengapa?”. Lonergan mengatakan bahwa pengalaman mengajarnya memaksa dia untuk ikut serta dalam penelitian tentang pengetahuan manusia (human knowing).[75] Selama 15 tahun dia mengeksplorasi pertanyaan tentang bagaimana budi bekerja melalui proses yang dinamis ke arah pembentukan pemahaman. Pertanyaan penelitiannya selama tahun-tahun tersebut sangat sederhana: Apa yang kita lakukan ketika kita mengetahui sesuatu? Dan jawabannya terhadap pertanyaan ini dipublikasikan dalam Insight: A Study of Human Understanding (1957).[76]
Dalam buku ini, Lonergan mengundang para pembacanya, melalui suatu seri dari pengalaman-pengalaman, untuk mengenal dan mengetahui apa yang terjadi ketika kita memaksa dalam batin aktivitas-aktivitas seperti menjawab pertanyaan, memahami, membuat keputusan dan membentuk konsep-konsep. Tujuannya dalam menulis buku ini adalah “membantu orang-orang untuk mengalami pemahaman mereka sendiri, mengungkapkan pengalamannya itu, membedakannya dari pengalaman-pengalaman lain, menamai dan mengidentifikasikannya, dan mengalaminya ketika pengalaman itu terulang kembali”.[77]

I.4.2.2. Method in Theology
Setelah menyelesaikan Insight, Lonergan menghabiskan 15 tahun hidupnya selanjutnya untuk menemukan suatu metode dalam berteologi. Masih dalam keterkaitan dengan karya sebelumnya, dalam menyelesaikan karya ini, Lonergan berhadapan dengan satu pertanyaan pokok, “Apa yang kita lakukan ketika kita berteologi?” Buah dari eksplorasinya terhadap pertanyaan ini dipublikasikan pada tahun 1972 sebagai Method in Theology.[78] Lonergan juga berusaha mengaplikasikan pemahamannya tentang agama, kebudayaan dan iman Kristen dalam karyanya ini.[79]
Bagi para pembacanya, Lonergan berharap agar mereka menemukan dalam diri mereka sendiri struktur kognisional dan moral yang dinamis.[80] Lebih jauh, dalam bagian introduksi dari karya ini Lonergan mengingatkan bahwa dia bukan menulis tentang teologi, tetapi tentang metode dalam teologi. Karena itu, setiap orang diharapkan untuk menemukan sesuatu yang lebih dari tulisannya ini.[81]

I.5. Kesimpulan
Perhatian utama Lonergan adalah metode dalam teologi.[82] Karena itu, seluruh karya yang mendahului pemikirannya tentang metode teologi merupakan suatu persiapan yang panjang bagi Lonergan untuk sampai pada tahap tersebut.
Sebagaimana telah saya jelaskan di atas bahwa dalam konteks pluralitas teologi abad ini, Lonergan memandang perlu adanya suatu metode dalam berteologi. Metode bukanlah suatu perangkat aturan yang harus diikuti dengan cermat oleh seorang tolol. Metode adalah suatu kerangka kerja bagi kreativitas kolaboratif.[83] Metode diterima lebih sebagai suatu seni daripada sebagai suatu ilmu pengetahuan.
Lalu, apa sebenarnya metode berteologi menurut Lonergan? Mengapa suatu metode diperlukan dalam aktivitas berteologi? Manakah langkah-langkah yang perlu dalam usaha kita untuk berteologi dewasa ini? Jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini akan saya uraikan dalam bagian selanjutnya.






Bab II
Metode Berteologi Menurut Lonergan


Kita telah coba mengenal Lonergan melalui riwayat hidup, konteks pemikiran, pengaruh dan perkembangan intelektual, serta karya-karyanya yang disajikan dalam bab I. Dalam bagian ini saya mau mengajak pembaca untuk secara bersama-sama kita belajar tentang metode berteologi sebagaimana yang ditawarkan oleh tokoh ini. Dengan belajar memahami ide-idenya, terutama menyangkut pokok ini, kita diharapkan dapat menimba atau menarik implikasinya bagi studi-studi teologis kita dewasa ini.

II.1. Latar Belakang Pemikiran Lonergan Tentang Metode Teologi
II.1.1. Upaya Menempatkan Teologi Dalam Konteks Baru
Lonergan memang melihat teologi cukup teoretis tanpa hubungan yang nyata dengan praksis.[84] Tetapi kerinduannya untuk membuat pembaharuan dalam teologi membawanya pada satu penegasan bahwa kita perlu menempatkan teologi dalam konteksnya yang baru.[85] Penegasannya ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi memang merupakan sebuah ilmu yang bersifat deduktif,[86] tetapi teologi dapat bergerak maju dengan pendekatan-pendekatan empiris (bersifat empiris dalam metodenya)[87] dan dengan demikian teologi juga membutuhkan suatu cara pandang baru dalam konteksnya yang baru pula.[88]
Penjelasan di atas punya kaitan erat dengan penjelasan Lonergan tentang metode teologinya. Di satu pihak, Lonergan menghendaki suatu pembaharuan dalam teologi dengan menempatkannya dalam konteks kultural di mana teologi itu kini dihidupi. Di lain pihak, menurut Lonergan, teologi yang telah ditempatkan dalam konteksnya yang baru itu juga tetap berpijak pada konteks kultural dan historisnya di mana teologi itu berasal/diturunkan. Dengan kata lain, agar kita dapat menuju pada teologi yang kontekstual, kita perlu menempatkan teologi dalam konteks yang baru dengan tetap berpangkal pada tradisi Kristiani.
Dalam kenyataannya teologi senantiasa mengalami dan berhadapan dengan perubahan. Teologi mengalami perubahan dalam perumusan dan cara berpikirnya karena konteks di mana teologi itu lahir dan berkembang. Teologi berhadapan dengan perubahan karena konteks di mana teologi itu lahir senantiasa mengalami perubahan. Bagi Lonergan, perubahan (conversion) ini perlu karena terkandung di dalamnya nilai-nilai yang penting bagi refleksi teologis kita. Dalam upaya menempatkan teologi dalam konteks yang baru, perubahan (conversion) menyumbang suatu dasar (foundation) yang kokoh, suatu proses refleksi yang berkelanjutan, konkret dan dinamis, personal, komunal dan historis bagi kita untuk berteologi.[89]

II.1.2. Ide Lonergan Tentang Konversi (Convertion)
Di atas kita telah menyinggung sedikit tentang perubahan atau konversi (conversion). Dalam bagian ini kita coba untuk masuk lebih dalam untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh Lonergan tentang konversi itu sendiri. Dalam bukunya Method in Theology, Lonergan membahas secara panjang lebar tentang konversi ini. Lonergan memulai dengan suatu pemahaman tentang teologi sebagai suatu seri relasi dari spesialitas-spesialitas fungsional. Tetapi, menurutnya, dasar dari “teologi mediasi” (mediated theology), termasuk afirmasi-afirmasi doktrinal dan elaborasi-elaborasi sistematik dari teologi moral ditentukan oleh konversi.[90]
Konversi dipahami sebagai suatu transformasi dari subjek dan dunianya. Konversi lebih merupakan suatu perubahan yang dihasilkan dan yang terarah.[91] Menurut Lonergan, ada tiga bentuk konversi: konversi intelektual, konversi moral dan konversi religius.[92] Ketiganya saling berhubungan, namun masing-masing memiliki tipe kejadian yang berbeda dalam dirinya sebelum dihubungkan dengan yang lain.[93]
Konversi intelektual adalah suatu klarifikasi radikal dan yang secara konsekuen menghapus mitos tentang “di luar sana ada sesuatu sekarang riil” sebagai ukuran dari kenyataan, obyektifitas, dan pengetahuan manusia. Karena secara intelektual dikonversi, maka pengetahuan tidak sama dengan penglihatan; yang riil bukanlah apa yang ada “di luar sana” untuk dilihat. Agaknya dunia riil adalah dunia tidak yang ditengahi oleh pengertian dan bukan pula dunia dari pengalaman sesaat. Dunia riil adalah dunia yang dikenal melalui suatu proses kognisional dari pengalaman, pemahaman, keputusan dan pengambilan sikap. Atau dengan kata lain, dunia riil adalah dunia yang dikenal melalui suatu proses perkembangan diri transendens secara kognisional.[94]
Konversi moral berarti suatu perubahan dari kepuasan ke nilai-nilai sebagai kriteria dari pengambilan sikap dan pilihan seseorang. Realisasi dari suatu perubahan terjadi melalui suatu proses yang panjang setelah suatu pilihan dasar dibuat. Sedangkan yang dimaksudkan dengan konversi religius adalah kulminasi dari proses transendensi diri ini.[95] Tentang konversi religius ini Lonergan menulis,
Konversi religius adalah suatu keseluruhan ada-dalam-cinta sebagai landasan yang mujarab dari semua transendensi diri, entah dalam pengejaran terhadap kebenaran, atau dalam perwujudan nilai-nilai manusia, atau dalam orientasi manusia untuk mengadopsi kepada alam semesta, landasannya dan tujuannya.[96]

Hubungan konversi satu sama lain memperkenalkan sesuatu yang baru dan berbeda, menempatkan segala sesuatu pada suatu basis baru, memelihara semua kekayaan dan coraknya dengan tepat, dan membawanya menuju suatu realisasi yang lebih penuh dalam suatu konteks lebih kaya.[97] Oleh karena itu, konversi menyiratkan suatu pergeseran radikal dalam horizon yang dipandang dari dalam nilai-nilai dan pengertian yang dirasakan. Dan di dalam fakta itu berada suatu titik perhatian kepada diskusi-diskusi kontemporer para teolog.[98]

II.1.3. Empat Level Kesadaran Intensional: Kesadaran Lonergan Akan Kemampuan Dasar Manusia[99]
Keinginan Lonergan untuk menempatkan teologi dalam konteks yang baru dan pemahamannya tentang konversi serta usahanya untuk menemukan suatu metode yang tepat dalam berteologi juga didorong oleh kesadarannya akan kemampuan-kemampuan dasar manusia. Menurutnya manusia memiliki kemampuan dasar untuk mengetahui sesuatu. Kemampuan tersebut terdapat dalam apa yang disebutnya kesadaran intensional.[100]
Menurut Lonergan, ada empat level intensional yang harus dilalui oleh budi manusia ke arah pembentukan suatu pemahaman.[101] Level-level tersebut harus dipahami dengan benar, karena masing-masing level mengintegrasikan proses knowing dan doing[102] serta menyediakan komponen-komponen yang invariant ke dalam metode teologis.[103] Komponen-komponen invariant itu merupakan suatu struktur yang imanen dalam diri seorang teolog. Fondasi yang tepat bagi seorang teolog adalah diri teolog sendiri yang dipahami sebagai struktur yang dinamis dan imanen.[104]
Sebagaimana telah saya tegaskan di atas bahwa menurut Lonergan, cara kerja budi menuju pembentukkan pemahaman terjadi dalam kesadaran intensional manusia. Kesadaran memiliki empat level, yaitu menangkap (apprehension), memahami (insight), memutuskan (jugdement) dan mengambil sikap (decision).[105] Level pertama, yaitu menangkap (apprehension) sering disebut dengan cara lain yaitu, level pengalaman (experience).[106] Pada level ini setiap subjek yang berteologi diandaikan memiliki pengalaman tentang data. Di dalam pengalaman ini subjek yang berteologi juga diandaikan memiliki kemampuan untuk menangkap (to apprehension) data yang hadir atau terberi dalam kesadaran. Pada level ini perhatian kita belum dibentuk dan seringkali terjadi perubahan fokus yang tidak menentu.[107]
Level kedua adalah memahami data (understanding the data).[108] Pada level pemahaman, intelek kita mengejar jawaban terhadap pertanyaan mengapa (why), bagaimana (how) dan untuk apa (what for), termasuk data yang irelevan dan ide-ide yang belum matang. Level ketiga adalah memutuskan (judgement). Pada level ini kita memutuskan bahwa pemahaman seseorang (atau kita sendiri) telah benar atau masih salah. Di sini kita menguji apakah pemahaman kita telah membentuk pengertian tentang pengalaman awal.[109] Level keempat adalah mengambil sikap (decision) untuk bertindak menurut hasil pengetahuan sebelumnya.[110] Pada level ini, kesadaran kita membuat keputusan-keputusan yang bernilai dan yang akan terus mengganggu kita sampai kita menyesuaikan tindakan-tindakan kita dengan keputusan-keputusan ini.[111]
Dalam bingkai usaha untuk berteologi, level keempat ini amat menentukan. Pada tahap ini kita mengambil sikap atau berteologi atau tidak. Tetapi tentunya level keempat ini tak pernah dilepaskan dari ketiga level lainnya. Kita tidak akan pernah sampai pada suatu keputusan untuk berteologi tanpa melalui level-level sebelumnya.[112]

II.1.4. Pemahaman Lonergan Tentang Metode
Di atas kita telah melihat kerinduan Lonergan untuk membuat perubahan dalam teologi dengan menegaskan bahwa teologi hendaknya ditempatkan dalam konteksnya yang baru. Bagi Lonergan, teologi memang bersifat deduktif, tetapi harus empiris juga dalam metodenya. Kerinduan itu dibarengi dengan kesadarannya akan perubahan dan kemampuan dasar manusia. Sebelum terbitnya Method in Theology, Lonergan telah menegaskan bahwa teologi membutuhkan perangkat konseptual baru (the new conceptual apparatus).[113] Perangkat konseptual yang ia maksudkan tak lain adalah metode teologi. Tetapi sebelum kita masuk lebih jauh untuk memahami metode teologinya, terlebih dahulu kita melihat paham Lonergan tentang metode. Pertanyaannya, bagaimana pemahaman Lonergan tentang metode itu sendiri?
Menurut Lonergan, metode bukanlah suatu perangkat peraturan yang harus diikuti dengan sangat cermat oleh seorang dungu. Metode merupakan suatu framework bagi kreativitas kolaboratif. Metode menggarisbawahi berbagai macam kumpulan cara kerja yang dilakukan oleh para teolog ketika mereka mengusahakan varietas tugasnya. Sebuah metode kontemporer akan menerima tugas-tugas itu dalam konteks dari ilmu-ilmu modern, ilmu pengetahuan modern, filsafat modern, dari historisitas, koresponsibilitas dan praktikalitas kolektifnya.[114]
Di satu sisi, Lonergan melihat metode lebih sebagai suatu seni daripada sebagai suatu ilmu. Sebab metode tidak dipelajari dari buku-buku atau bacaan-bacaan, tetapi dalam laboratorium atau dalam seminar.[115] Dalam arti ini metode mengandaikan adanya suatu keterlibatan aktif dan langsung dari subjek pelaku. Cara berpikir seperti ini, bagi Lonergan, merupakan suatu cara berpikir yang asali dari seluruh pemikiran tentang metode.[116] Di sisi lain, Lonergan melihat metode juga sebagai pola normatif yang berulang dan yang dihubungkan dengan cara kerja yang mengakibatkan hasil-hasil kumulatif dan progresif.[117] Cara kerja itu tercakup dalam pola melihat, mendengar, mengajar, mencium, mencicipi, menyelidiki, mengkhayal, memahami, menerima, memformulasi, merefleksikan, memutuskan, mengevaluasi, mengambil sikap, berbicara dan menulis.[118] Semua cara kerja itu berada dalam kesadaran dan intensionalitas manusia.[119] Dan kesadaran dan intensionalitas itu bersifat dinamis, baik secara material maupun secara formal.[120]
Pola dasar dari semua cara kerja itu tercakup dalam apa yang disebut oleh Lonergan sebagai metode transendental.[121] Cara kerja itu merupakan suatu metode transendental, karena hasil yang digambarkan tidak dibatasi secara kategoris dengan beberapa bidang atau subjek, tetapi berkenaan dengan hasil apapun yang dimaksudkan untuk membuka gagasan-gagasan transendental secara komplet.[122] Metode transendental dengan demikian mempertemukan urgensitas dan eksploisitas kesempatan (opportunity) yang dihadirkan oleh budi manusia pada dirinya sendiri.[123]
Lalu, apa yang dimaksudkan oleh Lonergan tentang metode transendental itu sendiri? Dengan mengutip penjelasan metode transendental ala Otto Muck, Lonergan menulis,
Dalam bukunya, The Transcendental Method, [...] Otto Muck menyusun suatu ide yang umum tentang metode transendental dengan membatasi keutamaan-keutamaan umum dalam karya itu yang menggunakan metode tersebut. Sementara saya tidak memiliki objeksi terhadap prosedur ini, saya tidak menganggap prosedur itu sangat tepat dengan suatu pemahaman tentang intensi-intensiku sendiri. Saya memahami metode dengan konkret. Saya memahaminya, bukan dalam term-term prinsip dan peraturan, tetapi sebagai suatu pola normatif dari cara kerja dengan hasil yang kumulatif dan progresif. Di satu pihak, saya membedakan metode-metode yang cocok dengan bidang-bidang partikular dan di lain pihak, inti dan alasannya yang umum, yang saya sebut metode transendental. Di sini, kata transendental dipakai dalam suatu pengertian yang analog dengan kebiasaan Skolastik, karena kata tersebut diperlawankan dengan kategorial (atau predikamental). Tetapi prosedur aktualku juga [bersifat] transendental dalam pengertian Kantian, karena membawa kepada terang kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk memahami suatu objek sejauh pengetahuan itu [bersifat] a priori.[124]
Bagi Lonergan, metode transendental merupakan general method, yang padanya metode-metode lain mengambil bagian.
Metode transendental bukanlah intrusi yang memasukkan ke dalam teologi hal-hal asing dari suatu sumber asing. Fungsinya untuk menampilkan fakta bahwa teologi dihasilkan oleh para teolog dan bahwa para teolog memiliki budi dan menggunakannya; bahwa pekerjaan mereka tidak diabaikan dan berlalu begitu saja, tetapi secara eksplisit diakui pada dirinya sendiri dan pada implikasinya. Akan tetapi, patut diingat bahwa metode transendental hanyalah satu bagian dari metode teologis. Ada sekian banyak metode dalam berteologi. Tergantung dari perspektif mana kita memandang kegunaannya dan mengaplikasikannya dalam berteologi.[125]

II.2. Metode Berteologi Menurut Lonergan
Ketika orang berbicara tentang metode teologi, maka tidak bisa tidak pembicaraan itu mengarah juga kepada ide-ide Lonergan tentang metode teologi. Lonergan memang melihat teologi cukup teoretis tanpa hubungan yang nyata dengan praksis. Tetapi yang sangat menonjol dalam metode Lonergan adalah pengalaman dan refleksi pribadi. Kekhususan metode teologi Lonergan adalah apa yang disebut olehnya “functional specialties”.[126] Di bawah ini saya coba menguraikan beberapa ide dasarnya tentang hal tersebut.

II.2.1. Tiga Tipe Pembagian Spesialisasi[127]
Spesialitas-spesialitas dibagi atas tiga cara, yaitu pembagian spesialisasi berdasarkan bahan, pembagian spesialisasi menurut keahlian dan pokok bahasan, serta spesialisasi fungsional. Pertama, spesialisasi berdasarkan bahan. Spesialisasi ini sangat mudah untuk dipahami. Spesialisasi berdasarkan bahan adalah spesialisasi dari dosen: Tafsir Kitab Suci, sejarah Gereja, dan seterusnya; di mana semua itu dapat dibagikan secara kuantitatif menurut bahan yang mau dibahas.[128]
Kedua, pembagian spesialisasi menurut keahlian dan pokok bahasan. Pembagian menurut keahlian adalah pembagian menurut keahlian dosen juga: moral, perkembangan dogma, ilmu agama-agama, hukum dan sebagainya. Spesialisasi ini merupakan tipe sangat familiar, karena setiap orang tentunya mengikuti subjek dalam suatu departemen. Sekarang apa yang dibagi tidak selamanya adalah bidang-bidang data yang relevan, tetapi hasil-hasil investigasi untuk dikomunikasikan. Lagi, sebelumnya pembagian ke dalam bagian-bagian material, sekarang dia merupakan suatu klasifikasi konsep yang membedakan departemen-departemen dari suatu fakultas dan subjek yang diajarkan dalam suatu departemen. Karena itu, sementara spesialisasi bidang membagi Kitab Perjanjian Lama ke dalam Kitab-kitab Hukum, Kitab-kitab Para Nabi dan Kitab-kitab Puisi, spesialisasi subjek justru membedakan bahasa-bahasa Semitik, historisitas Ibrani, agama-agama di Timur Dekat kuno, dan teologi Kristen.[129]
Ketiga, spesialisasi fungsional. Spesialisasi ini membedakan dan memisahkan tingkat-tingkat suksesif dalam proses dari data menuju hasil. Menurut Lonergan, ada delapan spesialitas fungsional dalam berteologi. Kedelapan spesialitas fungsional itu antara lain: penelitian, interpretasi, sejarah, dialektika, fundasi, doktrin, sistematika dan komunikasi. Patut dicatat bahwa spesialitas-spesialitas fungsional itu secara instrinsik berhubungan satu dengan yang lain. Tiap-tiap spesialitas fungsional menjadi bagian suksesif dari yang lain dan memiliki proses yang sama. Bagian-bagian awal tidak akan lengkap tanpa yang terakhir.[130]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa spesialitas-spesialitas fungsional interdependen secara fungsional. Interdependensi tersebut memiliki suatu interese metodologis yang sangat besar. Pertama, tanpa suatu prasangka menuju kesatuan, interdependensi membagi dan mengklarifikasi proses dari data menuju hasil. Kedua, interdependensi menyediakan suatu garis keteraturan antara spesialisasi bidang yang didasarkan pada pembagian data dan spesialisasi subjek yang didasarkan pada suatu klasifikasi hasil. Ketiga, kesatuan spesialitas-spesialitas fungsional akan ditemukan untuk melampaui atau mengimbangi pembagian yang tak ada habisnya dari spesialisasi bidang.[131]
Di atas telah disebutkan bahwa spesialisasi fungsional terbagi dalam delapan langkah penting. Pertanyaan yang patut diajukan adalah dari mana kedelapan langkah ini diturunkan? Apa yang menjadi prinsip-prinsip dasarnya? Dan, mengapa kita membutuhkan pembagian semacam itu?[132]
Prinsip pembagian yang pertama adalah bahwa operasi-operasi teologis terjadi dalam dua fase dasar dari teologi (teologi in oratione obliqua dan teologi in oratione recta). Prinsip kedua diderivasi dari kenyataan bahwa kesadaran dan operasi intensional kita terjadi pada empat level yang berbeda dan tiap-tiap level memiliki prestasi dan akhir yang tetap.[133] Keempat level yang dimaksudkan, yaitu pengalaman, memahami, mengerti dan mengambil sikap sebagaiman telah dijelaskan di atas.
Secara singkat bagian ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Metode Lonergan bukanlah pembagian bahan (field specialization), atau keahlian dan pokok bahasan (department and suject specialization), melainkan pembagian langkah dalam proses studi. Konkret-praktis hal itu berarti bahwa Lonergan melihat metode teologis dari sudut mahasiswa dan bukan dari sudut dosen. Yang hendak ditekankan di sini adalah metode teologi yang berdasarkan langkah-langkah dalam proses studi, melihat metode itu terutama dari sudut subjek dalam suatu pendidikan teologis. Jadi, pendidikan teologis bukan lagi sekadar penyajian bahan, atau percontohan keahlian, melainkan lebih daripada itu adalah bimbingan metode, baik dalam pengasimilasian bahan maupun dalam refleksi teologis atas bahan itu.

II.2.2. Delapan Langkah Berteologi Dalam Metode Lonergan
Sebagaimana telah saya sebutkan di atas bahwa kekhususan metode teologi Lonergan adalah apa yang ia sebut “functional specialties”. Lonergan sendiri membagi spesialitas-spesialitas yang ia maksudkan ke dalam delapan bagian atau delapan langkah. Berikutnya ini saya coba menguraikan kedelapan langkah metodologis tersebut.

II.2.2.1. Research
Penelitian (research) merupakan langkah pertama dalam berteologi. Penelitian menjadi bagian yang penting dalam usaha kita untuk berteologi secara kontekstual. Sebuah penelitian menyediakan data yang relevan bagi suatu investigasi (penyelidikan) teologis.[134] Tetapi sebelum berbicara lebih lanjut mengenai hal ini, maka perlulah kita memahami terlebih dahulu apa yang dimaksudkan oleh Lonergan tentang langkah yang pertama ini. Lonergan melihat penelitian sebagai suatu kategori yang begitu beraneka ragam dan yang erat kaitannya dengan praktek daripada teori.[135] Berdasarkan pemahaman ini Lonergan membedakan dua macam penelitian berdasarkan tujuannya, yaitu penelitian yang bersifat umum dan penelitian yang bersifat khusus.
Agar orang dapat melakukan salah satu dari penelitian ini, maka hal yang sangat mendasar yang diperlukannya adalah pengetahuan dan pengenalan dasar terhadap tipe penelitian yang digunakannya.[136] Terhadap tipe yang pertama, Lonergan menulis,
Jika salah satu tujuan adalah penelitian umum, maka orang harus menemukan siapa dan di mana para guru [the masters] dalam bidang di mana orang itu hendak bekerja. Kepada mereka orang itu harus pergi dan dengan mereka [ia] harus bekerja sampai [ia] merasa terbiasa dengan semua peralatan yang mereka pakai dan untuk memahami dengan tepat mengapa mereka membuat setiap alat itu bergerak.[137]

Dengan ini Lonergan hendak menegaskan bahwa pengetahuan dan pengenalan yang mendasar dalam usaha untuk melakukan sebuah penelitian sungguh diperlukan. Tetapi pengenalan dan pengetahuan itu tidak muncul dengan sendirinya. Orang yang melakukan penelitian itu perlu belajar dari orang yang lebih ahli dalam bidang di mana orang itu hendak bekerja. Di sini Lonergan hendak menekankan bahwa dua faktor ini, pengenalan dan pengetahuan, saja tidak cukup. Kita akan terjebak dalam lingkup teori belaka. Karena itu, bagi Lonergan, faktor yang turut menentukan keberhasilan seseorang dalam melakukan penelitian yang bersifat umum ini adalah faktor pengalaman. Maksudnya bahwa si peneliti perlu belajar dan menimba pengalaman dari mereka yang ahli dalam bidangnya. Hal yang sama ditekankan oleh Lonergan dalam tipe yang kedua. Lonergan menulis,
[…], jika tujuan seseorang adalah penelitian khusus, maka orang harus memilih bidang fungsional dari penelitian seseorang lebih lanjut untuk dijalankan. Lagi, orang harus menemukan siapa dan di mana adanya seorang guru yang bekerja spesialitas selanjutnya itu pada basis penelitiannya. Kepadanya orang itu harus pergi, melebur dalam seminarnya, [atau] membuat sebuah disertasi doktoral di bawah bimbingannya.[138]

Bagi Lonergan, melakukan sebuah penelitian, entah umum ataupun khusus, selalu merupakan suatu tugas yang konkret yang dipandu tidak hanya dengan generalisasi-generalisasi abstrak, tetapi juga dengan inteligensi praktis yang dihasilkan melalui proses pembelajaran diri.
Persoalan yang muncul kemudian adalah apakah kita membutuhkan semacam instruksi dalam penelitian yang kita buat? Lonergan menegaskan bahwa jika kita tidak mengusulkan untuk memberi instruksi pada prosedur penelitian, maka kita mungkin berharap untuk mengindikasikan area-area yang diselidiki dalam penelitian teologis itu. Kita siap untuk menawarkan indikasi seperti itu, tetapi indikasi tersebut tidak akan menerangkan isu-isu teologis. Karena itu, bagi Lonergan, persoalan perlu atau tidaknya suatu instruksi dalam melakukan penelitian tidaklah penting. Hal yang paling penting adalah membiarkan peneliti atau teolog memulai penelitiannya dari konteks di mana mereka telah berpijak. Peneliti akan mempertimbangkan satu atau lebih bidang yang relevan bagi penelitiannya. Dalam iklim yang demikian, ia akan dengan leluasa menemukan metode yang sesuai bagi penelitiannya dan dengan keleluasaan pula melakukan penelitian itu.[139] Dengan demikian ia akan mampu menyediakan data yang relevan bagi investigasi teologis selanjutnya.
Akan tetapi, tentu saja, spesialitas ini bukan satu-satunya jalan. Patut diingat bahwa berbagai spesialitas fungsional saling berhubungan satu dengan yang lain. Jika dalam spesialitas doktrin, misalnya, seorang teolog mengubah pemikirannya tentang bidang-bidang yang relevan bagi penelitian teologisnya, maka ia akan dipimpin juga untuk mengubah prakteknya dalam penelitian.[140]

II.2.2.2. Interpretation
Dalam bagian ini yang menjadi pusat perhatian kita adalah mengenai interpretasi sebagai suatu bidang khusus. Interpretasi selalu dihubungkan dengan spesialitas fungsional lainnya. Bidang-bidang fungsional itu saling tergantung satu sama lain dan karena itu, bidang-bidang tersebut tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.
Dengan interpretasi dimaksudkan teori dan praktek pemahaman serta penafisan atas teks (Kitab Suci atau teks-teks yang lain) atau data (dari pengalaman). Dalam interpretasi, kita berusaha untuk (a) menentukan makna asli teks atau data dalam konteks historisnya dan (b) mengungkapkan maknanya untuk sekarang.[141] Metode ini tetap mengakui bahwa suatu teks atau data dapat memuat dan menyampaikan makna yang lebih jauh.[142] Di samping menggunakan berbagai disiplin ilmu (seperti filologi, sejarah, kritik sastra, dan sosiologi), seorang “interpretator” perlu merefleksikan secara filosofis keadaan manusia dan peranannya dalam menulis teks atau dalam membentuk pengalamannya. Meskipun ada jarak antara budi seseorang dengan kebudayaan, kemanusiaan kita yang sama dapat menjembatani jarak itu, sehingga teks atau data dapat dimengerti dan diinterpretasi.[143]
Penjelasan di atas kiranya memberi gambaran kepada kita cara kerja spesialitas fungsional yang kedua ini. Bagi Lonergan, sementara penelitian menyediakan data yang relevan (apa yang tertulis) bagi suatu investigasi teologis, interpretasi justru berusaha untuk memahami apa yang dimaksudkan dibalik yang tertulis itu. Dengan ini kita berusaha untuk memahami pengertian atau makna tersebut dalam konteks historisnya, sesuai dengan tingkat-tingkat pemikiran dan ekspresinya, dipandang dari sudut keadaan sekitarnya dan intensi penulisnya.[144]

II.2.2.3. History[145]
Lonergan membedakan tiga bentuk sejarah, yaitu sejarah dasar (basic history), sejarah khusus (special history) dan sejarah umum (general history). Sejarah dasar berbicara tentang di mana (tempat, teritori) dan kapan (tanggal, periode) orang (person, masyarakat) melakukan sesuatu (kehidupan publik, kegiatan-kegiatan eksternal) untuk menikmati apa itu kesuksesan, dan mengusahakan sesuatu yang berpengaruh. Dalam special history kita berbicara tentang gerakan-gerakan atau kultural (bahasa, kesenian, literature, agama), atau institusional (keluarga, moral, masyarakat, ekonomi, pendidikan, negara, hukum, gereja, sekte, ekonomi, teknologi) atau doktrinal (matematika, ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, sejarah, teologi).
Berbeda dengan dua bentuk sejarah di atas, sejarah umum (general history) tentu lebih ideal. Dia bisa menjadi sejarah dasar yang diiluminasi dan dilengkapi dengan sejarah khusus. Sejarah umum menawarkan kepada kita pandangan-pandangan yang menyeluruh. Dalam sejarah umum informasi, pemahaman, keputusan dan evaluasi dari seorang sejarahwan berkenaan dengan gerakan-gerakan kultural, institusional atau doktrinal menurut setting konkretnya.
Penjelasan-penjelasan di atas menghantar kita untuk masuk ke dalam pemahaman yang lebih spesifik tentang sejarah sebagai suatu spesialitas fungsional dalam teologi. Dalam konteks ini, sejarah, sebagai salah satu spesialitas fungsional, ditempatkan dalam cara atau tingkat yang berbeda dengan ketiga bentuk sejarah di atas, tetapi tetap berada dalam kaitan dengan ketiganya. Dengan kata lain, pada dasarnya sejarah disyaratkan oleh sejarah dasar. Selanjutnya, persoalan substansial dari sejarah adalah sejarah doktrinal dari teologi Kristen dengan anteseden dan konsekuensinya dalam sejarah kultural dan institusional dari agama Kristen dan dari gereja-gereja serta sekte-sektenya. Pada akhirnya, dia tidak jauh dari sejarah umum, karena hanya melaluinya kita dapat memahami perbedaan antara gereja-gereja Kristen dan sekte-sekte, relasi antaragama, dan peranan kristianitas dalam sejarah dunia.

II.2.2.4. Dialectic[146]
Spesialitas fungsional yang keempat adalah dialektika. Walaupun kata ini dipakai dalam banyak cara, namun dialektika yang dipahami oleh Lonergan di sini cukup sederhana. Dialektika menunjuk pada sesuatu yang konkret, dinamis dan kontradiktoris. Dengan demikian dialektika menemukan materi-materi yang melimpah dalam sejarah gerakan-gerakan Kristen. Karena semua gerakan pada suatu saat akan menjadi konkret dan dinamis. Apalagi gerakan-gerakan Kristen ditandai dengan konflik eksternal dan internal. Karena itu, materi dialektika pertama-tama adalah konflik-konflik yang terpusat dalam gerakan-gerakan Kristen. Namun perlu ditambahkan di sini konflik-konflik yang terjadi dalam laporan-laporan historis dan dalam interpretasi-interpretasi teologis tentang gerakan-gerakan tersebut.
Di samping materi-materi dialektika, ada juga tujuannya. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan yang lebih tinggi dan lebih jauh. Sebagaimana ilmu-ilmu empiris bertujuan pada sebuah eksplanasi yang komplet tentang semua fenomen, demikian juga dialektika bertujuan pada suatu titik pandang yang komprehensif.[147] Dialektika memperlihatkan beberapa pokok tunggal atau beberapa set tunggal dari pokok yang dihubungkan dan memungkinkannya untuk berproses menuju suatu pemahaman tentang karakter, oposisi-oposisi dan relasi dari banyak titik pandang yang diperlihatkan dalam konflik gerakan-gerakan Kristen, sejarah konfliknya dan interpretasi atas konflik tersebut.[148]
Di samping konflik dan tujuan di atas, ada juga kenyataan masa lampau dan masa sekarang dari banyaknya penyimpangan titik pandang yang dihasilkan dalam konflik tersebut. Penyimpangan-penyimpangan itu juga ditunjukan, sering dengan suatu gaya yang lebih vital, dalam asumsi-asumsi yang tak menarik perhatian, dalam kegemaran dan keengganan, dalam ketenangan tetapi yang dibatasi oleh keputusan para sarjana, penulis, pendeta, dan pria maupun wanita di bangku-bangku gereja.
Sekarang studi tentang titik pandang ini menempatkan orang di luar kenyataan (fakta) menuju pertimbangan yang sehat bagi konflik tersebut. Perbandingan semacam ini akan membawa kita kepada terang di mana perbedaan-perbedaan dapat diperkecil, di mana mereka menjadi kompelementer dan dapat dibawa bersama ke dalam suatu keseluruhan yang lebih besar, di mana pada akhirnya mereka dapat dipandang sebagai tingkatan-tingkatan suksesif dalam suatu proses perkembangan tunggal.
Di samping perbandingan, ada juga kritik. Tidak setiap sudut pandang adalah koheren dan tak dapat menempati suatu posisi yang konsisten. Tidak setiap pemikiran merupakan suatu bunyi pemikiran dan Kristianitas tidaklah lebih dari suatu stereotipe yang mencurigakan. Tidak setiap perbedaan yang tak dapat direduksi merupakan suatu perbedaan yang serius, dan hal itu tak dapat ditempatkan pada tempat kedua, ketiga atau keempat sehingga perhatian, studi dan analisis kita dapat dicurahkan kepada perbedaan-perbedaan yang serius dan lebih mendalam. Maka dengan dialektika dipahami sebagai suatu generalisasi apologetis yang disalurkan dalam suatu roh ekumenis yang pada akhirnya bertujuan pada suatu titik pandang yang komprehensif dan berproses kepada tujuan tersebut melalui pengakuan perbedaan-perbedaan, memandang kesekitarannya secara riil dan jelas, dan mengeliminasi oposisi-oposisi yang tak berguna.
Penjelasan di atas menghantar kita untuk sampai pada pemahaman bahwa dialektika memang diperlukan dalam berteologi.[149] Di sini Lonergan mengajak kita untuk menempatkan hasil penelitian dan interpretasi kita dengan realitas yang sejajar dengannya, dengan konteks historisnya. Pertemuan ini menghasilkan suatu komunikasi yang bersifat dialektis. Proses dialektis ini pada akhirnya akan menghasilkan suatu cara pandang yang benar-benar komprehensif; adanya pengakuan terhadap perbedaan dan membuat kita memandang lingkungan di sekitar kita secara lebih riil.

II.2.2.5. Foundations[150]
Menurut Lonergan, sebenarnya keempat tahap di atas baru merupakan persiapan: pengenalan akan tradisi dan agama kristiani. Karena itu keempat tahap pertama ini belum dapat disebut teologi. Di sini, setiap orang dapat melakukan penelitian, menginterpretasi, menulis sejarah dan menentukan posisinya dalam pertentangan dan perbedaan yang ada.[151] Mulai dari penelitian sampai tahap keempat, yaitu dialectics, orang masih disebut outsider. Karena itu, bagi Lonergan, keempatnya hanya baru menjadi prasyarat bagi seseorang untuk masuk ke dalam tahapan yang lebih mendalam. Meskipun hanya menjadi prasyarat, tetapi keempatnya tak bisa dilepaskan dari spesialitas-spesialitas lainnya. Tahap yang paling menentukan justru pada tahap yang kelima ini, yaitu foundations.
Dalam bagian sebelumnya kita telah berusaha memahami apa yang dimaksudkan Lonergan dengan konversi. Bagi Lonergan, konversi dimengerti sebagai suatu transformasi dari subjek dan dunianya. Secara normal konversi merupakan suatu proses yang panjang, walaupun pengakuan eksplisitnya mungkin dikonsentrasikan dalam suatu pendapat dan keputusan penting. Lagi, konversi bukanlah suatu perkembangan atau seri perkembangan yang tetap. Agaknya konversi lebih merupakan suatu perubahan yang dihasilkan dan yang terarah. Perubahan itu dapat terjadi jika mata seseorang terbuka terhadap kesekitarannya, terhadap sesuatu yang baru yang berbuah dalam kesinambungan, terhadap suatu perkembangan yang kumulatif pada semua level dan dalam seluruh bagian kehidupan manusia.
Konversi bersifat eksistensial, amat personal dan sama sekali mendalam. Tetapi konversi tak dapat dikurung secara pribadi. Dengan konversi orang terbantu untuk membentuk komunitas yang saling menyokong satu sama lain dalam usaha transformasi diri, membantu orang lain dalam menentukan implikasi-implikasi dan pemenuhan janji kehidupan baru mereka. Selanjutnya apa yang telah menjadi komunal ini dapat menjadi historis. Ia dapat diwariskan dari generasi ke generasi. Ia dapat menyebar dari lingkungan kultural yang satu ke lingkungan kultural yang lain. Ia dapat beradaptasi dengan perubahan di sekitarnya, dapat menghadapi situasi-situasi baru, bertahan dalam suatu kurun waktu yang berbeda dan bertumbuh subur dalam periode atau masa yang lain.
Konversi, seperti yang dihidupi, mempengaruhi seluruh kesadaran dan cara kerja intensional seseorang. Konversi mengarahkan pandangannya, menyerap imajinasinya, melepaskan simbol-simbol yang telah merasuk ke kedalaman jiwanya. Tetapi sebagai sesuatu yang komunal dan historis, sebagai suatu gerakan dengan corak kulturalnya sendiri, konversi terpanggil untuk meneruskan suatu refleksi yang membuat gerakan tematis, yang secara eksplisit menyelidiki keaslian, perkembangan, tujuan, prestasi dan kegagalannya.
Karena itu, konversi pada dirinya sendiri menjadi tematis dan secara eksplisit diobjektivasi, sehingga memunculkan spesialitas fungsional kelima, yaitu foundations. Sebagaimana konversi menjadi dasar bagi kehidupan Kristiani, demikian pula suatu objektivasi dari konversi melengkapi teologi dengan fundasinya. Sejauh ini fundasi dibedakan dari teologi fundamental lama dalam dua hal. Pertama, teologi fundamental merupakan sebuah teologi yang pertama; teologi ini tidak mengikuti empat spesialitas lain yaitu penelitin, interpretasi, sejarah dan dialektika. Kedua, teologi fundamental merupakan suatu perangkat doktrin de vera religione, de legato divino, de ecclesia, de inspiratione scripturae, de locis theologicis. Sedangkan fundasi justru menghadirkan bukan doktrin, tetapi horison yang memungkinkan pengertian tentang doktrin itu dapat dipahami. Sebagaimana dalam kehidupan religius “Tetapi syukur bagi Allah, yang dalam Kristus selalu membawa kami di jalan kemenangan-Nya. Dengan perantaraan kami Ia menyebarkan keharuman pengenalan akan Dia di mana-mana” (2Kor 2,14), maka dalam refleksi teologis tentang kehidupan religius telah dibedakan horison dengan mana doktrin-doktrin religius atau dapat atau tidak dapat dipahami; dan distingsi ini adalah fundasional.
Pada waktunya kita akan bertanya bagaimana horison itu dipahami dan didefinisikan dan bagaimana horison yang satu berbeda dengan yang lain. Akan tetapi, pada suatu saat kita boleh mencatat apakah konversi itu otentik atau tidak, sehingga mungkin ada banyak horison Kristen yang tidak semuanya membutuhkan representasi konversi yang otentik.
Lagi, pada kenyataannya spesialitas yang kelima ini terjadi pada level keempat kesadaran instensional manusia, yaitu mengambil sikap (decision). Di sini kita menentukan sikap tentang siapa dan apa yang menjadi pilihan kita, dan lagi, siapa dan apa yang kita lawan. Penentuan sikap ini diiluminasi oleh berbagai kemungkinan yang diperlihatkan dalam dialektika. Ini merupakan suatu penentuan sikap yang penuh dengan kesadaran tentang horizon seseorang dan cara pandangnya. Dengan demikian kita dimungkinkan untuk dengan bebas memilih kerangka kerja, di mana doktrin-doktrin memiliki maknanya, di mana sistematika dapat mendamaikannya dan di mana komunikasi menjadi lebih efektif.[152]

II.2.2.6. Doctrines
Doktrin-doktrin mengungkapkan pengertian tentang kenyataan dan tentang nilai. Doktrin-doktrin terkait erat dengan afirmasi dan negasi yang tidak hanya berasal dari teologi dogmatis, tetapi juga dari teologi moral, asketis, mistik, pastoral dan cabang-cabang teologi yang similar. Doktrin-doktrin dengan demikian berdiri dalam horison fundasi. Mereka memiliki definisinya yang seksama dari dialektika, memiliki sejarahnya, dan cakupannya dalam interpretasi data yang tepat bagi teologi.[153]
Dalam langkah kelima, yaitu foundations, kita diajak untuk mengambil sikap terhadap perbedaan pendapat di kalangan orang Kristen. Di samping mengambil sikap terhadap perbedaan-perbedaan tersebut, kita juga berefleksi terhadap iman sendiri dalam kaitan dengan iman orang lain. Langkah keenam, doctrines, membantu kita untuk menempatkan refleksi atas iman itu dalam konteks penghayatan iman Gereja dan tradisi.[154]

II.2.2.7. Systematics
Sistematis sebagai spesialitas fungsional yang ketujuh mempunyai kaitan yang erat dengan promosi suatu pemahaman tentang kenyataan yang diafirmasi dalam spesialitas fungsional sebelumnya, yaitu doktrin.[155] Menurut Lonergan, kenyataan dan nilai yang ditegaskan dalam doktrin-doktrin membangkitkan pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam, karena ekspresi-ekspresi doktrinal bisa saja menjadi figuratif dan simbolik belaka. Atau ekspresi doktrinal tersebut mungkin saja deskriptif, tetapi hanya didasarkan pada pengertian tentang sabda daripada suatu pemahaman tentang realitas. Ketika dalam tekanan ekspresi tersebut dengan cepat menjadi tidak jelas dan tak terdefinisikan. Atau ketika diuji, ekspresi mungkin nampak tercakup dalam inkonsistensi dan pemikiran yang keliru.[156]
Sistematika sebagai salah satu spesialitas fungsional mencoba untuk mempertemukan persoalan-persoalan ini. Sistematika berusaha untuk menentukan dengan tepat sistem-sistem konseptualisasi, menggerakan kembali inskonsistensi yang ada, untuk bergerak menuju beberapa pemahaman tentang hal-hal spiritual dari kedalaman koherensi mereka sendiri dan dari analogi-analogi yang dipersembahkan oleh pengalaman manusia yang lebih familiar.[157]
Penjelasan di atas pada akhirnya dapat menghantar kita untuk memahami tujuan dan tugas spesialitas ke tujuh ini. Menurut Lonergan, tujuan sistematika adalah untuk mempromosikan pemahaman. Sistematika tidak menentukan ada atau tidaknya fakta. Tugasnya adalah untuk mengambil alih fakta dan menempatkannya dalam doktrin serta berusaha untuk mengarahkannya ke dalam suatu perpaduan yang utuh.[158] Jika tujuan sistematika adalah pemahaman, maka sistematika harus menyajikan suatu kesatuan tunggal yang menyeluruh dan bukan dua bagian-bagian yang terpisah yang cenderung untuk melampaui keunggulan konversi dan  cenderung lebih menekankan bukti.[159]
Jadi, dengan menyajikan suatu kesatuan yang menyeluruh dari fakta dan nilai yang ada, sistematika menyumbang kepada kita suatu pemahaman yang lebih mendalam. Kesatuan ini dapat terjamin karena dibangun dalam suatu sistem pemikiran yang komprehensif dan berdaya guna. Dan melaluinya pula pemahaman kita menjadi lebih adekuat.

II.2.2.8. Communications
Teologi dipahami sebagai refleksi tentang agama dan lebih jauh, sebagai sebuah refleksi yang didiferensiasi dan dikhususkan dengan lebih tinggi. Untuk sampai pada refleksi teologis itu, menurut Lonergan, seorang teolog harus melaluinya dengan beberapa tahap metodologis, yaitu penelitian, interpretasi, sejarah, dialektika, fundasi, doktrin, sistematika dan komunikasi.
Setelah penelitian, di mana data yang relevan dipikirkan, si teolog kemudian membuat penafsiran untuk memastikan makna dari data tersebut. Spesialitas sejarah memungkinkan dia untuk mempertemukan makna tersebut yang  menjelma dalam pergerakan dan perbuatan. Selanjutnya dengan dialektika, kesimpulan yang berlawanan dari para sejarawan, interpreter, dan peneliti diinvestigasi. Dengan spesialitas fundasi, si teolog mampu mengobjektifasi horizon yang diakibatkan oleh konversi intelektual, moral dan religius. Spesialitas doktrin justru menggunakan fundasi sebagai panduan dalam menentukan pilihan-pilihan alternatif yang diperkenalkan dalam dialektika. Dan dengan spesialitas sistematika, si teolog membuat suatu klarifikasi terakhir menyangkut makna dari doktrin. Pada akhirnya perhatian kita kini terarah pada spesialitas fungsional yang kedelapan, yaitu komunikasi.[160]
Komunikasi dikaitkan dengan teologi dalam relasi eksternalnya. Menurut Lonergan, terdapat tiga jenis relasi eksternal dari teologi. Yang pertama adalah relasi interdisipliner. Dalam hal ini teologi terkait dengan ilmu-ilmu lain seperti kesenian, bahasa, literatur, ilmu agama-agama, ilmu alam dan ilmu sosial, juga dengan filsafat dan sejarah. Kedua, ada suatu transposisi yang lebih jauh bahwa pemikiran-pemikiran teologis akan berkembang jika agama tetap mempertahankan identitasnya dan pada saat yang bersamaan pemikiran-pemikiran teologis tersebut menemukan akses ke dalam budi dan hati manusia dari seluruh kebudayaan. Ketiga, dibutuhkan adanya adaptasi yang dapat membuat penuh dan tetap kegunaan dari media komunikasi yang berbeda-beda dan yang ada pada suatu tempat dan waktu tertentu.
Sebagai salah satu spesialitas fungsional, komunikasi memiliki suatu kepentingan yang besar. Sebagai tahap akhir dari suatu proses berteologi, komunikasi melahirkan buah-buah refleksi teologis yang penting.[161] Memang tanpa tujuh spesialitas lainnya tidak ada buah-buah yang dapat dilahirkan. Tetapi tanpa spesialitas terakhir ini, buah-buah yang dihasikan itu tidak matang dan dapat gagal.[162] Di sini, Lonergan mengajak mereka yang berteologi agar sesudah menghasilkan buah-buah refleksi teologis melalui tujuh spesialitas sebelumnya, perlu untuk mengkomunikasikan buah-buah itu dalam kehidupan yang konkret. Atas cara ini, refleksi teologis kita dapat menemukan tempatnya dalam kehidupan nyata.
Lonergan tidak membatasi diri hanya sampai di sini. Lebih jauh, Lonergan juga menghubungkan spesialitas terakhir ini dengan realitas Gereja Katolik dalam situasi kontemporernya. Bagi Lonergan, Gereja Katolik perlu mengkomunikasikan pesan-pesan Kristus kepada dunia. Lonergan menulis,
Gereja Kristen adalah komunitas yang diakibatkan oleh komunikasi yang keluar dari pesan Kristus dan dari pemberian cinta Allah yang paling dalam. Pesan itu memaklumkan apa yang orang-orang Kristen percayai, apa yang membentuk mereka, apa yang mereka lakukan. [Di sini ada kaitan dengan] makna kognitif, konstitutif, efektif. Adalah kognitif oleh karena pesan mengungkapkan apa yang dipercayai. Adalah konstitutif oleh karena pesan itu mengkristalisasi pemberian cinta yang tersembunyi ke dalam terang persahabatan Kristen. Adalah efektif oleh karena pesan itu mengarahkan pelayanan orang-orang Kristen untuk menghadirkan Kerajaan Allah kepada masyarakat manusia.[163]

Pesan Kristen harus dikomunikasikan selain ke dalam tubuh Gereja sendiri, juga kepada seluruh bangsa, kepada masyarakat manusia yang berbeda bahasa, tradisi dan kebudayaan.[164] Singkatnya, komunikasi pesan Kristen dalam seluruh dimensi kehidupan. Tujuannya adalah realisasi Kerajaan Allah tidak hanya dalam tubuh Gereja sendiri, tetapi juga bagi seluruh komunitas manusia.[165] Dengan mengkomunikasikan pesan-pesannya, Gereja dimungkinkan untuk selalu membaharui diri, membuat kebijakan, perencaan dan eksekusi terhadap rencana itu. Atas cara ini juga Gereja membantu perkembangan kebudayaan manusia. Menurut Lonergan, usaha ini hanya dapat diwujudkan karena eforia kebebasan yang ditawarkan oleh Konsili Vatikan II. Di sana Konsili mengarahkan Gereja untuk masuk dalam kehidupan praktis dunia saat ini dan sebaliknya, kehidupan duniapun dibawa masuk ke dalam Gereja.[166] Di sini terjadi komunikasi yang membangun kedua belah pihak.

II.3. Dua Tahapan Dalam Metode Teologi Lonergan: Sebuah Kesimpulan
Lonergan memiliki kerinduan untuk menempatkan teologi dalam konteksnya yang baru. Ia menegaskan bahwa teologi tidak hanya bersifat deduktif belaka, tetapi juga harus empiris dalam metodenya. Dan tentang metode ini kita telah membahasnya secara panjang lebar dalam bab dua tulisan ini. Dari pembahasan-pembahasan di atas, maka dapat kita menarik kesimpulan bahwa Lonergan mengajak kita untuk berteologi dalam dua tahap, yaitu tahap pengolahan informasi dan tahap refleksi. Masing-masing dari kedua tahap itu dijalankan dalam empat langkah.


    (INFORMASI)            (REFLEKSI)
1. Research                  8. Communications
2. Interpretation            7. Systematics
3. History                     6. Doctrines
4. Dialectic                   5. Foundations

 
 








II.3.1. Tahap Pengolahan Informasi
Kita telah mempelajari bahwa Lonergan membagi metode teologinya dalam delapan spesialitas fungsional, yaitu penelitian, interpretasi, sejarah, dialektika, foundations, doktrin, sistematika dan komunikasi. Empat spesialitas fungsional yang pertama dapat kita tempatkan dalam tahapan pertama, yaitu tahapan pengolahan informasi.
Secara singkat tahapan yang pertama ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Bahan, atau lebih tepatnya kita sebut data, dikumpulkan dahulu (research, penelitian), kemudian data itu dipahami (interpretasi), dan diurutkan secara historis (history) tanpa mengecualikan pertentangan (dialectic).[167] Keempat spesialitas fungsional yang pertama ini didasari atas empat aspek kegiatan intensional: menangkap (apprehension), memahami (insight), mengerti (judgement) dan mengambil sikap (decision). Keempat spesialitas fungsional pada tahap pertama ini belum disebut teologi. Keempatnya baru merupakan persiapan, yaitu pengenalan akan tradisi dan agama kristiani.[168]

II.3.2. Tahap Refleksi
Keempat spesialitas fungsional yang terakhir ditempatkan dalam tahapan kedua, yaitu tahap refleksi. Dalam tahap refleksi ini, spesialitas fungsional yang paling menentukan adalah spesialitas kelima: foundations. Langkah ini dapat disebut teologi fundamental, tetapi menurut pandangan dan metode Lonergan yang baru, yakni sebagai suatu langkah khusus dalam proses studi. Langkah ini disejajarkan dengan dialektika, sebab dengan foundations orang mengambil sikap terhadap perbedaan pendapat di kalangan orang kristiani. Pada langkah kelima ini pula iman ditonjolkan dan memainkan peranannya yang eksplisit. Sebab bagi Lonergan, dasar teologi adalah pengalaman iman sendiri, tetapi juga pengalaman iman yang disaksikan dalam diri orang lain.
Refleksi atas pengalaman itu ditempatkan dalam konteks penghayatan iman Gereja dalam tradisi. Dan sebagaimana orang mengambil sikap dalam dialetik pengungkapan iman tradisi itu, begitu juga ia mengambil alih sejarah ajaran itu dan membuatnya pengungkapan imannya sendiri (doctrines). Malahan ia –dalam usaha untuk memahami ajaran itu secara lebih mendalam– menyusunnya dalam suatu sistem (systematics). Akhirnya subjek yang berteologi kembali kepada fakta-fakta tetapi sekarang tidak lagi untuk mengumpulkan fakta, melainkan untuk menjadi pewarta sendiri dan ikut menyumbangkan pengungkapan imannya sendiri kepada “fakta” agama kristiani (communications).
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah unsur-unsur manakah dari metode teologi Lonergan ini yang berguna bagi studi teologi kita? Pertanyaan ini mendorong saya untuk pada akhir bab ini menggarisbawahi beberapa hal penting dari metode teologi Lonergan ini. Hal yang penting dalam metodologi Lonergan, yang juga menjadi sumbangan bagi kita untuk membahasnya lebih lanjut, adalah penekanan pada pengalaman, khususnya dalam hubungan dengan tradisi (1), eksplisitasi iman melalui refleksi teologis sebagai keterlibatan dalam sendiri dalam tradisi kristiani (2), peranan kebudayaan sebagai konteks dan basis refleksi teologis (3) dan implikasi refleksi teologis dalam kehidupan konkret (4).








Bab III
Menimba Inspirasi dari Metode Teologi Lonergan
Bagi Studi Teologi di STF-SP


Kita telah mempelajari kehidupan Lonergan dan pemikirannya tentang metode teologi. Dalam bagian ini kita akan melihat kemungkinan-kemungkinan implikasi metode teologi Lonergan tersebut ke dalam studi teologi di STF-Seminari Pineleng. Sebagai langkah awal, saya akan menguraikan realitas studi teologi di lembaga ini. Dengan menguraikan fakta yang ada kita diharapkan dapat melihat apa yang lebih dan apa yang kurang dalam studi teologi kita selama ini. Dan dengan cara ini kita akan dimungkinkan untuk memasuki langkah selanjutnya, yaitu menarik beberapa ide dasar dari metode teologi Lonergan sebagai sumbangan bagi studi teologi di STF-Seminari Pineleng ini.

III.1. Situasi Studi Teologi di STF-SP[169]
III.1.1. Tempat Teologi Dalam Kurikulum STF-SP[170]
Sebagai salah satu lembaga tinggi, sekolah ini memiliki visi sebagai berikut: “STF-SP adalah lembaga pendidikan tinggi Katolik yang mendidik calon pelayan umat Allah dan masyarakat yang memiliki kemampuan memimpin, yang berdasarkan kebenaran mewujudkan Injil keadilan dan damai serta keutuhan ciptaan menuju persaudaraan sejati”. Dan untuk mewujudkan visi tersebut, maka STF-SP mengemban misi: “STF-SP bertekad untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermutu bagi calon pewarta Injil agar mampu merefleksikan, menganalisis dan mengkomunikasikan iman dan cinta kepada budaya-budaya, agama-agama, masyarakat manusia, khususnya kaum miskin setempat. Dan sebagai konkretisasi visi dan misi di atas, maka STF-SP bertujuan “mendidik ilmuan yang memiliki kemampuan berfilsafat, berteologi dan berkateketik serta didukung oleh ilmu-ilmu lain untuk memahami realitas masyarakat serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kepemimpinan dan pelayanan umat”. Lagi, STF-SP bertujuan “membimbing tenaga pastoral yang memiliki wawasan kemanusiaan dan kemasyarakatan; mempunyai rasa keadilan dan perhatian pada masalah-masalah sosial, politik, ekonomi; memiliki wawasan ekologis dan kesadaran gender; memiliki perhatian pada alat komunikasi modern dan mampu mengintegrasikannya pada karya pastoralnya”.[171]
Sebagai satu Lembaga Pendidikan Tinggi Katolik yang coba mewujudnyatakan visi, misi dan tujuannya di atas, maka lembaga ini mengelola dua fakultas, yaitu fakultas filsafat dan fakultas teologi. Adanya fakultas teologi dalam lembaga ini kiranya sejalan dengan tuntutan Gereja sendiri.[172] Dalam Konstitusi Apostolik tentang Universitas Katolik, artikel 19, [almarhum] Paus Yohanes Paulus II menulis,
Teologi memainkan peran yang sangat penting di dalam pencarian suatu sistesis pengetahuan maupun di dalam dialog antara iman dan akal budi. Teologi melayani semua disiplin ilmu lainnya dalam pencarian makna, tidak hanya dengan membantu disiplin tersebut untuk menyelidiki bagaimana penemuannya akan mempengaruhi individu dan masyarakat, tetapi juga dengan membawa perspektif dan orientasi yang tidak terkandung dalam metodologi disiplin ilmu tersebut. Sebaliknya, interaksi teologi dengan disiplin ilmu lain dan penemuannya memperkaya teologi dengan memberikan pengertian yang lebih baik tentang dunia sekarang ini dan membuat penelitian teologis lebih relevan dengan kebutuhan sekarang ini. Karena pentingnya kedudukan teologi di antara disiplin akademik, setiap Universitas Katolik harus memiliki satu fakultas teologi atau sekurang-kurangnya ada mata kuliah teologi.[173]

Program studi teologi di STF-SP telah memenuhi tuntutan itu. Di dalamnya diajarkan sekian banyak mata kuliah atau vak-vak teologi. Tetapi persoalannya adalah apakah metode perkuliahan vak-vak teologi itu sesuai dengan tuntutan Gereja dan kebutuhan masyarakat dewasa ini? Fakta bahwa ada faklutas teologi dan vak-vak teologi yang diajarkan di dalamnya di Lembaga ini tidak dapat disangkal. Tetapi adalah perlu untuk dipikirkan metode yang sesuai dengan setiap vak teologi itu. Optatam Totius menegaskan, “[...] Oleh karena itu, hendaknya metode-metode pendidikan ditinjau kembali, baik mengenai kuliah-kuliah, wawancara dan latihan-latihan, maupun mengenai cara menggairahkan studi para seminaris, baik pribadi maupun dalam kelompok-kelompok kecil”.[174]

III.1.2. Tekanan Lebih Pada Metode Kuliah Mimbar
Yang hendak ditinjau di sini adalah sistem perkuliahan di STF-SP, terutama perkuliahan vak-vak teologinya. Sejauh pengalaman dan pengamatan saya, penyelenggaran perkuliahan di Lembaga ini lebih berorientasi pada metode kuliah mimbar (system oriented). Metode kuliah ini mendapatkan porsi yang sedemikian besar. Memang tak dapat disangkal bahwa ada mata kuliah tertentu menggunakan metode lain, yaitu metode penelitian. Dalam Portofolio Institusi STF-SP, 2001 tertulis demikian,
Batasan ruang lingkup penelitian dan pengabdian kepada masyarakat meliputi pengembangan bidang ilmu dan keahlian yang ditekuni, yang berarti menyangkut bidang-bidang yang menjadi spesialisasi utama dari STF-SP, yakni bidang Filsafat dan Teologi, maupun bidang-bidang lain yang juga didalami dalam perkuliahan di STF-SP. Penelitian dan pengabdian kepada masyarakat ini dimaksudkan untuk melatih keahlian dan ketrampilan para dosen dan mahasiswa dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan pengembangan kehidupan masyarakat [...]. Mata kuliah tertentu di STF-SP bahkan mewajibkan seluruh mahasiswa untuk mengadakan penelitian sebagai syarat mutlak.[175]

Jadi, sekali lagi, tak dapat disangkal bahwa mata kuliah tertentu di Lembaga ini menggunakan metode lain. Tetapi, secara umum kita masih terikat dengan cara pandang lama, yaitu kita tidak dapat membayangkan perguruan tinggi tanpa kuliah mimbar.[176]
Metode kuliah seperti ini memang memiliki keunggulan, yaitu menambah sebanyak mungkin informasi (pengetahuan secara teoretis) bagi mahasiswa dari begitu banyak mata kuliah yang diajarkan. Akan tetapi, metode ini juga memiliki kelemahan yang serius, yang kurang mendapatkan perhatian dari kita. Karena penekanan yang lebih pada metode kuliah mimbar, maka banyak dosen berlomba-lomba mengajarkan bahan yang begitu banyak. Padahal, atas cara yang demikian dan sambil mempertimbangkan relatif singkatnya waktu perkuliahan, rata-rata mahasiswa tak mampu mengolah bahan yang begitu banyak secara pribadi dan mendalam. Apalagi, semua bahan yang disajikan kurang didasarkan pada prinsip integrasi yang jelas. Para dosen sering kurang menunjukkan sangkut-paut kursusnya sendiri dengan apa yang dikuliahkan oleh rekan-rekannya yang lain. Hal ini tentu membuat mahasiswa sulit untuk membedakan antara yang kurang penting dan yang penting, mencapai suatu sintesis dan membentuk visi pribadi. Mahasiswa diandaikan saja mampu mengalihkan bahan pengetahuan yang mentah kepada praktek pastoral dan penghayatan pribadi. Pengalihan ini sebenarnya menyarankan pengolahan yang kreatif dan mendalam, dan sering ini melampaui kemampuan mahasiswa.[177]

III.1.3. Kurangnya Tekanan Pada Pengalaman Subyek Didik
Masih berkaitan dengan metode perkuliahan yang system oriented di atas, maka dampak langsung yang terasa adalah kurangnya penekanan pada pengalaman subyek didik (mahasiswa). Yang justru mendapatkan porsi terbesar dalam system oriented ini adalah para dosen. Karena metode ini memberi penekanan pada berapa banyak bahan yang diajarkan, bahan apa yang diajarkan dan siapa yang mengajarkan. Dengan kata lain, –sambil merujuk pada pandangan Lonergan– metode ini memberi penekanan yang lebih pada pembagian bahan (field specialization) atau keahlian (department and subject specialization) dan bukan pembagian langkah dalam proses studi (functional specialization).[178]
 Realitas studi di STF-SP, khususnya studi teologi, tidak terlepas dari persoalan ini. Penekanan yang lebih pada metode kuliah mimbar jelas kurang memberi ruang bagi pengalaman mahasiswa. Padahal, dalam upaya menuju studi teologi yang kontekstual, terutama dalam lembaga-lembaga pembinaan seperti ini, maka apapun metode perkuliahan yang digunakan sudah selayaknya pengalaman subjek didik (mahasiswa) mendapatkan tempatnya. Pengalaman itu tidak sekadar pengalaman mentah, tetapi pengalaman yang direfleksikan.
Mahasiswa perlu dibina dan dilatih untuk berefleksi sendiri atas pengalaman yang ditemukannya dalam praksis hidup masyarakat, mengadakan penilaian (diagnosa), menemukan langkah-langkah untuk menghadapi situasi itu; merefleksikan iman akan sabda Tuhan dalam situasi konkret, dan mencari amanatnya bagi umat dalam situasi itu. Refleksi teologis-ilmiah berpangkal pada pengalaman eksistensial mahasiswa sebagai individu dan anggota masyarakat serta kebudayaan modern.

III.1.4. Perubahan Kurikulum: Perubahan Secara Fisik dan Bukan Dalam Isinya
Sejauh pengalaman saya selama studi di STF-SP ini, rencana perubahan kurikulum telah didengung-dengungkan dan bahkan mulai dipraktekkan. Konkret praktisnya selama kurang lebih dua tahun terakhir telah dipraktekkan sistem SKS murni sebagai bagian dari perubahan kurikulum yang dicanangkan itu. Akan tetapi, sejauh pengamatan saya, perubahan kurikulum yang dimaksudkan lebih menitikberatkan pada perubahan fisik semata dan bukan pada tataran isi dari kurikulum itu sendiri. Maksud saya, kita masih berorientasi pada perubahan secara fisik seperti perubahan sistem SKS yang digunakan, penambahan jam kuliah dan perubahan kalender perkuliahan. Tetapi perubahan pada tataran isi seperti kontekstualisasi isi materi mata kuliah, metode perkuliahan dan lain-lain kurang mendapatkan perhatian yang serius. Sebab yang diharapkan bukan sekadar pergeseran atau perubahan jam kuliah, tetapi cara belajar dan mengajar teologi yang berbeda.[179]

III.2.   Sumbangan Metode Teologi Lonergan Bagi Usaha Kita Untuk Berteologi  Secara Kontekstual
Setelah melihat realitas studi teologi di STF-SP, maka muncul pertanyaan sekarang, unsur-unsur manakah dari metode teologi Lonergan yang dapat disumbangkan bagi studi teologi kita? Metode teologi Lonergan yang telah kita pelajari dalam bab dua tulisan ini kiranya memberi ruang bagi kita untuk mencari dan menemukan ide-ide segar yang membantu kita dalam usaha untuk berteologi secara kontekstual.

III.2.1.  Empat Pokok Bagi Studi Teologi Kita
Dari studi tentang metode teologi menurut Lonergan, maka saya mencoba untuk menarik beberapa unsur pokok yang kiranya berguna bagi studi teologi kita di STF-SP ini. Unsur-unsur ini kiranya menjadi bahan pertimbangan dan perhatian dalam sistem pendidikan teologis kita. Saya mengangkat tiga unsur pokok, yaitu: pengalaman, refleksi dan implikasi. Pengalaman, entah pribadi maupun komunal, refleksi atas pengalaman itu dan implikasinya dalam kehidupan bersama tentu memiliki basisnya dalam kebudayaan. Pada Lonergan, kebudayaan juga memainkan peranan yang besar. Maka patutlah kita menambahkan pada ketiga unsur di atas, unsur kebudayaan sebagai matriks dari refleksi teologis.
Dengan pengalaman tidak dimaksudkan hanya pengalaman mentah, tetapi pengolahan pengalaman itu sampai perumusan yang metodis. Refleksi teologis tidak terbatas pada refleksi atas pengalaman yang konkret saja, tetapi harus ditempatkan dalam tradisi Gereja. Akhirnya dalam fase terakhir ditinjau lagi pengalaman, dan dalam terang refleksi teologis ditarik beberapa kesimpulan praktis.


III.2.1.1. Tekanan Pada Pengalaman
Dalam metode berteologi Lonergan, pengalaman mahasiswa sebagai subjek yang berteologi mendapatkan tempat yang penting. Pengalaman itu bukanlah pengalaman yang mentah, tetapi pengalaman yang diolah melalui refleksi teologis. Pengalaman yang direfleksikan itu disebutnya sebagai pengalaman iman. Karena itu, bagi Lonergan, dasar dari teologi adalah pengalaman iman sendiri, tetapi juga pengalaman iman yang disaksikan dalam diri orang lain.[180]
Karena pengalaman dijadikan dasar dan titik pangkal refleksi teologis, maka situasi di mana mahasiswa akan mendapat pengalamannya harus dipilih dengan saksama, sesuai dengan arah seluruh pendidikan teologis. Dan karena pendidikan teologis secara principal terarah pada tujuan pastoral, maka pengalaman itu juga harus berupa pengalaman pastoral. Hal itu tidak sama dengan pengalaman “sebagai pastor”. Dengan pengalaman pastoral dimaksudkan partisipasi dalam komunikasi sosio-religius dengan tujuan komunikasi iman. Hal itu berarti partisipasi dalam dialog dan interaksi sebagai jalan komunikasi dalam masyarakat. Kita tidak cukup mengetahui hubungan dan komunikasi yang ada di dalam masyarakat. Karena itu, kita harus mengambil bagian di dalamnya untuk dapat menghayatinya dari dalam. Hanya dengan penghayatan dari dalam memungkinkan kita melihat relasi-relasi itu sebagai wadah komunikasi iman. Maka harus dihayati dari dalam. Artinya: penghayatan iman bukanlah suatu pengalaman yang “ditambahkan” pada pengalaman dalam masyarakat, melainkan adalah satu dimensi khusus pengalaman yang sama. Maka titik pangkal eksperiensal untuk berteologi harus cukup kaya, sehingga baik pengalaman sosial maupun pengalaman iman tercakup di dalamnya.[181]
Dalam perkembangan selanjutnya pengalaman itu harus dianalisa dengan pelbagai cara. Dengan pendekatan yang berbeda-beda harus disadari arti yang sesungguhnya dari pengalaman itu. Tetapi supaya dengan analisa dan refleksi itu kekayaan pengalaman dapat digali, maka perlulah bahwa pengalaman itu dari semula sungguh kaya dan penuh nilai-nilai yang sungguh manusiawi. Dari pengalaman yang terlalu terbatas dan sangat miskin tidak mungkin dikembangkan suatu refleksi teologis yang kaya.[182]

III.2.1.2. Refleksi
Sekali lagi, salah satu unsur yang paling menonjol dalam metode teologi Lonergan adalah refleksi pribadi.[183] Oleh sebab itu, di samping pengalaman perlu juga refleksi sendiri, yang harus dijalankan secara ilmiah menurut suatu metode yang khas.[184] Mahasiswa, sebagai subjek yang berteologi, dituntut untuk melakukan refleksi teologis atas praksis pengalamannya sendiri maupun pengalaman iman orang lain.
Teologi adalah refleksi atas iman pribadi dalam konteks tradisi. Oleh karena itu, objek refleksi ini bukan hanya pengalaman pastoral sendiri, melainkan pengalaman seluruh Gereja. Dalam usaha kita untuk berteologi secara kontekstual, maka refleksi itu berarti refleksi atas pengalaman sendiri dengan pengalaman Gereja dalam seluruh sejarahnya.[185] Maka bagian kedua ini terdiri dari dua langkah: refleksi atas pengalaman sendiri dan konsientasi pengalaman itu dalam konteks tradisi. Dua langkah ini berakar juga dalam kebudayaan.

III.2.1.2.1. Refleksi Atas Pengalaman Pribadi[186]
Dalam refleksi atas pengalaman pribadi dicari nilai iman dari pengalaman itu. Atau dengan kata lain, pengalaman itu direfleksikan menurut segi teologisnya. Dengan refleksi iman ini mulailah teologi. Mungkin belum secara metodis-sistematis, tetapi sejauh dengan sadar dilakukan suatu refleksi iman. Kiranya di sini terletak titik pokok seluruh usaha kita untuk berteologi secara kontekstual. Mahasiswa harus mengeksplisitkan dimensi iman dari pengalamannya sendiri. Dengan melihat dimensi iman, ditemukan dimensi teologis yang khusus. Hanya karena refleksi iman ini teologi benar-benar menjadi teologi dan bukan hanya ilmu agama. Memang tak dapat dipungkiri bahwa titik ini paling rawan. Bukan hanya karena mahasiswa harus melibatkan pengalaman religiusnya sendiri, tetapi terutama karena refleksi ini sesungguhnya merupakan refleksi eksistensial yang harus dilakukan oleh mahasiswa sendiri.
Seringkali di sini dibutuhkan bimbingan, yang bukan hanya bimbingan ilmiah saja. Di sini peran dosen sebagai tutor juga diperlukan. Tugasnya adalah membimbing mahasiswa dalam proses refleksi ini, khususnya sejauh menyangkut iman dan hidup rohaninya sendiri. Dalam fase ini kelihatan bahwa dengan mendasarkan refleksi teologis atas pengalaman pribadi, teologi menggali lebih mendalam daripada pengetahuan intelektual saja.

III.2.1.2.2. Konsientisasi Teologis[187]
Refleksi iman sungguh merupakan titik peralihan dalam usaha kita untuk berteologi secara kontekstual: dari satu pihak mengakhiri fase pengalaman dan sekaligus membuka konsientisasi teologis. Dengan konsientisasi teologis refleksi diteruskan. Tetapi sekarang iman direfleksikan dalam konteks tradisi. Iman pribadi ditempatkan dalam konteks sejarah pewahyuan yang berpusat pada Kristus.[188]
Dengan “tradisi” dimaksudkan pengalaman iman seluruh Gereja, mulai dengan Gereja purba (malahan mulai dengan pengalaman iman bangsa Israel) sampai dengan pengalaman iman Gereja sekarang. Tradisi itu tidak sama dengan rumus-rumus pengungkapan iman. Memang tradisi hanya dapat didekati melalui ungkapan, tetapi rumus-rumus selalu harus dilihat sebagai pengungkapan dari iman yang hidup. Rumusan dari masa yang lampau terikat pada situasi dan kondisi zaman itu. Oleh karena itu, kita perlu menafsirkan dan merumuskan kembali pengungkapan iman dari generasi yang mendahului. Namun pada pokoknya harus diterima bahwa iman yang diungkapkan dahulu sama dengan iman Gereja sekarang, karena Roh yang menggerakkan Gereja dari semula tetap menghidupkan Gereja sampai sekarang.[189]
Yang sangat perlu dalam refleksi teologis adalah kesadaran mengenai keanekaragaman pengungkapan iman dalam tradisi. Keanekaragaman itu sudah terdapat dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Kristologi Yohanes, misalnya, berbeda dengan kristologi Paulus atau sinopsis. Tetapi keanekaragaman itu tidak hanya ada dalam rumusan iman orang sezaman. Secara historis ada perbedaan rumusan yang besar menurut perkembangan masyarakat atau kebiasaan kebudayaan. Tidak dapat dikatakan bahwa perkembangan Gereja dan perkembangan sejarah Gereja adalah perkembangan sejarah yang lurus. Perkembangan dogmatis tidak berarti penyadaran dan pemahaman dogma kristiani yang semakin sempurna. Memang dogma diteruskan, dan semakin dipahami dan dimengerti, namun pemahaman itu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pada saat itu hidup dalam Gereja dan masyarakat. Maka perumusan yang berbeda-beda tidak selalu berarti perkembangan ke arah pemahaman yang semakin jelas. Dalam perkembangan dogma dilihat bagaimana kekayaan iman kristiani mengungkapkan diri dalam situasi dan kondisi yang berbeda-beda.[190] Oleh sebab itu, rumusan tradisi merupakan tantangan dan konfrontasi bagi proses penyadaran dan pengungkapan iman Gereja sekarang. Apa yang ditemukan dalam tradisi bukanlah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sekarang, melainkan model-model yang mengarahkan dan membantu kesadaran dan perumusan iman umat sekarang.
Dalam tradisi, dan dalam pluriformitas perumusan tradisi, tidak hanya terungkapkan sabda Allah, tetapi juga kata-kata manusia.[191] Maka Gereja tidak cukup mengikuti arus sejarahnya sendiri; kadang-kadang harus melawan arus itu. Demikian juga teologi harus benar-benar menggali perkembangan iman yang ada di bawah ungkapan dan ekspresinya, dan berusaha mempertemukan pengalaman iman angkatan yang mendahului dengan pengalaman iman sekarang. Tujuan refleksi bukanlah pengetahuan kesadaran dan pengungkapan iman zaman dahulu, melainkan menyadari –konsientisasi– iman Gereja sekarang, dalam konfrontasi dengan pengungkapan iman Gereja dahulu. Untuk refleksi teologis ini tidak perlu mengetahui seluruh latar belakang sejarah dan kebudayaan dari setiap pengungkapan iman Gereja. Yang perlu hanyalah mengenal perkembangan iman Gereja; sadar bahwa iman Gereja tidak selalu dirumuskan atau diungkapkan dengan cara yang sama. Sadar pula bahwa kebudayaan mempunyai pengaruh yang besar atas pengungkapan iman Gereja.

III.2.1.3. Kebudayaan[192]
Iman tidak hanya mengungkapkan diri dengan istilah atau perumusan dari tradisi kristiani. Kategori-kategori yang hidup dalam masyarakat juga sama pentingnya. Kategori pemikiran itu untuk sebagian besar berasal dari tradisi kebudayaan, tetapi untuk sebagian besar pula dibentuk dan dirumuskan secara baru. Tetapi kita juga tidak cukup membatasi diri pada kategori-kategori pemikiran, kategori-kategori hidup sosial dan politik juga perlu dipelajari secukupnya. Sebab pengalaman iman tidak hanya ditentukan oleh pikiran dan pandangan, tetapi terutama oleh struktur kehidupan yang mengarahkan dan menentukan bentuk kehidupan yang konkret. Yang harus mendapat perhatian yang istimewa dari kita adalah tradisi keagamaan yang terdapat dalam lingkungan kebudayaan itu. Di sini tentu muncul persoalan mengenai perbedaan antara tradisi keagamaan sebagaimana ada dalam lingkup kebudayaan tertentu dan tradisi keagamaan kristiani. Namun sejauh dalam agama-agama bukan kristiani terungkapkan pengalaman manusia yang umum, maka tidak dapat disangkal adanya hubungan antara pengalaman iman kristiani dengan pengalaman keagamaan dalam kebudayaan sekeliling. Menurut Lonergan, dalam situasi seperti ini teologi memainkan perannya sebagai mediasi antara suatu matrix kultural dan signifikansi serta peranan dari suatu agama dalam matrixnya itu.[193]
Kesadaran Konsili Vatikan II bahwa “mereka yang belum menerima Injil juga diarahkan kepada umat Allah dengan berbagai alasan” (LG, no.16), merupakan alasan pokok dan utama untuk menempatkan pengalaman iman bukan hanya dalam konteks tradisi kristiani, tetapi juga dalam konteks kebudayaan setempat. Karena kesatuan yang fundamental ini bolehlah diterima bahwa kebudayaan sekeliling tidak hanya mempengaruhi pengungkapan dan perumusan pengalaman iman, melainkan langsung mengena pada pengalaman iman itu sendiri.[194] Pengalaman iman kristiani sebagai pengalaman iman yang otentik tidak dapat dilepaskan dari lingkungan hidup di mana pengalaman itu terjadi. Malahan dapat diharapkan bahwa dalam pertemuan dengan tradisi keagamaan bukan kristiani dalam lingkup kebudayaan yang sama, kesadaran pengalaman iman kristiani sendiri dan juga arti dari pengalaman itu menjadi lebih nyata. Lonergan malah menempatkan hal ini lebih jauh. Menurutnya, antara kebudayan dan teologi sebagai refleksi atas pengalaman iman saling memberi sumbangan timbal balik. Lonergan menulis,
Tidak hanya konteks kultural mempengaruhi teologi [...], tetapi teologi juga terpanggil untuk mempengaruhi konteks kultural, untuk menerjemahkan sabda Tuhan [dalam konteks kebudayaan itu] dan dengan demikian memproyeksikannya ke dalam mentalitas baru dan situasi baru. Sehingga sebuah teologi Katolik menjadi tidak hanya Katolik tetapi juga ekumenis.[195]

Namun tetap ada perbedaan antara pengalaman iman kristiani dan pengalaman keagamaan yang bukan kristiani. Dan perbedaan itu perlu disadari. Tidak dapat dikatakan bahwa pengalaman iman kristiani, sebagai pengalaman eksistensial, pada pokoknya sama dengan segala pengalaman keagamaan yang lain.[196] Akan tetapi, kendati segala perbedaan yang ada perlu disadari, tidak boleh dikaburkan dan disangkal pula pengalaman umum yang berarti pengalaman hidup. Tanpa pengalaman yang umum pengalaman iman kristiani tidak pernah dapat menjadi pengalaman iman yang eksistensial. Refleksi atas kebudayaan harus dapat menolong orang untuk memahami pengalaman kristiani menurut segi eksistensialnya. Refleksi tersebut tidak dimaksudkan untuk mencapai suatu pengertian yang mendalam mengenai sejarah dan latar belakang kebudayaan setempat, melainkan untuk membantu pemahaman pengalaman iman.[197]
Secara metodis masih harus ditambahkan satu hal. Dalam rangka pendidikan teologis, informasi mengenai tradisi kristiani tidak hanya diberikan dalam pendidikan itu. Diandaikan bahwa informasi juga dikumpulkan dari matakuliah atau studi yang lain. Khususnya diandaikan sumbangan dari ilmu tafsir, sejarah Gereja, dan segala macam introduksi umum yang telah diberikan. Begitu juga untuk unsur kebudayaan tidak segala informasi diberikan dalam rangka pendidikan dan latihan teologis ini. Pokok perhatian dalam rangka studi ini adalah pengalaman iman. Segala informasi, baik mengenai tradisi maupun mengenai kebudayaan, dimaksudkan sebagai “konteks” dari pengalaman itu. Dan dalam rangka refleksi teologis titik berat ada pada informasi yang teologis, bukan pada informasi sosiologis atau kebudayaan. Hal itu tidak berarti bahwa informasi mengenai kebudayaan kurang penting. Tetapi dalam rangka pendidikan teologis tentu saja titik berat jatuh pada bidang teologis.

III.2.1.4. Implikasi
Sesudah konfrontasi dengan tradisi kristiani dan situasi kebudayaan, maka refleksi dialihkan kembali kepada pengalaman konkret. Di sini penekanan diberikan kepada komunikasi iman. Konsili Vatikan II dalam konstitusi Dei Verbum (a.5.) menekankan bahwa iman adalah penyerahan pribadi kepada Tuhan.[198] Iman terutama dilihat sebagai sikap hidup. Tentu saja sebelum konsili tidak disangkal bahwa iman adalah penyerahan, dan sesudah konsili tetap diterima bahwa iman mempunyai isi. Akan tetapi tekanan digeserkan. Dan berhubung dengan pembinaan iman hal itu berarti bahwa tekanan tidak lagi pada ajaran, melainkan pada penerimaan ajaran itu. Pembinaan iman dilihat terutama sebagai bimbingan kaum beriman dalam menerima dan menanggapi wahyu Tuhan. Di sini mahasiswa diarahkan terutama pada penghayatan iman atau pada segi eksistensial iman.[199] Sebab wahyu Tuhan harus diwartakan dan diajarkan sedemikian rupa sehingga benar-benar kena pada situasi hidup orang yang mendengarkannya. Oleh karena itu, dalam konteks usaha kita untuk berteologi secara kontekstual, maka segala perhatian kita ada pada situasi hidup itu.
Pada fase ini, iman yang dieksplisitkan dari pengalaman dan yang kemudian direfleksikan dalam konfrontasi dengan tradisi dan kebudayaan, sekarang dirumuskan lagi sesuai dengan situasi pengalaman dari titik pangkal. Jadi kita bergerak dari eksplitasi kepada implikasi. Usaha ini merupakan suatu gerakan dari pengalaman kepada eksplitasi iman, dan dari eksplitasi iman kembali kepada pengalaman. Tetapi sekarang pengalaman itu tidak sekadar dipahami, tetapi dihidupkan berdasarkan pengertian yang lebih mendalam. Apa yang dalam refleksi dan konsientisasi teologis diungkapkan secara teologis, sekarang dicari pengungkapannya yang sesuai dengan situasi dan kondisi pengalaman itu sendiri. Secara konkret hal itu berarti bahwa kita mencari pengungkapan yang sesuai dengan situasi umat di mana kita memperoleh pengalaman iman yang menjadi titik tolak kita untuk berteologi.[200]

III.2.2. Belajar dari Studi Tentang Metode Teologi Lonergan
III.2.2.1. Pentingnya Pendidikan Metode
Adalah tidak mudah untuk mengadopsi seluruh spesialitas fungsional yang ditawarkan oleh Lonergan ini ke dalam kurikulum teologi kita. Hal ini nampak dari kritik-kritik yang dilontarkan lawan-lawannya maupun pengikutnya kepadanya.[201] Carl J. Peter, seorang murid Lonergan, dalam tulisannya, A Word on Behalf of Method in Theology, menggarisbawahi kesulitan itu. Menurutnya, sekolah dan fakultas-fakultas teologi tidak mungkin menerapkan seluruh spesialitas fungsional itu dalam program atau kurikulum teologinya.[202] Akan tetapi, Peter menambahkan bahwa spesialitas fungsional yang ditawarkan oleh Lonergan ini bisa dijadikan sebagai pola dasar (basic pattern) dalam melakukan studi-studi teologis yang kontekstual.[203]
Yang ditekankan di sini bukanlah pengadopsian seluruh spesialitas fungsional dalam metode teologi Lonergan ke dalam seluruh kurikulum kita. Kalau terjadi demikian, menurut Peter, hal itu lebih baik.[204] Tetapi, mengingat kesulitan-kesulitan yang ada, maka sambil belajar dari metode teologi Lonergan, kita diajak untuk menaruh perhatian pada pentingnya pendidikan metode dan pendampingannya bagi mahasiswa dalam melakukan studi teologisnya. Pembaharuan kurikulum sebenarnya tidak terdapat dalam perubahan bahan kuliah, penambahan jam kuliah, penambahan vak-vak kuliah, melainkan perubahan dalam tujuan pendidikan. Tujuan itu bukan hanya soal pengasimilasian bahan, melainkan latihan metode.[205] Justru pendidikan metode ini, dalam hubungan dengan pengalaman dan refleksi pribadi, merupakan ciri khas dari pendidikan teologis yang baru.
Metode, dalam pemahaman Lonergan, bukanlah seperangkat aturan yang harus diikuti dengan sangat cermat oleh seorang dungu. Bagi Lonergan, metode merupakan suatu framework bagi kreativitas kolaboratif.[206] Lonergan juga melihat metode lebih sebagai suatu seni daripada sebagai suatu ilmu. Sebab metode tidak dipelajari dari buku-buku atau bacaan-bacaan, tetapi dalam laboratorium atau dalam seminar.[207] Dalam arti ini metode mengandaikan adanya suatu keterlibatan aktif dan langsung dari subjek pelaku. Cara berpikir seperti ini, bagi Lonergan, merupakan suatu cara berpikir yang asali dari seluruh pemikiran tentang metode.[208] Di sisi lain, Lonergan melihat metode juga sebagai pola normatif dari penjabaran yang berulang dan berhubungan yang memberikan hasil kumulatif dan progresif.[209]
Pemahaman seperti ini membantu kita untuk menciptakan suatu pendidikan metode dalam studi teologi kita. Dengan memberi penekanan pada pendidikan metode, kita telah mengarahkan diri menuju pada studi teologi yang lebih kontekstual; studi teologi yang menyentuh pada praksis.

III.2.2.2. Peran Dosen dan Mahasiswa
Pendidikan metode yang dimaksudkan di atas membawa dampak langsung pada sistem perkuliahan. Konsekuensi logisnya adalah kita tidak lagi terpaku mati pada pola pikir lama, yaitu kita tidak dapat membayangkan perguruan tinggi tanpa kuliah mimbar. Dengan memberi penekanan pada pendidikan metode, cara pandang lama –kalau tidak dapat digeser– setidak-tidaknya semakin diperkaya.
Kalau kita mempelajari dengan cermat metode teologi yang ditawarkan Lonergan, maka dapatlah disimpulkan bahwa metode Lonergan bukanlah pembagian bahan (field specialization) atau keahlian (department and subject specialization), melainkan pembagian langkah dalam proses studi.[210] Konkret praktisnya, Lonergan melihat metode teologis dari sudut mahasiswa dan bukan dari sudut dosen. Kalau dalam sistem kuliah mimbar dosen yang diberikan keleluasaan, maka dalam pendidikan metode mahasiswalah yang diberikan keleluasaan. Para dosen dalam hal ini berfungsi sebagai tutor. Dosen menuntun, mendorong dan membimbing mahasiswa dalam proses studinya. Sedangkan dari pihak mahasiswa sendiri diharapkan suatu keterlibatan aktif sebagai subjek yang berteologi.[211]

III.4. Kesimpulan
Dalam bab ini kita telah melihat realitas studi teologi di STF-SP sejauh yang kita alami bersama. Dengan belajar melihat realitas itu, kita mengangkat ke permukaan unsur-unsur yang masih kurang atau yang belum diberi penekanan dalam pendidikan teologis kita. Selanjutnya kita juga telah mengangkat ke permukaan beberapa unsur pokok dari studi tentang metode teologi Lonergan sebagai sumbangan untuk memperkaya studi kita. Beberapa unsur itu antara lain: tekanan pada pengalaman mahasiswa, refleksi (atas pengalaman pribadi dan konsientisasi teologis), unsur kebudayaan sebagai sumber pengalaman dan refleksi serta implikasi refleksi teologis itu dalam praksis hidup. Inspirasi lain yang juga ditimba dari metode Lonergan adalah pentingnya pendidikan metode dan peranan dosen dan mahasiswa dalam bingkai pendidikan metode itu. Tujuan dari semua itu adalah sebagai sumbangan pemikiran untuk memperkaya studi teologi di STF-SP ini. Belajar dari kekurangan yang ada dan sambil menimba inspirasi dari tokoh sentral yang dikemukakan dalam tulisan ini, kita termotivasi untuk bergerak menuju suatu studi teologi yang lebih kontekstual.






PENUTUP


Lonergan memandang teologi sebagai mediasi antara suatu matrix kultural dan pengaruh agama dalam matrix itu.[212] Sebagai mediasi, teologi dibawa ke dalam suatu kultur partikular dan kemudian berada di bawah pengaruhnya. Tetapi, tentu saja dengan suatu usaha intelektual. Tetapi teologi tetap memiliki otonomi. Dalam konteks kultur itu, teologi dilihat sebagai upaya untuk memahami misteri iman kristiani; pengetahuan tentangnya, objektivasi terhadap pengetahuan itu, dan pengaruhnya bagi seluruh kebudayaan pada dirinya.[213] Dengan kata lain, antara teologi dan kultur terjadi suatu komunikasi yang dialektis dan mutual. Di satu pihak, teologi merupakan refleksi iman dalam konteks kultural dan di lain pihak, buah-buah refleksi teologi turut mempengaruhi kultur dan mengembangkannya.
Tetapi, bagaimana peranan teologi sebagai mediasi ini dapat terjadi? Sudah sejak lama sebenarnya Lonergan merindukan suatu pembaharuan dalam teologi dengan menerapkan suatu kerangka metodis yang dapat memungkinkan setiap orang untuk berteologi secara kontekstual. Tulisan-tulisannya dalam arti tertentu diarahkan untuk mewujudkan kerinduannya ini. Mulai dari eksplorasinya terhadap pemikiran Thomas Aquinas sampai memuncak dalam Method in Theologi-nya. Kerinduannya ini juga didasarkan pada situasi perubahan baik di bidang moral, intelektual dan religius pasca Konsili Vatikan II. Di samping itu, kerinduan ini juga didasari atas keyakinannya bahwa manusia memiliki kesadaran intensional yang memungkinkannya untuk mampu memahami dunianya.
Perkembangan teologi yang pluralis dan fragmentaris pasca Konsili Vatikan II semakin mempertebal keyakinan dan kerinduannya itu. Lonergan, seperti kebanyakan teolog Katolik lainnya, merasa bahwa teologi Katolik membutuhan suatu pembaruan besar-besaran. Pembaruan yang tidak meninggalkan tradisi, tetapi sambil berpegang pada tradisi, membawa tradisi itu ke dalam situasi dan konteks baru dengan mengikuti mode-mode kontemporer. Dalam konteks ini, menurutnya, tugas seorang teolog adalah membawa perkataan-perkataan Yesus pada masa lampau ke dalam konteks dunia saat ini, mengkonfrontasikannya dengan situasi sekarang dan mengarahkannya menuju masa depan.[214] Dan untuk mewujudkan tugas ini kita membutuhkan suatu perangkat metodis baru. Yang ia maksudkan adalah suatu metode dalam berteologi.
Menurut Lonergan, metode adalah suatu pola normatif yang berulang dan yang dihubungkan dengan cara kerja yang mengakibatkan hasil-hasil kumulatif dan progresif. Semua cara kerja itu tercakup dalam apa yang disebutnya metode transendental. Bagi Lonergan, metode transendental merupakan general method, yang padanya metode-metode lain mengambil bagian. Lonergan melihat metode sebagai suatu seni, suatu framework dalam berteologi. Karena itu, yang dituntut dari subjek pelaku adalah suatu bentuk keterlibatan langsung dan aktif. Sebab yang menjadi basis dalam refleksinya adalah pengalaman sendiri dan dalam kaitan dengan pengalaman orang lain.
Kekhususan metode berteologi Lonergan adalah apa yang disebutnya functional specialties. Ia membagi metode teologinya ke dalam delapan spesialitas fungsional, yang tiap-tiap merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Kedelapan spesialitas fungsional itu antara lain: research, interpretation, history, dialectic, foundations, doctrines, systematics dan communications. Secara singkat, kedelapan spesialitas itu dapat dijelaskan sebagai berikut. Seorang subjek yang berteologi akan memulai dengan mengumpulkan bahan (research), kemudian bahan itu dipahami (interpretation) dan diurutkan secara historis (history) tanpa mengecualikan pertentangan-pertentangan (dialectic). Selanjutnya ia dituntut untuk mengambil sikap terhadap pertentangan dan perbedaan itu serta merefleksikan iman kristianinya dalam konteks itu (foundations). Refleksi atas iman pribadi ini tetap berada dalam relasinya dengan iman orang lain dan langsung ditempatkan dalam konteks iman Gereja dalam tradisi. Ia juga diharapkan mengambil alih ajaran Gereja itu dan merumuskan pengungkapan imannya sendiri (doctrines) serta menyusunnnya dalam suatu sistem (systematics). Sampai pada titik ini ia baru bergerak dari praksis ke teori. Karena itu, ia diharapkan untuk kembali mengkomunikasikan pengungkapan imannya itu kepada masyarakat manusia (communications). Dengan demikian, buah-buah refleksi teologisnya akan mengakar dalam kehidupan nyata.
Lalu, unsur-unsur inspirasif manakah yang dapat kita tarik untuk memperkaya studi teologis kita? Di atas –juga dalam bab-bab sebelumnya– kita telah berusaha untuk membuat review singkat atas pemikiran Lonergan tentang metode dalam berteologi. Usaha ini menghantar kita pada suatu kesadaran bahwa untuk sampai pada suatu bentuk teologi yang kontekstual, kita harus membuat pembaharuan dalam cara berteologi, terutama metode dalam studi teologis kita. Carl J. Peter mengatakan bahwa dalam keterbatasan tetapi sangat krusial, bahan pendidikan teologis yang mempercepat perubahan kurikulum merupakan suatu fenomen yang sulit diabaikan. Kehadiran Lonergan dengan metode berteologinya ini tidak mempersembahkan suatu blue-print bagi perubahan-perubahan yang telah dibuat sebelumnya. Tetapi metode Lonergan ini dapat dipandang sebagai bentuk koreksi terhadap perubahan yang kita inginkan. Delapan spesialitas fungsional merupakan suatu kebutuhan –walaupun disadari sulit dalam penerapannya– dalam studi-studi teologis kita.[215]
Kita telah membahas Lonergan dan pemikirannya tentang metode berteologi. Kita juga telah berupaya menarik unsur-unsur inspiratif dari metodenya untuk memperkaya studi teologis kita. Semoga perubahan yang kita inginkan bersama dapat terwujud dalam studi teologis di STF-Seminari Pineleng ini.




KEPUSTAKAAN




Buku-buku:

Davies, Brian.               The Thought of Thomas Aquinas. Oxford: Clarendon Press, 1993.

Dawson, Christopher. The Age of Gods, A Study in the Origins of Culture in Prehistoric Europe and the Ancient East. London & New York: Sheed & Ward, 1933.

Lonergan, B. J. F.         A Second Collection. Edited by F. J. Ryan & Bernard J. Tyrrel. Philadelphia: Westminster Press, 1974.
______________.       A Third Collection. Edited by F. J. Ryan & Bernard J. Tyrrel. New York: Paulist Press, 1985.

______________.       Method in Theology. New York: Herder and Herder, 1972.

McShane, Ph (ed.).      Foundations of Theology. New York: Gill & Macmillan, 1971.

Newman, John Henry. Grammar of Assent. Garden City, New York: Doubleday & Company, Inc., 1955.

Stumpf, Samuel E.        Philosophy: History and Problems., 3th edition. New York: McGraw-Hill Book Company, 1983.


Artikel:

Arndt, Stephen Wentworth. “The Justification of Lonergan’s Cognitial and Volitional Process.” Dalam American Catholic Philosophical Quarterly 65/1 (Winter 1991), hlm. 45-61.

Artanto, Widi.              Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1997.

Bahnsen, Greg.             “Review of Method in Theology.” Dalam The Westminster Theological Journal 36/1 (Philadelphia: Covenant Media Foundation, Fall 1973), [tanpa halaman].

Baur, Michael.              “Kant, Lonergan, and Fichte on the Critique of Immediacy and the Epistemology of Constraint in Human Knowing.” Dalam International Philosophical Quarterly 43/1 (March 2003), hlm. 91-112.

Boyle, John J.               “Lonergan’s Method in Theology and Objectivity in Moral Theology.” Dalam The Thomist 37/3 (July 1973), hlm. 589-590.

Byrne, Patrick H.          “Lonergan’s Retrieval of Aristotelian Form.” Dalam American Catholic Philosophical Quarterly 76/3 (Summer 2002), hlm. 371-392.

_____________.         “The Thomist Sources of Lonergan’s Dynamic World-View.” Dalam The Thomist 46/1 (January 1982), hlm. 108-145.

_____________.         “The Fabric of Lonergan’s Thought.” Dalam Frederick Lawrence (ed.). Lonergan Workshop V. Atlanta: Scholars Press, 1986.

Crowe, Frederick E.     “The Puzzle of the Subject as Subject in Lonergan.” Dalam International Philosophical Quarterly 43/2 (June 2003), hlm. 187-205.

Donovan, Mary Ann.    “The Vocation of Theologian.” Dalam Theological Studies 65/1 (March 2004), hlm. 3-22.

Drilling, P. J.                 “Experience in Lonergan’s Theological Methodology.” Dalam Sc et Esprit 31 (1979), hlm. 303-321.

Eicher, Peter.                “Pluralism and the Dignity of Theology.” Dalam Concilium 171/1 (1984), hlm. 3-12.

Fay, Cornelius Ryan. “Fr. Lonergan and the Participation School.” Dalam The New Scholasticism, XXXIV [1960], hlm. 461-487.

Geffré, Claude, Gustavo Gutiérrez & Virgil Elizondo. “Editorial.” Dalam Concilium 171/1 (1984), hlm. ix-xii.

Hodes, Greg P.            “Intentional Structure and the Identity Theory of Knowledge in Bernard Lonergan: A Problem With Rational Self Appropriation.” Dalam International Philosophical Quarterly 42/4 (June 2003), hlm. 437-452.

Jacobs, Tom.                “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi.” Dalam Orientasi: Pustaka Filsafat dan Teologi 12 (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 50-90.

Johann, Robert O.        “Lonergan and Dewey on Judgment.” Dalam International Philosophical Quarterly 11/4 (December 1971), hlm. 461-474.

Keefe, Donald J.          “A Methodological Critique of Lonergan’s Theological Method.” Dalam The Thomist 50/1 (January 1986), hlm. 28-65.

Kelly, Anthony J.          “Is Lonergan’s Method Adequate to Christian Mystery?” Dalam The Thomist 39/3 (July 1975), hlm. 437-470.

Kidder, Paul.                “Lonergan’s Negative Dialectic.” Dalam International Philosophical Quarterly 30/3 (September 1990), hlm. 299-309.

Lawrence, Frederick.   “Gadamer and Lonergan: A Dialectical Comparison.” Dalam International Philosophical Quarterly 20/1 (March 1980), hlm. 25-47.

MacKinnon, Edward.   “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan S. J.” Dalam The Thomist 28/2 (April 1964), hlm. 97-132.

McCool, Gerald A.      “History, Insight and Judgment in Thomism.” Dalam International Philosophical Quarterly 27/3 (September 1987), hlm. 299-313.

McKinney, Ronald.      “The Hermeneutical Theory of Bernard Lonergan.” Dalam International Philosophical Quarterly 23/3 (September 1983), hlm. 277-290.

_______________.     “Lonergan’s Notions of Dialectic.” Dalam The Thomist 46/2 (April 1962), hlm. 221-241.

Merrigan, Terrence.      “Imagination and Religious Commitment in the Pluralist Theology of Religious.” Dalam Louvain Studies 27/3 (Fall 2002), hlm. 197-217.

Moloney, Raymond.     “Rahner and Lonergan on Spirituality.” Dalam Louvain Studies 28/4 (Winter 2003), hlm. 295-310.

Ohoitmur, J. “Sejarah Filsafat Barat Modern.” (Traktat Kuliah Mahasiswa Semester VI STF-SP, Pineleng 2001), hlm. 98-99.

Ormerod, Neil.             “Augustine’s De Trinitate and Lonergan’s Realms of Meaning.” Dalam Theological Studies 64/4 (December 2003), hlm. 773-794.

Peter, Carl J.                “A Word on Behalf of Method in Theology.” Dalam The Thomist 37/3 (July 1973), hlm. 602-610.
Rixon, Gordon.             “Derrida and Lonergan on Human Development.” Dalam American Catholic Philosophical Quarterly 76/2 (Spring 2002), hlm. 221-236.

Ryan, William F. J.       “Intentionality in Edmund Husserl and Bernard Lonergan”. Dalam International Philosophical Quarterly 13/2 (June 1973), hlm. 173-190.

Sauter, G.                     “How Can Theology Derive From Experience?.” Dalam Choan Seng Song (ed.). Doing Theology Today. (Christian Literature Society, 1976), hlm. 70-89.

Skrenes, Carol.            “Lonergan’s Metaphysics: Ontological Implication of Insight-as-Event”. Dalam International Philosophical Quarterly 24/4 (December 1984), hlm. 407-425.

Slusser, Michael.          “Tradition and the Doing of Theology.” Dalam Louvain Studies 9/2 (Fall 1982), hlm. 111-115.

Tekippe, T. J. & Louis Roy. “Lonergan and the Fourth Level of Intentionality.” Dalam American Catholic Philosophical Quarterly 70/2 (Spring 1996), hlm. 225-242.

Walsh, Jerome T.         “Being Theologians in a Paradigm-Shift.” Dalam Louvain Studies 9/2 (Fall 1982), hlm. 116-120.


Kamus/Ensiklopedi:

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996.

Heuken, A. Ensiklopedi Gereja. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Crowe, Frederick E.     “Lonergan, Bernard.” Dalam The Encyclopedia of Religion 9. Edited by Mircea Eliade (ed. in chief). New York: Macmillan Publishing Company, 1987.

O’Collins, Gerald & Edward G. Farrugia. Kamus Teologi. Terjemahan I. Suharyo. Yogyakarta: Kanisius, 1996.

Riberu, Max Diaz. “Pembebasan, Teologi.” Ensiklopedi Nasional Indonesia 12. Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990.


Dokumen-dokumen Gereja:

Yohanes Paulus II, Paus. Konstitusi Apostolik tentang Universitas Katolik. Alih bahasa oleh Y. E. Budiyana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, November 1992.

Optatam Totius.            “Dekrit tentang Pembinaan Imam.” Dalam Konsili Vatikan II. Diterjemahkan oleh R. Hardawiryana. Jakarta: Obor, 1993.


Website:


“Bernard Lonergan (1904-1984).” Dalam http://www.iep.utm.edu/l/lonergan.htm.

Carley, Moira T.           “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.” Dalam http://pirate.shu.edu/~liddyric/carly.htm.

Connor, James L.         “Church Leadership and the Woodstock Methodology.” Dalam http://www.georgetown.edu/centers/woodstock/church_leadership/jc-cl.htm.

Crowe, Fr. Frederick. “Christian Thinker: Fr. Bernard Lonergan, S.J.” Dalam http://www.companysj.com.v133/xthinker.html.

Fransisco, Grant D. Miller. “Bernard J. F. Lonergan.” Dalam http://people.bu.edu/wwildman/WeirWildWeb/courses/mwt/dictionary/mwt_themes_840_lonergan.htm.

“Lonergan on Communications as A Theological Specialization,” dalam http://pirate.shu.edu/~liddyric/COMMS3.html.

Novak, Michael.           “Memories of Bernard Lonergan.” Dalam http://www.crisismagazine.com/february2005/feature3.htm.

Sala, Giovanni B.  “From Thomas Aquinas to Bernard Lonergan: Continuity and Novelty.” Dalam http://www.lonergan.org/Sala/from_thomas_ aquinas_to_bernard_l.htm.

_______________.     “Bernard J.F. Lonergan, S.J. (1904-1984).” Dalam http://www.lonergan.org/Sala/bjfl.htm.



[1] Bdk. Claude Geffré, Gustavo Gutiérrez dan Virgil Elizondo, “Editorial,” dalam Concilium 171/1 (1984), hlm. ix. Juga bandingkan penjelasan lebih lanjut dalam bab 1 tulisan ini.
[2] Bdk. Jerome T. Walsh, “Being Theologians in a Paradigm-Shift,” dalam Louvain Studies 9/2 (Fall 1982), hlm. 117. Menurut Walsh, perkembangan teologi yang demikian pesat ini dapat juga dilihat sebagai suatu perubahan paradigma ala Kuhn. Perubahan paradigma yang dimaksudkan adalah perubahan dari “kesatuan” ke “multiplisitas” dalam teologi Gereja Katolik Roma.
[3] Ibid., hlm. 121.
[4] Bdk. Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1997), hlm. 24.
[5] Bdk. Optatam Totius (selanjutnya disingkat OT), no. 19-21.
[6] Bdk. Michael Slusser, “Tradition and the Doing of Theology,” dalam Louvain Studies 9/2 (Fall 1982), hlm. 114.
[7] Ibid.
[8] Untuk selanjutnya saya hanya akan menyebut nama besar tokoh ini saja, yaitu Lonergan.
[9] Bernard Lonergan, Method in Theology (Toronto: University of Toronto Press, 1990).
[10] Ibid., hlm. xii.
[11] Bdk. Grant D. Miller Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan, SJ,” dalam http://people.bu.edu/wwildman/WeirWildWeb/courses/mwt/dictionary/mwt_themes_840_lonergan.htm.  
[12] Bdk. Frederick E. Crowe, “Lonergan, Bernard,” dalam The Encyclopedia of Religion 9, Edited by Mircea Eliade (ed. in chief). New York: Macmillan Publishing Company, 1987.
[13] Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan,SJ.” Juga bdk. Moira T. Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher,” dalam http://pirate.shu.edu/~liddyric/carly.htm.
[14] Ibid.
[15] Bdk. Crowe, “Lonergan, Bernard.” Juga bdk. “Bernard Lonergan,” dalam http://www.bc.edu/bc_org/avp/cas/lonergan/institute/about_Lonergan.html. “Born in Canada in 1904, Lonergan entered the Society of Jesus in 1922.”
[16] Crowe, “Lonergan, Bernard.”
[17] Bdk. Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.”
[18] Crowe, “Lonergan, Bernard.”
[19] Bdk. Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.”
[20] Ibid.
[21] Ibid. Kesaksian tentang kehidupan Lonergan dapat dibaca juga dalam artikel yang ditulis oleh Michael Novak, “Memories of Bernard Lonergan,” dalam http://www.crisismagazine.com/february2003/feature3.htm. Juga bdk. Fr. Frederick Crowe, “Christian Thinker: Fr. Bernard Lonergan, S.J.,” dalam http://www.companysj.com.v133/xthinker.html. Dalam artikel ini, Crowe mengisahkan kehidupan Lonergan sebagai seorang pemikir Kristen (katolik) dengan gaya bahasa yang mudah dipahami dan menarik.
[22] Ibid.
[23] Bdk. Bernard Lonergan, “Insight Revisited,” dalam A Second Collection, diedit oleh  F. J. Ryan & Bernard J. Tyrrel (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 263.
[24] Ibid.
[25] Ibid., hlm. 264.
[26] Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan,SJ.”
[27] Bdk. Lonergan, “Insight Revisited,” hlm. 264.
[28] Ibid.
[29] Tokoh-tokoh yang disebutkan di sini akan saya jelaskan lebih lanjut dalam bagian I.3. “Tokoh-tokoh Yang Mempengaruhi Pemikiran Lonergan Tentang Metode Teologi.” Dari masa pendidikannya ini saya hanya memilih dua tokoh untuk dibahas lebih lanjut, yaitu Henry Newman dan Cristopher Dawson.
[30] Bdk. Cornelius Ryan Fay, “Fr. Lonergan and the Participation School,” The New Scholasticism 34/4 (October 1960), hlm. 461-487.
[31] Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan,SJ.”
[32]  Edward MacKinnon, “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan, S. J.,” dalam The Thomist 28/2 (April 1964), hlm. 98-99.
[33] Bdk. “Bernard Lonergan (1904-1984),” dalam http://www.iep.utm.edu/l/lonergan.htm.
[34] Seluruh bagian ini disadur dari: James L. Connor, “Church Leadership and Methodology,” dalam http://www.georgetown.edu/centers/woodstock/church_leadership/jc-cl.htm.
[35] Tom Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” Orientasi, Pustaka Filsafat dan Teologi XII (Yogyakarta: Kanisius, 1980), hlm. 52-53.
[36] Bdk. “Teologi Sejarah,” dalam Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
[37] Ibid., “Teologi Sistematik.” Meskipun kadang-kadang praktis sama dengan teologi dogmatis, teologi sistematik berbeda karena mencakup telaah mengenai masalah-masalah sosial. Juga, teologi ini memberi perhatian besar pada metodologi, terminologi, penggunaan prinsip-prinsip filsafat, perspektif yang sungguh-sungguh terpadu dan masalah-masalah yang berhubungan dengan keadaan dan keterbatasan pengetahuan teologis.
[38] Ibid.
[39] Ibid.
[40] Ibid. Teologi Pembebasan adalah gerakan teologi yang meluas di Amerika Latin yang (a) diilhami oleh peristiwa keluaran dari Mesir, pewartaan kenabian yang menuntut keadilan, dan pewartaan Kerajaan Allah oleh Yesus; (b) membaca Kitab Suci dalam terang pembebasan integral; dan (c) mengarahkan diri pada akar di mana struktur-struktur ketidakadilan dan ketergantungan ekonomi menindas begitu banyak orang miskin. Tokoh-tokohnya seperti Juan Luis Segundo, Jon Sobrino, Gustavo Gutierrez, dan lain-lain. Dengan Teologi Hitam dimaksudkan aliran teologi di Amerika Utara yang dikembangkan oleh orang-orang Kristiani berkulit hitam, sebagai kelanjutan gerakan menuntut kesamaan hak yang dipelopori oleh Martin Luther King (1929-1968). Teologi Feminis (Feminist Theology) adalah pendekatan teologis yang berkembang terutama di Amerika Serikat sejak 1968. Aliran ini memprotes teologi, tafsir Kitab Suci, dan kehidupan Gereja yang condong bersifat maskulin dan berat sebelah. Teologi Proses adalah gerakan teologi yang diilhami oleh Alfred North Whitehead (1861-1947), yang filsafatnya memberi tekanan lebih pada “menjadi” (becoming) daripada “ada” (being). Suatu gerakan penting dalam teologi Protestan pada tahun 1920-an adalah Teologi Dialektis, yang dipelopori oleh Karl Barth (1886-1968). Teologi ini menekankan adanya perbedaan kualitatif mutlak antara Allah dan manusia. Teologi Tuhan Mati adalah gerakan teologi pada tahun 1960-an yang terutama berkembang di Amerika Serikat. Teologi ini menampilkan dunia sebagai yang benar ditinggalkan oleh Allah dan mewartakan kematian Allah di tangan manusia. Teologi Transendental adalah orientasi teologis yang mirip dengan filsafat transcendental, yang biasanya dikaitkan dengan Karl Rahner (1904-1984) dan Bernard Lonergan (1904-1984). Teologi ini bertanya mengenai jawaban yang membuka kemungkinan kalau kita berbicara mengenai subjek manusia.
[41] Bdk. Peter Eicher, “Pluralism and the Dignity of Theology,” dalam Concilium 171/1 (1984), hlm. 3-17. Eicher menegaskan adanya perkembangan teologi yang plural. Perkembangan itu sendiri disadari sebagai yang tidak membahayakan iman, tetapi menunjukkan adanya berbagai karunia dalam Gereja.
[42] Bdk. Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan, SJ.”
[43] Disadur dari: Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1993); Samuel E. Stumpf, Philosophy: History and Problems, 3th edition (New York: McGraw-Hill Book Company, 1983), hlm. 168-172.
[44] Lonergan menambahkan bahwa selain Summa Theologia, salah satu karya yang juga menunjukkan puncak pemikiran Aquinas adalah De malo. Bagi Lonergan, semua karya ini menunjukkan tingkat perkembangan pemikiran Aquinas. Bdk. Patrick H. Byrne, “The Thomist Sources of Lonergan’s Dynamic World-View,” dalam The Thomist 46/1 (January 1982), hlm. 119.
[45] Bdk. Giovanni B. Sala, “From Thomas Aquinas to Bernard Lonergan: Continuity and Novelty,” dalam http://www.lonergan.org/Sala/from_thomas_aquinas_to_bernard_l.htm. It was later, during his studies for the licenciate in teology at the Gregorian University in Rome, that Lonergan come into contact with the thought of St. Thomas, even if only indirectly and partially at first.
[46] Ibid.
[47] Ibid.
[48] Disadur dari: J. Ohoitmur, “Sejarah Filsafat Barat Modern,” (Traktat Kuliah Mahasiswa Semester VI STF-SP, Pineleng 2001), hlm. 98-99.
[49] Bdk. Michael Baur, “Kant, Lonergan, and Fichte on the Critique of Immediacy and the Epistemology of Constraint in Human Knowing,” dalam International Philosophical Quarterly 43/1 (March 2003), hlm. 94.
[50] “Transendental,” dalam Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1996).
[51] Ibid.
[52] Max Diaz Riberu, “Pembebasan, Teologi,” dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia 12 (Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1990). Juga bdk. Raymond Moloney, “Rahner and Lonergan on Spirituality,” dalam Louvain Studies 28/4 (Winter 2003), hlm. 295-310. Moloney memberi gambaran tentang metode transendental yang digunakan oleh Rahner dan Lonergan.
[53] “Newman, Kardinal Henry,” dalam A. Heuken, Ensiklopedi Gereja (Yogyakarta: Kanisius, 1996). Riwayat hidup singkat tokoh ini dapat dibaca dalam: John Henry Newman, Grammar of Assent (Garden City, New York: Doubleday & Company, Inc., 1955), hlm. 1-2.
[54] Bdk. Ibid.
[55] Bdk. Lonergan, “Insight Revisited,” hlm. 263.
[56] Bdk. Christopher Dawson, The Age of Gods, A Study in the Origins of Culture in Prehistoric Europe and the Ancient East (London & New York: Sheed & Ward, 1933), hlm. v-vi.
[57] Ibid., hlm. xii-xix.
[58] Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan,SJ.”
[59] Bdk. Gordon Rixon, “Derrida and Lonergan on Human Development,” dalam American Catholic Philosophical Quarterly 76/2 (Spring 2002), hlm. 229. […], the empirical investigations of anthropologist Christopher Dawson challenged Lonergan to abandon a statically normative notion of culture and to acknowledge the broad range of possible manners in which a way of life could be informed by diverse meanings and values.
[60] Bdk. Lonergan, “Insight Revisited,” hlm. 264.
[61] Bdk. Byrne,  “The Thomist Sources of Lonergan’s Dynamic World-View,” hlm. 110. Artikel-artikel yang dimaksudkan antara lain: St. Thomas’s Thought on Gratia Operans (Theological Studies, 2 [1941], hlm. 289-324), St. Thomas’s Thought on Gratia Operans (Theological Studies, 3 [1942], hlm. 69-88, 357-402, 533-578).
[62] Bdk. MacKinnon, “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan, S.J.,” hlm. 99.
[63] Molinisme adalah ajaran yang dikembangkan oleh seorang Yesuit dari Spanyol bernama Louis de Molina (1535-1600) mengenai hubungan antara kehendak bebas dan rahmat. Allah memberikan rahmat, mengatur lingkungan agar rahmat itu menghasilkan buah yang semestinya, dan mengetahui tindakan-tindakan yang akan kita lakukan. Tetapi karena pengetahuan tentang masa depan ini “tergantung” pada keputusan bebas kita, Molina menyebutnya scientia conditionata atau scintia media, yaitu pengetahuan yang berhubungan dengan keputusan dan tindakan manusia di masa depan. Sistem ini dilawan oleh para Dominikan, khususnya Domingo Banez (1528-1604). Dalam menekankan kebebasan mutlak Allah, Banez berbicara mengenai persetujuan ilahi dalam tindakan manusia sebagai praemotio physica (gerak fisik sebelumnya), gagasan yang tampaknya tidak cukup menegaskan kebebasan manusia. Antara tahun 1598 dan 1607, satu komisi bernama De Auxiliis berkumpul di Roma tetapi tidak berhasil menyelesaikan masalah ini. Lih. “Molinisme,” dalam Gerald O’Collins & Edward G. Farrugia, Kamus Teologi, terj. I. Suharyo (Yogyakarta: Kanisius, 1996).
[64] Bdk. Sala, “From Thomas Aquinas to Bernard Lonergan: Continuity and Novelty.” Untuk memahami pembedaan rahmat di atas, baiklah kita melihat apa yang dituliskan oleh Sala dalam artikelnya ini. Sala menulis, “Through a series of studies of interrelated problem, Lonergan arrived at the recognition that these three expositions were three stages by which St. Thomas reached the more mature position of the Summa. There, along with grace as habitus, St. Thomas speaks of a different type of grace that directly touches on action. This in turn is divided into operative grace, insofar as it brings about the willing of the end, and cooperative grace, insofar as the willing of the end leads to a corresponding performance. This divine motion or grace is the act that theologians would later call actual grace.” Dalam artikel lain, Sala menjelaskan bahwa eksplorasi Lonergan terhadap teori rahmat dari Aquinas memberi pengaruh yang besar bagi pemikiran Lonergan selanjutnya. Sala menulis, “This research brought Lonergan a twofold fruit. First of all, some key ideas in Thomas’ teaching on grace. St. Thomas’ original thoughts on divine transcendence and human freedom, on the nature of sin as an absolute irrational, have a lost none of their freshness and liberating force after seven centuries. The second fruit that Lonergan gathered was his being confronted, in a well-documented case, with the evolving character of theological speculation and of human knowledge in general. This must have struck Lonergan most of all, directing him definitively to the study of human knowledge and theological method.” Bdk. Giovanni B. Sala, “Bernard J.F. Lonergan, S.J. (1904-1984),” dalam http://www.lonergan.org/Sala/bjfl.htm.
[65] Bdk. Byrne, “The Thomist Sources of Lonergan’s Dynamic World-View,” hlm. 119. The doctrine of premotion adalah ide dari Aristoteles yang kemudian ditransformasi dan dikembangkan lebih lanjut oleh Aquinas.
[66] Ibid. Juga bdk. MacKinnon, “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan, S. J.,” hlm. 99. Dalam tahun 1946 sampai 1949, Lonergan mempublikasi lima seri artikel dalam Theological Studies, VII (1946), hlm. 349-393; VIII (1947), hlm. 35-80; IX (1948), hlm. 404-445; X (1949), hlm. 3-40; 359-393. lima artikel tersebut berada di bawah satu judul, yaitu “The Concept of Verbum in the Writings of St. Thomas”.  Artikel-artikel itu kemudian dikumpulkan dan dikenal dengan the Verbum articles. Salah satu tulisan yang memuat ulasan yang representatif menyangkut isi dari the Verbum dapat dibaca dalam: Patrick H. Byrne, “Lonergan’s Retrieval of Aristotelian Form,” dalam American Catholic Philosophical Quarterly 76/3 (Summer 2002), hlm. 371-372, 382-388.
[67] MacKinnon, “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan, S. J.,” hlm. 99. Juga bdk. Neil Ormerod, “Augustine’s De Trinitate and Lonergan’s Realms of Meaning,” dalam Theological Studies 64/4 (December 2003), hlm. 773-779.
[68] Bdk. Patrick H. Byrne, “The Fabric of Lonergan’s Thought,” dalam Frederick Lawrence (ed.), Lonergan Workshop V (Atlanta: Scholars Press, 1986), hlm. 55-57.
[69] Bdk. MacKinnon, “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan, S.J.,” hlm. 100.
[70] Bdk. Frederick E. Crowe, “The Puzzle of the Subject as Subject in Lonergan,” dalam International Philosophical Quarterly 43/2 (June 2003), hlm. 196.
[71] Ibid.
[72] Bdk. Ibid., hlm. 100-101.
[73] Bdk. Philip McShane (ed.), “An Interview With Fr. Bernard Lonergan, S.J.,” dalam A Second Collection, diedit oleh  F. J. Ryan & Bernard J. Tyrrel (Philadelphia: Westminster Press, 1974), hlm. 213.
[74] Bdk. Lonergan, “Insight Revisited,” hlm. 268. Karya ini telah dilengkapi pada tahun 1953, namun baru dipublikasikan pada tahun 1957.
[75] Bdk. Carol Skrenes, “Lonergan’s Metaphysics: Ontological Implications of Insigth-as-Event,” dalam International Philosophical Quarterly 24/4 (December 1984), hlm. 408. Juga bdk. Paul Kidder, “Lonergan’s Negative Dialectic,” dalam International Philosophical Quarterly 30/3 (September 1990), hlm. 299-309. Skrenes dan Kidder dalam tulisan-tulisannya memberi penjelasan yang sangat baik tentang eksplorasi Lonergan tentang human knowing ini.
[76] Bdk. Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.”
[77] Ibid. Juga bdk. “Bernard Lonergan,” dalam http://www.bc.edu/bc_org/avp/cas/lonergan/institute/about_Lonergan.html. Lonergan later wrote, “one has not only to read Insight but also to discover oneself in oneself”.
[78] Bdk. Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.”
[80] Lonergan, Method in Theology, hlm. xii.
[81] Ibid.
[82] Bdk. McShane (ed.), “An Interview With Fr. Bernard Lonergan, S.J.,” dalam A Second Collection, hlm. 213.
[83] Lonergan, Method in Theology, hlm. xi.
[84] Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 70.
[85] Lih. Bernard J. F. Lonergan, “Theology in Its New Context,” dalam William F. J. Ryan & Bernard J. Tyrrell, A Second Collection of Bernard Lonergan SJ (Toronto: University of Toronto Press, 1996), 55-67.
[86] Ibid., hlm. 58.
[87] Ibid., hlm. 59.
[88] Ibid., hlm. 60.
[89] Ibid., hlm. 65-67.
[90] Lonergan, Method in Theology, hlm. 237-244. Bdk. Terrence Merrigan, “Imagination and Religious Commitment in the Pluralist Theology of Religious,” dalam Louvain Studies 27/3 (Fall 2002), hlm. 197-217. Dalam artikel ini Merriga menyebut juga ide konversi yang digunakan oleh Lonergan.
[91] Lonergan, Method in Theology, hlm. 130.
[92] Bdk. Merrigan, “Imagination and Religious Commitment in the Pluralist Theology of Religious,” hlm. 199.
[93] Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. 238.
[94] Bdk. John J. Boyle, “Lonergan’s Method in Theology and Objectivity in Moral Theology,” dalam The Thomist 37/3 (July 1973), hlm. 589-590.
[95] Ibid., hlm. 590.
[96] Terkutip dalam: Lonergan, Method in Theology, hlm. 241. Religious conversion is to a total being-in-love as the efficacious ground of all self-transcendence, whether in the pursuit of truth, or in the realization of human values, or in the orientation man adopts to the universe, its ground, and its goal.
[97] Bdk. Boyle, “Lonergan’s Method in Theology and Objectivity in Moral Theology,” hlm. 590.
[98] Ibid.
[99] Bdk. Terry J. Tekippe & Louis Roy, O.P., “Lonergan and the Fourth Level of Intentionality,” dalam American Catholic Philosophical Quarterly 70/2 (Spring 1996), hlm. 225-242. Dalam artikel ini Tekippe dan Roy menguraikan dengan sangat baik ide Lonergan tentang empat level kesadaran intensional tersebut. Juga bdk. William F. J. Ryan, “Intentionality in Edmund Husserl and Bernard Lonergan,” dalam International Philosophical Quarterly 13/2 (June 1973), hlm. 173-190. Dalam tulisannya ini, Ryan menguraikan dengan sangat baik kesadaran intensional sebagaimana dimaksudkan oleh Lonergan dan perbandingannya dengan filsuf fenomenologi, Husserl. Ryan menulis, “The comparison-confrontation between Husserl and Lonergan can be summed up in terms of the three questions that Lonergan sets up to mark off the range of human knowing. First, what happens when one knows? Secondly, why is doing that knowing? Thirdly, what does one know when he does it? Husserl and Lonergan would seem closest in their approach to answering question one. However, they would part company in their answers to questions two and three, for here intuition and affirmation essentially determine what kind of an answer can be given”. Eksplorasi jawaban Lonergan terhadap ketiga pertanyaan tersebut dapat ditemukan dalam tulisan Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.” Kepada para pengajar (dosen), Carley mengajukan pertanyaan yang sama seperti yang dihadapi oleh Lonergan, “What we do when we now? And What are we doing? And why?”. Juga bdk. Frederick Lawrence, “Gadamer and Lonergan: A Dialectical Comparison,” dalam International Philosophical Quarterly 20/1 (March 1980), hlm. 32. Lawrence menulis juga tentang eksplorasi Lonergan terhadap ketiga pertanyaan tersebut dan membedakannya atas tiga bagian, yaitu pertanyaan yang berada dalam bingkai teori kognisial, epistemologi dan metafisik. Menyangkut kesadaran intensional, Lawrence menulis, “While no philosopher or theologian has been more concerned with consciousness than Lonergan, nevertheless his own notion of consciousness as experience and of the subject is radically opposed to the Cartesian idealist notion of consciousness as perception and of the subject as the first and most important of all objects”.
[100] Bdk. Carley, Ibid. Kesadaran ini memotivasi Lonergan untuk meneliti tentang pengetahuan manusia (human knowing). Lonergan mengeksplorasi pertanyaan tentang bagaimana budi bekerja melalui proses yang dinamis ke arah pembentukan pemahaman. Pertanyaan pokok dalam eksplorasinya adalah apa yang kita lakukan ketika kita mengetahui sesuatu? Jawaban terhadap pertanyaan ini dipublikasikan dalam Insight: A Study of Human Understanding (1957). Juga bdk. Donald J. Keefe, “A Methodological Critique of Lonergan’s Theological Method,” dalam The Thomist 50/1 (January 1986), hlm. 32. […] it is instead “a integration of heuristic structure, inasmuch as the notion of being has been identified with conscious intensionality.
[101] Bdk. Greg P. Hodes, “Intensional Structure and the Indentity Theory of Knowledge in Bernard Lonergan: A Problem with Rational Self-Appropriation,” dalam International Philosophical Quarterly 42/4 (March 2003), hlm. 438.
[102] Bdk. Tekippe & Louis Roy, O.P., “Lonergan and the Fourth Level of Intentionality,” hlm. 226. Juga bdk. Hodes, “Intensional Structure and the Indentity Theory of Knowledge in Bernard Lonergan: A Problem with Rational Self-Appropriation,” hlm. 437.
[103] Sejajar dengan empat level kesadaran intensional, Lonergan menyebut komponen-komponen yang invariant dalam pengalaman manusia sebagai “Persepsi-persepsi Transendental”. Persepsi-persepsi itu adalah Be attentive! (terhadap data), Be intelligent! (tentang uraian apa arti dari data), Be reasonable! (mengenai alasan-alasan yang cukup, bukti-bukti yang adekuat terhadap tindakan kita), dan Be responsible! (melakukan hal yang benar terhadapnya). Bdk. Connor, “Church Leadership and Methodology.”
[104] Fransisco, “Bernard J. F. Lonergan, SJ.”
[105] Bdk. “Bernard Lonergan (1904-1984),” dalam http://www.iep.utm.edu/l/lonergan.htm. Lonergan juga menyebut keempat level kesadaran intensional ini sebagai level transendensi diri. Maksudnya bahwa level-level ini merupakan perangkat prinsipil dari cara kerja, dengan mana kita mentransendensi diri dan memperlakukan dunia di luar diri kita sendiri melalui kekaguman dan ketelitian. Juga bdk. Crowe, “The Puzzle of the Subject as Subject in Lonergan,” hlm. 192.
[106] Bdk. Stephen Wentworth Arndt, “The Justification of Lonergan’s Cognitial and Volitional Process,” dalam American Catholic Philosophical Quarterly 65/1 (Winter 1991), hlm. 45-47.
[107] Ibid.
[108] Bdk. MacKinnon, “Understanding According to Bernard J. F. Lonergan, S.J.,” hlm. 101.
[109] Bdk. Robert O. Johann, “Lonergan and Dewey on Judgement,” dalam International Philosophical Quarterly 11/4 (December 1971), hlm. 465. Without experience, there is nothing for a man to understood; and when there is nothing to be understood, there is no occurrence of understanding. [But even] the combination of the operations of sense and and of understanding, does not suffice…There must be added judging. A judging, indeed, that is based on both. Juga bdk. Gerald A. McCool, “History, Insight and Judgement in Thomism,” dalam International Philosophical Quarterly 27/3 (September 1987), hlm. 301-305.
[110] Bdk. Tekippe & Louis Roy, O.P., “Lonergan and the Fourth Level of Intentionality,” hlm. 235-241.
[111] Bdk. “Bernard Lonergan (1904-1984),” dalam http://www.iep.utm.edu/l/lonergan.htm.
[112] Bdk. Carl J. Peter, “A Word on Behalf of Method in Theology,” dalam The Thomist 37/3 (July 1973), hlm. 607. For Lonergan, there are  eight such functions: research, interpretation, history, dialectic, foundations, doctrines, systematics, and communications. One practicing a functional specialization operates on all four levels of consciousness but with the goal of pursuing the end of one rather than the other three.
[113] Bdk. Lonergan, “Theology in Its New Context,” hlm. 60.
[114] Lonergan, Method in Theology, hlm. xi-xii.
[115] Ibid., hlm. 3.
[116] Ibid.
[117] Ibid., hlm.4. Juga bdk. Peter, “A Word on Behalf of Method in Theology,” hlm. 606. Writing a book entitled Method in Theology, Lonergan knew people would expect him to mean something definite by method. He does. It stands for a normative pattern of recurrent and related operations yielding cumulative and progressive results. Juga bdk. Bernard J. F. Lonergan, “Method: Trend and Variations,” dalam Frederick E. Crowe (ed.), A Third Collection: Paper by Bernard J. F. Lonergan (New York & London: Paulist Press & Geoffrey Chapman, 1985), hlm. 15. Method is progressive and cumulative […]. Juga artikel Lonergan pada buku yang sama berjudul: “The Ongoing Genesis of Method,” hlm. 146-165.
[118] Lonergan, Method in Theology, hlm. 6.
[119] Bdk. Peter, “A Word on Behalf of Method in Theology,” hlm. 605. […] In the procedures of the human mind one can discern a basic pattern of operations employed in every cognitial enterprise. Man’s intentionality or active interiority involves a sequence of experience, understanding, [and] judgement […].
[120] Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. 6-13.
[121] Ibid., hlm. 13. Sebagai gambaran awal untuk memahami apa yang dimaksudkan oleh Lonergan tentang Metode Transendental, baiklah kita melihat terlebih dahulu perbedaan antara ide transendental dan kategori yang dibuat oleh Lonergan. Menurutnya, ada suatu perbedaan yang besar antara apa yang disebut transendental dan apa yang disebut kategori. Kategori selalu bersifat terbatas. Kategori-kategori merupakan suatu denotasi yang terbatas. Yang disebut kategori misalnya substansi, kuantitas, kualitas, relasi, tindakan, nafsu, tempat, waktu, sikap, kebiasaan. Berbeda dengan kategori, transendental bersifat komprehensif dalam konotasi, tak tertutup dalam denotasi, invarian (tidak berbeda) dalam perubahan kultural. Transendental memiliki maksud yang radikal, yang mampu membuat kita bergerak dari ignoransia ke pembentukan pengetahuan. Sesuatu yang transendental selalu bersifat a priori, karena yang transendental mampu menggerakkan kita untuk melihat apa yang tidak kita ketahui. Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. 11.
[122] Ibid., hlm. 13-14.
[123] Ibid., hlm. 14.
[124] Terkutip dalam: Ibid., hlm. 13-14 [lih. catatan kaki no. 4]. In this book, The Transcendental Method, […] Otto Muck works out a generalized notion of transcendental method by determining the common features in the works of those that employ the method. While I have no objection to this procedure, I do not consider it very pertinent to an understanding of my own intentions. I conceive method concretely. I conceive it, not in terms of principles and rules, but as a normative pattern of operations with cumulative and progressive results. I distinguish the methods appropriate to particular field and, on the other hand, their common core and ground, which I name transcendental method. Here, the word, transcendental, is employed in a sense analogous to Scholastic usage, for it is opposed to the categorical (or predicamental). But my actual procedure also is transcendental in the Kantian sense, inasmuch as it brings to light the conditions of the possibility of knowing an object in so far as that knowledge is a priori.
[125] Bdk. Ibid., hlm. 25. Juga bdk. Keefe, “A Methodological Critique of Lonergan’s Theological Method,” hlm. 36. Although Lonergan’s transcendental method includes within its range all the objects of theology –for outside its range is simple nothing– transcendental method is only part of theological method: the anthropological part, the part dealing with the invariant process of intentionality.
[126] Bdk. Greg Bahnsen, “Review of Method in Theology,” dalam The Westminster Theological Journal 36/1 (Philadelphia: Covenant Media Foundation, Fall 1973), [tanpa halaman]. The key chapter of Method in Theology is chapter 5, “Functional Specialties”.
[127] Diintisarikan dari: Lonergan, Method in Theology, hlm. 125-126. Juga bdk. Bahnsen, “Review of Method in Theology.”
[128] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 70.
[129] Lonergan, Method in Theology, hlm. 126.
[130] Ibid.
[131] Ibid.
[132] Ibid., hlm. 133.
[133] Ibid.
[134] Bdk. Ibid., hlm.
[135] Bdk. Ibid., hlm. 149.
[136] Ibid. Patut diingat bahwa Lonergan tidak bermaksud memberikan semacam instruksi mengenai bagaimana orang harus melakukan penelitian.
[137] Terkutip dalam: Ibid., hlm. 149. If one’s intention is general research, then one should find out who and where are the masters in the area in which one wishes to work. To them one must go and with them one must work until one is familiar with all the tools they employ and has come to understand precisely why they make their each and every move.
[138] Terkutip dalam: Ibid. […], if one’s intention is special research, one has to select the further functional specialty one’s research is to serve. Again, one has to find out who and where there is a master that works in that further functional specialty on the basis of his research. To him one must go, join in his seminar, do a doctoral dissertation under his direction.
[139] Ibid., hlm. 150.
[140] Ibid., hlm. 151.
[141] Bdk. Ronald McKinney, “The Hermeneutical Theory of Bernard Lonergan,” dalam International Philosophical Quarterly 23/3 (September 1983), hlm. 284. Theology […] involves assimilating the traditions of the past as well as passing them on by using them to confront the problems of our own day.
[142] Ibid., hlm. 285.
[143] Ibid., hlm. 277 dan 285.
[144] Lonergan, Method in Tehology, hlm. 127.
[145] Ide dasar bagian ini disadur dari: Ibid., hlm. 128.
[146] Diintisarikan dari: Ibid., hlm. 128-130.
[147] Bdk. Ronald McKinney, “Lonergan’s Notion of Dialectic,” dalam The Thomist 46/2 (April, 1982), hlm. 234. Dialectic constitutes a sub-set of mental operations by which lower viewpoints can be sublated by higher viewpoints.
[148] Ibid., hlm. 234-235. It [dialectic] is a set of techniques directing the inquirer to the achievement of a definite result.
[149] Ibid., hlm. 235. Kebutuhan akan spesialitas dialektika ini didasari atas kenyataan bahwa spesialitas ini turut mendukung dan melengkapi ketiga spesialitas sebelumnya, yaitu penelitian, interpretasi dan sejarah.
[150] Ide dasar bagian ini juga diintisarikan dari: Lonergan, Method in Theology, hlm. 130-132.
[151] Bdk. Ibid., hlm. 268.
[152] Ibid., hlm. 268.
[153] Ibid., hlm. 132.
[154] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 72.
[155] Lonergan, Method in Theology, hlm. 335.
[156] Ibid., hlm. 132.
[157] Ibid.
[158] Ibid., hlm. 336.
[159] Ibid., hlm. 340.
[160] Ibid., hlm. 355.
[161] Bdk. [anonim], “Lonergan on Communications as A Theological Specialization,” dalam http://pirate.shu.edu/~liddyric/COMMS3.html. Penulis artikel ini menulis demikian, “I would like to point out several aspects of what Lonergan say about communications as a theological specializations. The first is the quite evident comment he make about the need for communications as a functional specialty within theology. For without communications the other specialties in theology (research, interpretation, history, dialectic, foundations, doctrines, systematics) are in vain, for they fail to mature.” Saya menggarisbawahi frase the need for communications as a functional specialty untuk mengungkapkan bahwa bagi Lonergan, spesialitas komunikasi merupakan suatu kebutuhan yang penting dalam teologi.
[162] Ibid. Juga lih. Lonergan, Method in Theology, hlm. 355.
[163] Terkutip dalam: Ibid., hlm. 361-362. The Christian church is the community that results from the outer communication of Christ’s message and from the inner gift of God’s love. [...]. The message announces what Christians are to believe, what they are to become, what they are to do. Its meaning, then, is at once cognitive, constitutive, effective. It is cognitive inasmuch as the message tells what is to be believed. It is constitutive inasmuch as it crystallizes the hidden inner gift of love into overt Christian fellowship. It is effective inasmuch as it directs Christian service to human society to bring about the Kingdom of God. Juga bdk. [anonim], “Lonergan on Communications as A Theological Specialization.”
[164] Ibid., hlm. 362.
[165] Ibid., hlm. 363.
[166] Ibid., hlm. 367.
[167] Jacobs, ““Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 71.
[168] Ibid.
[169] Situasi studi teologis di STF-SP yang coba saya paparkan di sini tidak saya dasarkan pada suatu penelitian khusus. Artinya, saya tidak berangkat dari data penelitian. Apa yang saya angkat di sini hanya didasarkan pada pengamatan dan pengalaman saya sebagai seorang mahasiswa STF-SP selama kurang lebih empat tahun terakhir. Idealnya saya harus berangkat dari data yang komprehensif seperti perubahan kurikulum STF-SP, data penelitian dan wawancara, dan lain-lain.
[170] Lih. Lampiran (bagian akhir tulisan ini).
[171] Visi, misi dan tujuan STF-SP yang baru ini dirumuskan pada tanggal 26 April 2004 oleh para dosen STF-SP bersama dengan Bapak Uskup Manado, Amboina dan Provinsial MSC (P. F. X. Wahyudi) dan baru dicanangkan pada pembukaan tahun akademik 2006-2007 oleh Dr. Albertus Sujoko (Ketua STF-SP), pada tanggal 19 Agustus 2006. Bandingkan dengan perumusan visi, misi dan tujuan STF-SP sebelum diberlakukannya kurikulum baru dalam Portofolio Institusi (STF-SP, 2001), hlm. 1. “STF-SP sebagai Lembaga Pendidikan Tinggi bercita-cita menghasilkan sarjana Filsafat dan Teologi yang beriman, bermoral dan berilmu, memiliki wawasan kemanusiaan universal (internasional), wawasan kebangsaan (nasional) maupun kedaerahan (lokal) sebagai mitra kerja pemerintah, swasta, gereja dan agama-agama lain dalam rangka membangun persaudaraan sejati”. Misi: “STF-SP bertekad menyelenggarakan suatu sistem pendidikan dan pengajaran yang berlandaskan iman dan moral Gereja Katolik, berorientasi pada penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, menjunjung tinggi kehidupan, mencintai persaudaraan dan menghargai kepelbagaian dalam relasi, dialog dan kerjasama dengan lembaga-lembaga pendidikan dan instansi terkait.”
[172] Lih. OT, no. 15-16.
[173] Paus Yohanes Paulus II, Konstitusi Apostolik tentang Universitas Katolik, alih bahasa oleh Y. E. Budiyana (Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, November 1992), hlm. 16-17.
[174] OT, no. 17.
[175] Terkutip dalam: Portofolio Institusi (STF-SP, 2001), hlm. 8.
[176] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 50.
[177] Ibid., hlm. 68-69.
[178] Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. 125-126.
[179] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 50. Jacobs juga mengutip perkataan teolog Karl Rahner bahwa hambatan pokok untuk pembaharuan kurikulum terdapat pada dosen-dosen dan dalam system perkuliahan.
[180] Bdk. Ibid., hlm. 105-109.
[181] Bdk. G. Sauter, “How Can Theology Derive From Experience?,” dalam Choan Seng Song (ed.), Doing Theology Today (Christian Literature Society, 1976), hlm. 70-89.
[182] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 75-76.
[183] Bdk. P. J. Drilling, “Experience in Lonergan’s Theological Methodology,” dalam Sc et Esprit 31 (1979), hlm. 303-321.
[184] Bdk. Ph. McShane (ed.), Foundations of Theology (New York: Gill & Macmillan, 1971), hlm. 85.
[185] Ibid., hlm. 87.
[186] Seluruh bagian ini diintisarikan dari: Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 76. Di sini Jacobs menimba inspirasi dari metode teologi Lonergan.
[187] Diintisarikan dari: Ibid., hlm. 77-78.
[188] Di sini menjadi jelas tugas spesialitas fungsional foundations, doctrines dan systematics dari metode teologi Lonergan.
[189] Bdk. penjelasan bagian ini dengan penjelasan tentang spesialitas fungsional history dalam bab dua karya tulis ini.
[190] Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. 319-330. Dalam spesialitas fungsional doctrines, Lonergan menjelaskan tentang perkembangan doktrin, permanensi dogma dan historisitas dogma. Di samping itu, Lonergan juga menjelaskan tentang pluriformitas dogma yang semuanya tidak membuat kita terpisah, melainkan menyatukan kita dalam iman yang satu dan sama.
[191] Ibid., hlm. 326-330.
[192] Lonergan memahami kebudayaan sebagai suatu perangkat nilai dan pengertian yang mengungkap suatu cara hidup. Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. xi.
[193] Bdk. Ibid.
[194] Bdk. Mary Ann Donovan, “The Vocation of Theologian,” dalam Theological Studies 65/1 (March 2004), hlm. 5-9.
[195] Terkutip dalam: Lonergan, “Theology in Its New Context,” hlm. 62. Not only does the cultural context influence theology […], but theology is also called upon to influence the cultural context, to translate the word of God an so project it into new mentalities and new situations. So a contemporary Chatolic theology has to be not only Catholic but also ecumenist.
[196] Bdk. Peter, “A Word on Behalf of Method in Theology,” hlm. 602-603.
[197] Ibid., hlm. 607.
[198] Bdk. Lonergan, Method in Theology, hlm. 115-118, 321. Lonergan memahami iman sebagai pengetahuan yang lahir dari cinta religius. Di sini Lonergan menekankan pada tindakan Allah yang terlebih dahulu mencintai manusia dan kemudian manusia membalas cinta Allah itu. Kecintaan religius ini memungkinkan manusia memiliki pengetahuan bahwa Allah adalah cinta. Pada akhirnya pengetahuan akan cinta Allah ini membawa manusia pada suatu tindakan penyerahan diri yang sepenuhnya kepada Allah. Pemahaman Lonergan tentang iman ini sejalan dengan definisi iman menurut Konsili Vatikan II. Sekilas memang definisi seperti ini bertolak belakang dengan definisi iman menurut Konsili Vatikan I. Konsili Vatikan I merumuskan iman sebagai suatu kebajikan supernatural dengan mana kita percaya pada kebenaran bahwa Tuhan mewahyukan diri, bukan karena kita mengerti kebenaran hakiki dari pewahyuan itu, tetapi hanya karena otoritas Tuhan yang mengungkapkan diri. Jadi, iman lahir dari kebaikan Tuhan semata. Kesamaannya terletak pada tindakan Allah yang mendahului segala sesuatu. Tetapi Konsili Vatikan II memberi penekanan juga pada tindakan manusia yang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah.
[199] Bdk. Carley, “Bernard Lonergan and the Catholic Teacher.” Dalam menanggapi definisi Lonergan tentang iman, Carley mengajak para pengajar untuk berusaha mengkomunikasikan cinta Tuhan kepada para mahasiswanya dan menaruh harapan agar mereka dapat tiba pada iman. Carley lebih menegaskan lagi pentingnya pembinaan iman ini.
[200] Bdk. Connor, “Church Leadership and the Woodstock Methodology.” Pada tahap ini menjadi jelas tugas dari spesialitas fungsional yang terakhir dalam metode teologi Lonergan, yaitu communications. Dari seluruh spesialitas fungsional yang diusulkan oleh Lonergan, pada akhirnya ia menyadari bahwa teologi harus kembali ke dalam praksis. Apa yang ditemui dalam kehidupan setiap hari dan yang kemudian diangkat ke dalam tataran refleksi teologis-ilmiah, harus dikomunikasikan kembali ke dalam praksis, sehingga refleksi teologis itu berbuah dalam kehidupan nyata. Tujuan komunikasi ini jelas, yaitu menyapa setiap orang dan membangun iman mereka.
[201] Saya tidak mengangkat kritik yang dilontarkan kepada Lonergan karena metode teologi yang dicanangkannya ini. Tokoh-tokoh yang mengkritik metode teologi Lonergan antara lain teolog Karl Rahner dan Langdon Gilkey. Kritik itu memang penting. Tetapi, menurut hemat saya, yang lebih penting adalah apa manfaat yang disumbangkan oleh Lonergan dengan metode teologinya bagi studi teologis kita di STF-SP ini. Inilah yang menjadi alasan mengapa saya tidak menguraikan kritik-kritik yang dialamatkan kepada Lonergan tersebut. Tentang kritik Karl Rahner terhadap metode teologi Lonergan dapat dibaca dalam: McShane, Foundations of Theology, hlm. 76-101 dan 194-196. Juga dalam Anthony J. Kelly, “Is Lonergan’s Method Adequate to Christian Mystery?,” The Thomist 39/3 (July 1975), hlm. 444, 461-464.
[202] Bdk. Peter, “A Word on Behalf of Method in Theology,” hlm. 605.
[203] Ibid.
[204] Ibid., hlm. 606.
[205] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 70.
[206] Lonergan, Method in Theology, hlm. xi-xii.
[207] Ibid., hlm. 3.
[208] Ibid., hlm. 4.
[209] Ibid.
[210] Bdk. Jacobs, “Pembaharuan Dalam Teologi dan Dalam Pengajaran Teologi,” hlm. 70.
[211] Ibid., hlm. 73-74.
[212] Lonergan, Method in Theology, hlm. xi.
[213] Bdk. Peter, “A Word on Behalf of Method in Theology,” hlm. 603.
[214] Ibid., hlm. 606.
[215] Ibid., hlm. 608.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar